Tak ada yang lebih melegakan dari suara ketukan palu hakim pengadilan agama siang ini. Setelah perang berkepanjangan antara dirinya dan keluarga Queena, kini ia berhasil terbebas dari ikatan pernikahan itu. Pengorbanannya tak sedikit, pun dengan orangtuanya yang akhirnya sadar bahwa hidup yang menenangkan adalah bukan hanya tentang harta yang melimpah.
Di ruang sidang ini, Bagas duduk tegap dengan wajah serius dan datar. Ia tak tersenyum, tak juga tampak sedih. Hatinya sudah mati rasa dan kebebasan inilah impiannya. Proses perceraiannya tidak mudah, dengan keluarga Queena yang menuntut banyak hingga sidang harus dilakukan berulang-ulang. Ia lega, meski harus kehilangan banyak. Tak mengapa, bagi Bagas, karena inilah yang ia mau dan yang seharusnya terjadi beberapa tahun lalu.
Sidang selesai. Para pengacara menyalami hakim dan mendatangi mereka. Queena tampak terpukul meski ia banyak memenangkan harta gono gini. Setelah berbincang sebentar dengan pengacaranya, Bagas beranjak dari ruang sidang dan keluar.
"Tunggu, Bagas." Suara parau dan getir itu membuat langkah Bagas terhenti. Ia tak menoleh, karena tahu Queena akan berdiri di depannya. Perempuan itu menatap Bagas dengan sorot kekalahan dan putus asa. "Sampai sekarang aku masih tak percaya jika kamu merelakan semua milik orangtuamu hanya demi perempuan itu."
Bagas terdiam selama beberapa saat. Ia menatap Queena dengan sorot dingin dan tatapan tak peduli. "Aku melepas semua milik orangtuaku, bukan karena perempuan yang kamu maksud, tapi memang untuk menyelesaikan utang-utang kami. Aku memberikan semua yang keluargaku miliki kepadamu, untuk menebus pinjaman yang kami terima darimu. Aku memberikan semua sahamku untukmu, karena kamu memang memenangkan tuntutan harta gono gini selama kita menikah."
Air mata Queena menetes dengan wajah yang ia coba untuk terlihat tegar. "Sejak dulu kamu memang selalu memilih Leira. Sejak dulu duniamu hanyalah Leira. Aku tak bisa memahami pikiranmu yang mengorbankan jerih payah orangtuamu hanya demi perempuan itu."
"Sekali lagi kukatakan. Aku melepas semua milik kami kepadamu, karena kami harus menebus semua utang-utang kami kepadamu. Orangtuaku mempercayakan keputusan ini kepadaku dan kami tak keberatan untuk berada di posisi ini. Yang kami inginkan hanyalah bahagia dan hidup tenang, dan inilah langkah pertama kami. Jadi, Queena, tolonglah relakan kisah kita dan hiduplah bahagia." Sorot mata Bagas melembut dan bahu yang sejak tadi menegap tegang, kini tampak lebih santai. "Aku menyayangimu. Aku menghormatimu. Aku tak bisa hidup dengan selalu mengecewakanmu dan membuatmu terus mengharapkan sesuatu yang tak bisa kuberikan. Aku melepasmu, karena aku tak mau kamu terus menderita seumur hidupmu jika kita memaksakan pernikahan ini."
Air mata Queena semakin deras.
Untuk pertama kalinya sejak mereka dekat dan menikah, Bagas mengusap lembut wajah Queena. "Maafkan aku yang tak pernah bisa menjadi suamimu. Maafkan aku yang tak pernah bisa memberikan diriku untukmu. Maafkan aku, karena membuatmu kecewa seperti ini." Senyum sendu, terukir samar di bibir Bagas. "Aku memaafkanmu atas apa yang kamu perbuat kepadaku dulu. Namun, aku minta kepadamu, setelah ini tolong jangan pernah memasuki hidupku lagi. Kita tetap akan saling sapa, tetapi tak akan saling berkaitan lagi."
Isak Queena pecah. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangkupan tangan. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk mempertahankan yang ia impikan. "Bisa ... peluk aku untuk yang terakhir kali?" Queena menatap Bagas dengan sorot getir.
Bagas mengangguk pelan, lalu dengan kikuk merengkuh tubuh Queena ke dalam pelukannya. "Hiduplah dengan baik, Queena. Selalu ada kesempatan kedua untuk kita bahagia." Bagas melepas pelukan singkat mereka, lalu meninggalkan perempuan yang kini berstatus mantan istrinya.
*****
Perjalanan Jakarta-Bandung tak pernah semenyenangkan ini. Bagas seperti kembali ke puluhan tahun silam, saat ia masih kecil dan antusias mengunjungi neneknya. Saat mobil yang ia kendarai sampai di sebuah rumah asri di kawasan Lembang, Bagas melangkah ringan memasuki hunian dengan bangunan model lawas itu.
