"Kamu, kok, kelihatan agak kurusan, Nduk?" Paman Tino memperhatikan keponakannya yang sudah satu bulan tak bertemu. Pria itu baru saja turun dari mobil yang terparkir di kios Jumog untuk menurunkan beberapa bibit aglonema yang ia ambil dari kawasan Batu, Jawa Timur. "Kamu sakit? Mau Om antar ke dokter untuk periksa dan berobat?" Pria itu tak menutupi kekhawatirannya pada ponakan yang hidup sendiri padahal memiliki orang tua. "Atau ... jangan-jangan makanmu tak teratur?"
Aleira hanya bisa tersenyum menjawab rentetan pertanyaan itu. Ia bahkan tak tahu mengapa hari-harinya jadi berantakan sejak kembali bertemu Bagas. Jangankan makan, tidur saja ia tak lagi bisa teratur. Leira lebih sering menangis di tengah malam, akhir-akhir ini, terutama saat ucapan Bagas terngiang lagi dan bayang wajah ketus pria itu terbayang.
"Gak apa, Om. Leira baik-baik saja," jawab Leira seraya membuka pintu belakang mobil. "Om jadi bawa aglonema venus?" Ia memperhatikan apa saya yang ada di bagasi belakang mobil omnya. "Owh, twingkle dan snow white juga," tambahnya seraya mulai menurunkan polybag itu.
"Om mau mencocokkan daftar dan jumlah tanaman yang Pak Mansyur minta." Pria pertengahan empat puluh tahun itu membantu Leira mengambil tanaman yang ia bawa dari Jawa Timur, lalu menyuruh Maya untuk menata di tempat yang sudah Leira siapkan. "Paman mau lihat sekali lagi rancangan taman yang kamu buat, Lei. Supaya bisa menghitung perkiraan jumlah tanaman yang dibutuhkan. Takutnya ada selisih yang signifikan."
Aleira mengangguk, lantas menuju meja kios untuk mengambil map plastik yang berisi surat perjanjian kerja sama dan data lainnya. Saat Paman Tino melihat salinan asli yang Leira dapatkan dari Pak Mansyur setelah meeting tempo lalu, wajah Paman Tino berubah serius.
"Kamu membuat surat pernyataan bermaterai hanya untuk memastikan tumbuhan yang kita suplai bisa berkembang dengan baik? Bukankah memang sudah ada klausa tentang perawatan dan biaya jasa rawat tamannya yang akan dikontrak setiap tahunnya? Kenapa masih ada surat pernyataan?"
Aleira mengangkat bahu pasrah. "Pemilik hotelnya agak saklek dan tidak mau ambil resiko jika kita pergi tanpa tanggung jawab dan lari dari perjanjian yang sudah disepakati."
Mendengar penjelasan Leira, Paman Tino hanya bisa menggeleng tak habis pikir. "Kalau begitu, malam nanti kita ke Solo. Om mau membeli beberapa hal untuk menunjang pekerjaan kamu dalam proyek ini. Selain nominalnya yang cukup bagus, nama floris kita bisa lebih banyak dikenal orang jika sudah bekerja sama dengan sektor wisata. Kita bisa menawarkan suplai tetap untuk beberapa tanaman selain aglonema."
Kening Aleira mengerut samar dengan mata yang menyorot penuh tanya pada pamannya. "Memangnya, Leira butuh apa lagi untuk menjalankan proyek ini?"
"Laptop," jawab Paman Tino dengan senyuman. "Kamu harus mulai belajar lebih profesional dalam pencatatan. Juga, kita bisa membeli beberapa pakaian baru untuk kamu kenakan saat harus memantau ke sana. Kamu harus tampil rapi agar mereka memiliki kesan baik tentang bisnis kita."
"Leira rasa itu berlebihan."
"Tidak," sanggah Paman Tino. "Semua ini sesuai dengan yang kamu butuhkan. Kita makan malam di mal sekalian. Kamu pasti sudah lama tidak keluar. Om yakin itu."
Aleira meringis seraya menggeleng pelan. Keluar? Ke mana? Dengan siapa? Leira tak pernah memiliki gairah untuk menikmati hidupnya. Ia tak memiliki siapapun untuk berbagi dan saling memberi. Sendiri di rumah sambil menonton berbagai tutorial mengembang biakkan tanaman lebih menarik baginya untuk menghabiskan waktu dan kesepiannya.
"Jangan menolak, jangan buat alasan." Suara Paman Tino terdengar saat Leira sudah membuka mulutnya hendak bersuara. "Kamu berhak mendapatkan hasil kerja kerasmu. Ini bonus, juga barang yang memang sudah kita perlukan. Dengan laptop itu, selain bisa membuat catatan penjualan yang lebih rapi, kamu juga bisa membuat sosial media dan toko daring. Bisnis yang kamu tekuni ini bisa berkembang lebih pesat lagi. Jadi, jangan banyak berpikir jika mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk maju."
Aleira menutup kembali mulutnya dan hanya bisa mengangguk patuh. Seperti biasa, ia akan menuruti setiap arahan pamannya. Hanya pria itu yang masih mau menemuinya dan memberikan perhatian meski bercampur dengan kepentingan bisnis. Tak apa. Begitu saja Leira sudah sangat bersyukur.
