Pening masih menyerang kepada Leira. Meski rasanya limbung dan berat, ia mencoba untuk tetap fokus dan berjalan meninggalkan kamar yang berisi keributan suami istri. Queena berteriak marah, meski Bagas membentak perempuan itu dengan klarifikasi jika Leira baru saja mengalami kecelakaan.
"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan suamimu dan tak tertarik kepadanya. Aku memiliki kehidupanku sendiri dan bahagia," ujar Leira lirih pada Queena sebelum melangkah pergi ke luar kamar dan masuk lift dengan berurai air mata. Ia sadar bahwa baru saja berdusta besar.
Pak Mansyur yang masih berada di taman dan baru selesai membereskan pekerjaan Leira, memaksa perempuan itu untuk mau diantar pulang dengan mobil hotel. "Motor Mbak Leira biar di sini dulu. Kami pastikan aman. Mbak Leira harus istirahat. Andai besok tidak datang, tidak apa-apa. Namun, jika mau datang ke hotel, telepon saya agar dijemput oleh mobil hotel."
Leira yang merasa sangat lemah dan lelah, hanya mengangguk pasrah dan mengikuti langkah Pak Mansyur menuju mobil. Pria itu membelikan Leira roti dalam perjalanan pulang dan berpesan kepada Leira agar makan sebelum tidur malam.
Keesokan harinya, Leira menghubungi Pak Mansyur dan meminta izin untuk datang siang, karena masih ingin istirahat sebentar saja.
"Gak usah datang, Mbak. Pak Bagas pesan, supaya Mbak Leira istirahat saja. Taman sudah selesai, kan, dengan tanaman yang harus Mbak Leira kirim ke kami? Tinggal tugas kami untuk penataan final dan perapihan. Oya, Mbak, saya sebenarnya ada mau ketemu Mbak, tetapi mungkin lusa atau besok. Pak Bagas meminta saya untuk membuat taman-taman kecil di beberapa sudut dalam hotel dengan tumbuha sansivera."
"Baik, Pak. Hari ini pun saya bisa, tetapi mungkin siang atau sore."
"Jangan, besok saja saya mampir kios Mbak Leira. Saya masih mau tinjau beberapa tempat yang Pak Bagas inginkan untuk jadi pojok sansivera. Mau hitung juga ramalan kebutuhan dan anggaran. Besok saja ketemuan di kios, gimana?"
"Hotel saja, Pak," sela Leira. "Saya sudah baikan dan bisa ke hotel besok."
"Ya sudah kalau gitu," jawab Pak Mansyur. "Lekas sembuh, ya, Mbak Leira." Lalu, sambungan terputus dan Leira kembali merebahkan dirinya di ranjang.
Leira tak suka hanya tidur seharian. Tubuhnya terbiasa bekerja keras dan bergerak banyak. Jika ia tak boleh ke hotel, ia lebih baik ke kios untuk memantau penjualan hari ini. Tangannya masih terasa sakit dan kebas. Leira menatap balutan perban dan membungkus tangan hingga lengan kanannya. Ia tak bisa banyak melakukan apapun dengan keadaan ini, tetapi tak juga ingin berdiam diri. Motornya tak ada, dan sepertinya ia harus meminta tolong tetangganya untuk mengantar ke kios.
*****
"Tak usah berlebihan seperti itu, Queena. Aku terganggu." Bagas menatap istrinya dengan wajah jengah. "Aku juga tak harus melaporkan kepadamu jika Leira adalah salah satu mitra bisnis hotel ini. Tak ada hubungannya denganmu." Pria itu beralih pada cangkir kopi dan tempat gula. Bagas dan istrinya tengah menikmati sarapan dengan cecaran pertanyaan Queena yang membuat pria itu muak.
"Aku istrimu, Bagas. Apapun yang terjadi, kamu harus melaporkan apapun kepadaku."
Alis Bagas naik sebelah. Pria itu menatap istrinya dengan raut mengejek yang tak ia tutupi. "Lalu, apa kamu melapor kepadaku saat bertemu dan menjalin hubungan dengan Bryan?"
"Itu di luar konteks, Bagas!" Queena tampak tak terima. "Aku mendekati Bryan untuk membuatmu cemburu dan mengerti bahwa kamu membutuhkanku."
"Nyatanya aku tidak begitu." Bagas menaikkan pundaknya tak acuh. "Aku tidak merasakan emosi apapun saat memergokimu tidur bersamanya, selain rasa malu memiliki istri sepertimu."
"Kamu dan Leira tidak akan bisa seperti dulu."
Sekali lagi, Bagas mengangkat bahunya santai, meski dalam hati ada rasa pilu yang ia rasa. "Kami hanya berurusan bisnis saja." Ia menyeruput kopi paginya, lantas mengambil roti yang tersaji di meja mereka. "Lagi pula, andai ada sesuatu pun, kamu tak berhak ikut campur. Kita akan menyelesaikan pernikahan ini setelah hotel berjalan dengan baik."