"Sudah selesai?"
Bagas mengangguk dan tersenyum kepada ibunya. Pria itu bahkan menarik tubuh sang ibu untuk masuk ke dalam pelukannya. "Terima kasih, Ma."
Perempuan paruh baya itu membalas pelukan putranya. "Kami hanya melakukan yang seharusnya kami lakukan sejak dulu. Maafkan kami karena pernah mengorbankan hidupmu." Ibu Bagas melepas pelukan mereka dan menatap putranya dengan binar penuh kasih sayang. "Sekarang, kami akan memberikan apapun yang terbaik untukmu. Yang pertama ...." Senyum perempuan itu terbir dengan binar antusias. "Mari kita makan malam dengan menu kesukaanmu yang Mama masak. Sudah lama kita tidak makan nasi liwet, kan?"
Bagas mengulum senyum bahagia. Ia mengangguk, lalu merengkuh ibunya untuk masuk ke dalam satu-satunya rumah yang mereka miliki saat ini. Rumah milik mendiang kakek dan neneknya, orangtua dari sang ibu.
"Bagaimana rencanamu setelah ini?" Ayah Bagas yang mulai membaik kondisinya, bertanya seraya menikmati makan malam sederhana yang terasa menyenangkan bagi bagas.
"Melanjutkan bisnis yang saya rintis dengan Rendy. Hasil semester pertama ini belum begitu memuaskan, tapi cukup baik. Kami akan mengevaluasi hasil kerja kami selama ini dan terus mencoba berinovasi."
"Bagus," jawab sang ayah. "Kalau bisa, berdirilah sendiri, meski perlahan dan tertatih."
Bagas mengangguk, tanpa menjawab ucapan ayahnya.
"Kalau boleh tahu, bagaimana respons keluarga Queena saat kamu memberikan semua surat berharga kita untuk mereka?" Ibu Bagas menyahut. "Apa mereka bicara sesuatu?"
"Tidak." Bagas menggeleng. "Perbuatan Queena yang saya bongkar semua, membuat mereka malu dan tak menolah negosiasi yang saya ajukan agar kami bercerai. Queena jelas melakukan banyak kesalahan dan tak bisa dimaafkan. Saya berterima kasih kepada Mama dan Papa yang merelakan hasil kerja keras untuk menebus utang-utang kita."
"Kami yang berutang, kamu yang mencoba menyelamatkan dengan menorbankan hidupmu. Kami minta maaf, Bagas." Suara ibu Bagas lirih dan penuh penyesalan. "Sekarang, kami akan mendukung setiap langkahmu untuk menata hidup kita lagi. Mama yakin kamu selalu berada di jalur yang benar."
Bagas meletakkan sendok dan garpu yang ia pegang, lalu menatap ibunya dengan wajah serius. "Saya ingin pergi ke Batu besok. Saya harus segera bertemu Aleira."
"Apa tidak terlalu cepat?" tukas ayah Bagas. "Kamu baru saja bercerai dan merintis usaha. Papa hanya takut Leira mengganggu fokusmu."
"Tidak akan," sanggah Bagas penuh keyakinan. "Bagas pasti fokus dengan bisnis yang Bagas rintis. Soal Leira, Bagas akan melakukannya dengan perlahan. Pak Tino banyak bercerita tentang Leira, sejak ibunya menikah hingga malam penuh kekacauan itu. Bagas harus bergerak cepat, dengan pergerakan yang terkesan lembut dan perlahan."
"Kamu ... serius dengan Leira?"
Bagas menatap ibunya dan mengangguk cepat. "Bagas tidak pernah bertemu wanita setulus dan selembut Leira. Hanya Lei yang bisa memahami Bagas dan mendukung setiap langkah Bagas tanpa syarat."
Senyum ibu Bagas terlengkung lembut. "Kalau begitu, kami mendukungmu."
Selang beberapa detik dari ucapan semangat ibunya, ponsel bagas berdenting. Ia membuka ponsel yang terletak di meja makan dan membuka satu pesan yang masuk dari Om Tino.
Ini alamat rumah kakak saya di Batu, tempat Leira tinggal sekarang.
Dalam pesan itu, Bagas mendapat alamat lengkap yang akan Bagas tuju esok hari. Senyum Bagas terukir lebar saat ada tiga foto yang terkirim setelah informasi alamat dalam ruang bincangnya dengan Om Tino.
Leira sibuk dengan tanaman hias bersama masyarakat sekitar rumah kakak saya. Dia menunggu kamu, tetapi tolong perjuangkan anak saya dengan baik dan layak.
Tanpa sadar, Bagas mengangguk sambil membalas pesan itu. Langkahnya akan dimulai sesaat lagi dan ia bertekad harus berhasil.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...