Leira tak ingat kapan terakhir kali ia menikmati piza dan pasta yang Paman Tino pilih untuk makan malam mereka. Rasanya enak dan Leira tak bisa menahan hasrat untuk memuaskan perutnya dengan kuliner ini. Ia memperhatikan sekeliling restoran piza yang kini ia singgahi. Hampir semua meja dan kursi terisi penuh dengan pasangan yang saling tersenyum sambil suap-suapan, keluarga kecil yang sibuk menyuapi anak mereka dengan es krim dan pasta, kumpulan lansia yang saling tertawa entah bercanda apa.
Leira hanya bisa mengerjap dan memperhatikan sambil berpikir apakah ia akan memiliki kesempatan yang orang-orang itu miliki? Berkencan dengan seseorang yang tulus mencintainya, menikah dan memiliki keluarga untuk ia urus dan perhatikan, menua bersama orang-orang yang menyayangi dan mendukungnya untuk bahagia. Hidupnya penuh dengan getir dan pahit, hingga Leira tak tahu caranya untuk menanam harapan lagi.
"Sudah kenyang? Mau tambah lagi atau bungkus makan di rumah?"
"Ini sudah cukup, Om." Leira tersenyum seraya menghabiskan sisa pasta yang tinggal sedikit lagi. "Lei sudah kenyang," tambahnya dengan tawa malu-malu. "Terima kasih banyak, Om." Wajahnya menunduk dengan senyum lembut yang terukir.
Paman tino menahan tawa sambil mengambil tisu dan mengusap sisa saus pasta yang ada di ujung bibir keponakannya. Ia sedikit banyak iba dan prihatin dengan nasib Leira yang masih saja sendiri hingga saat ini. Tidak hanya satu dua kali pria itu menghubungi kakaknya dan meminta agar wanita itu memperhatikan Leira sedikit saja. Meski Leira hadir dari hubungan yang tak wajar, tetapi anak tetaplah anugrah yang harus dijaga.
Sayangnya, kakaknya masih saja takut untuk kembali menjadi ibu Leira. Wanita itu sudah bersyukur dengan kehidupan pernikahan yang ia impikan. Ia tak berani menghianati suaminya dengan memberikan perhatian juga waktu kepada Leira yang dianggap anak haram. Wanita itu selalu menangis dalam bimbang dan rasa bersalah, tetapi tak tahu harus berbuat apa karena ingin mempertahankan sesuatu yang akhirnya ia dapatkan.
Mengingat hanya dirinya yang bisa memberikan perhatian untuk Leira, senyum sendu Paman Tino terukir samar. Ia lantas beranjak dan pamit menuju kasir untuk membayar tagihan. Selama berkeliling mal, pria itu merengkuh pundak Leira dan menawarkan apapun yang sekiranya disukai perempuan seusia keponakannya.
Hingga tiga jam lebih mereka berkeliling, Aleira berhasil mendapatkan satu unit laptop dengan spesifikasi dan kualitas menengah, beberapa stel pakaian untuk bekerja di luar ruangan, perlengkapan pribadi perempuan, hingga alat tulis yang lebih terlihat profesional.
Aleira bahagia menerima pemberian dari pamannya. Ia tak pernah merasakan perhatian dan kasih sayang sebanyak ini. Selama hidup, ia selalu memperjuangkan kebutuhannya seorang diri. Bahkan, untuk sekolah saja, ia harus membantu sang ibu merawat rumah Bagas agar mendapat bantuan biaya sekolah dari orang tua pria itu.
Ah, hati Leira jadi sendu saat nama itu terlintas lagi. Ia berusaha mengukir senyum dan mengabaikan rasa sakit yang kerap ia rasa. Ia ingin menikmati momen ini bersama pamannya. Pria yang ia anggap ayah, karena tak pernah merasakan bagaimana mendapatkan cinta seorang ayah. Sepanjang perjalanan dari toko buku menuju parkiran, Leira terus melengkungkan senyum dan mendoktrin dirinya untuk bahagia dengan apa yang ia miliki.
Sayangnya, senyum dan sugesti bahagia itu seketika hancur berantakan saat ia mendapati Bagas tengah berdiri di depan mobil yang terparkir tak jauh dari milik Paman Tino. Tubuh Leira membeku beberapa saat dengan degup jantung yang sangat kencang. Tubuhnya gemetar dengan wajah pias dan jutaan emosi yang menggulung batinnya. Ada sepercik rindu yang meledak dalam hatinya, tetapi tak bisa ia keluarkan dan harus mau ditahan sekuat mungkin, karena saat ini wajah Bagas terlihat jelas memerah, seperti memendam amarah.
Leira yakin, seyakin-yakinnya, jika pria yang ia cintai sejak dulu hingga saat ini, sedang marah dan membencinya entah karena apa.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Aglovenema
RomanceAlleira sudah mati rasa terhadap cinta dan kasih sayang. Hidup terlampau banyak mencekokinya dengan rasa pahit kekecewaan dan penghianatan. Ditinggalkan dan meninggalkan, adalah hal biasa dan terbiasa ia lakukan. Baginya, lebih baik hampa dan sendir...