"Aku tidak ingin berpisah, Bagas. Aku akan berkeras mempertahankan pernikahan kita."
Bagas tak membalas ucapan istrinya. Ia malas membahas hal yang menurutnya buang-buang waktu. Apapun yang Queena lakukan nanti, keputusannya sudah bulat. Ia akan tetap bercerai dan fokus mengembangkan bisnis yang sudah berjalan dan yang mau dirintis.
"Aku akan mengambil hatimu, Bagas."
Bagas bergeming. Pria itu mengambil satu lagi roti dan meneguk kopinya.
"Aku yakin kamu pasti bisa mencintaiku."
Bagas berdeham malas. Menikmati sarapan jauh lebih bermanfaat baginya, karena ia harus bertenaga untuk bekerja. "Sampai kapan kamu di sini?"
Queena menatap Bagas dengan sorot putus asa. Ia tersenyum, meski dipaksa, demi bisa terlihat baik-baik saja. "Sampai kamu kembali ke Jakarta."
"Kamu akan merepotkan. Lebih baik pulang ke Jakarta dan urus bisnismu sendiri."
"Aku bisa mengurusnya dari sini. Tugasku menemani kamu, Bagas. Aku ingin mendampingimu saat pembukaan hotel nanti dan tampil sebagai istrimu ... juga pemegang saham terbesar bisnis ini." Seringai lembut yang Queena lengkungkan di bibir, membuat Bagas menatapnya dengan sorot jengah. "Kamu tidak lupa, kan, Sayang, bahwa aku banyak menanam modal di sini."
Mendengar penuturan istrinya, membuat selera makan Bagas hilang. Perutnya tiba-tiba kenyang dan ia butuh membaca data. Terserah saja apa yang akan istrinya perbuat di sini, yang jelas ia tak ingin terganggu oleh wanita itu. Setelah menghabisnya kopinya dengan cepat, Bagas beranjak dari kursi dan meninggalkan are restoran. Tak peduli pada Queena yang memintanya tetap tinggal dan menunggu perempuan itu menyelesaikan sarapan.
Hari sudah gelap saat Bagas keluar ruang kerjanya. Seharian ini ia berkeliling hotel bersama Pak Mansyur untuk membahas taman kecil sansivera dalam ruangan. Setelahnya, ia hanyut dalam rapat perencanaan dan pembentukan anggaran. Sore hari ia baru masuk ruang kerjanya dan memaca semua laporan juga data terkait hotel dan persiapan pembukaan.
Lelah, tetapi inilah hidupnya. Tanggung jawab besar harus ia pikul juga beban kesuksesan bisnis yang ia harapkan mampu memulihkan kondisi ekonomi keluarganya. Tak ada waktu untuk mengurusi perasaan, apalagi kisah masa lalu yang kini hancur berantakan.
Saat ia membuka pintu kamar, matanya mengerjap pelan dengan embusan napas panjang. Bagas meletakkan tas kerjanya, lalu membuka sepatu dan langsung masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.
"Tutupi tubuhmu dengan selimut. Hawa di sini sangat dingin saat malam hari." Bagas berusaha mengabaikan Queena yang duduk bersandar pada kepala ranjang sambil bersikap sekaan sibuk dengan gawai. "Aku lelah dan ingin segera istirahat." Tanpa memperdulikan Queena, Bagas menaiki ranjang lantas memunggungi istrinya dan memejam mata.
Perasaan Bagas sedikit kesal saat tangan Queena mulai mengusap lembut punggung, lengan, hingga dadanya dari belakang. Istrinya mengenakan pakaian mini dan transaparan, lalu kini bergerak menggodanya.
Pipi Bagas kini merasakan kecupan demi kecupan. Wangi aroma parfum Queena juga jelas terhidu dan itu mengganggunya.
"Aku lelah, Queena." Bukan hanya lelah fisik, Bagas juga lelah dengan hubungan mereka.
"It's okay," bisik Queena sensual. "Aku yang akan mengantarmu tidur dengan caraku." Tanga Queena mulai membuka kancing piyama Bagas dari belakang, lalu mengusap lembut dada suaminya. "Kamu akan rileks setelah ini. Saat sesuatu bergejolak dalam dirimu, datanglah. Aku akan menyambutmu dengan cinta." Perempuan itu mencium lembut tengkuk Bagas, menjalar ke telinga, lalu pipi, dan area lainnya dengan tangan yang terus bergerilya.
Sayangnya Queena tak tahu, jika dalam pejam, suaminya justru membayangkan wajah lain dan mengharapkan wanita lain yang menggantikan posisinya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomansaAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...