UNKNOWN ERROR OCCURED #1 (2)

13 2 5
                                    

"Ayah," panggil Arga.

Ayah yang hendak meninggalkan ruang makan untuk mencuci piring pun mengurungkan niatnya dan kembali duduk mendengarkan anaknya itu.

"Mulai semester selanjutnya, aku mau mengundurkan diri dari kuliah," sambungnya.

"Ga? serius?" tanya Alwi yang terkejut dengan ucapan adiknya itu.

Arga hanya mengangguk.

Suasana meja makan yang awalnya ramai pun mendadak hening. Bahkan Aldin yang selalu menimpali omongan Arga, sekarang hanya diam membatu.

Kaget. Itu yang mereka semua rasakan.

Jika dibandingkan dengan anak Ayah yang lain, Argalah yang paling berprestasi. Semua orang tahu bagaimana Arga berjuang mendapatkan kuliah gratis di perguruan tinggi negeri. Bahkan Arga sampai menunda satu tahun untuk mendapatkan beasiswa tersebut. Namun, apa alasan Arga sampai akhirnya memutuskan itu?

"K-kenapa, Ga?" Akhirnya Ayah bersuara.

Arga hanya diam menunduk, seakan berusaha menyiapkan alasan yang pas bagi Ayahnya itu.

"Arga ... cuma merasa cape harus bolak-balik dari rumah ke kampus setiap hari, ditambah harus ikut kegiatan sosial dari program beasiswa, belum lagi praktikum dan organisasi sampai malam. Arga, cuma cape, Yah," jawabnya sedikit ragu.

Ayah kaget mendengar jawaban tak terduga dari Arga.

"Kalau Arga mau ngekos, bisa kok, Ga. Arga enggak usah mikirin biayanya, lagian kan kuliah Arga gratis, jadi Ayah bisa menanggung biaya kos kamu di sana," tawar Ayah cemas.

Bagaimana tidak cemas? Anaknya yang selama ini ia banggakan, tiba-tiba menyampaikan berita mengejutkan. Ayah rasa semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sampai harus memutuskan untuk berhenti kuliah. Arga adalah mahasiswa berpresasti yang menerima beasiswa penuh selama kuliah. Uang bukanlah hal yang akan ia khawatirkan. Lelah? Ayah pikir itu bukan alasan yang masuk akal bagi Arga.

"Enggak Yah, Arga enggak mau ngekos. Lagi pula sebentar lagi, Aldin udah mau kuliah juga. Lebih baik uangnya untuk biaya kuliah Aldin. Dapetin beasiswa kan enggak semudah itu, enggak ada jaminan pasti buat Aldin dapetin beasiswa itu kan?" jawab Arga.

Aldin yang awalnya diam, akhirnya angkat bicara ketika mendengar namanya disebut-sebut.

"Abang jadiin aku alasan?" tanya Aldin dengan wajah serius.

"Abang pikir cuma Abang yang mampu dapetin beasiswa itu? Bahkan Abang harus nunda kuliah selama satu tahun buat dapetin itu. Kenapa seakan-akan cuma Abang yang bisa? Bang Arya di Semarang juga dapat beasiswa kok. Jangan merasa cuma Abang yang berjuang meringakan beban Ayah. Aldin tahu kok, Abang emang pintar, beda sama Aldin. Tapi bukan berarti Aldin enggak bisa. Aldin juga berusaha, Bang." Ia merasa tersinggung dengan apa yang telah dikatakan Arga.

Ayah dan Alwi hanya diam terkejut melihat Aldin bicara seserius itu. Arga yang duduk tepat di depannya pun hanya menatap balik tatapan sinis yang dilayangkan Aldin. Alena yang merasa suasana semakin panas, akhirnya bersuara.

"Udah jam setengah tujuh nih, Ayah sama Bang Alwi enggak berangkat? Nanti telat loh. Bang Aldin, ayo kita berangkat, aku enggak mau telat kayak kemarin," ucap Ale berusaha mengalihkan topik.

Ayah yang khawatir akan terjadi keributan antara Aldin dan Arga pun segera membalas ajakan Ale, "Wi, ayo berangkat. Ale tolong cuciin piring Ayah sama Abang."

"Arga," panggil Ayah.

Arga menengok. "Nanti kita bicarain lagi keputusanmu itu," sambung Ayah. Ayah dan Alwi pun segera pamit untuk berangkat kerja. Tersisa Arga, Aldin, dan Ale di rumah.

Karena suasana sangat canggung, Ale segera merapihkan piring-piring kotor yang ditinggalkan Ayah dan Alwi dan mencucinya di wastafel. Arga menyusulnya seraya berkata, "Abang aja Le yang cuci piring, kamu sama Aldin berangkat sana."

Ale pun segera memberikan sponge cuci piring itu. Dengan ragu ia berkata, "Abang kalau ada apa-apa, cerita ya sama Ale." Ia menunduk sambil memainkan jari-jemarinya, takut Arga akan marah mendengar tawarannya itu.

"Iya," jawab Arga sambil tersenyum kecil.

Setidaknya Bang Arga telah menyetujui tawarannya itu, pikir Ale sambil tersenyum sumringah.

Ia pun segera pamit, "Ale berangkat ya, Bang."

***

"Iya, Bang. Aku kan jadi tersinggung dibilang gitu. Emang cuma si Arga doang apa yang bisa, sombong banget."

Terdengar celotehan Aldin di luar rumah. Ale sudah menduga, kalau Aldin sedang berbicara dengan Bang Arya lewat telepon. Ale segera menghampiri Abangnya tersebut sambil membawa tas Aldin yang masih tertinggal di meja makan.

"Bang Arya harusnya liat muka seriusnya Bang Aldin, kocak banget, hahahahaha," teriak Ale.

"Apaan sih, rusuh banget kamu," balas Aldin, masih dengan wajah seriusnya. Ale tertawa terbahak-bahak melihat Abangnya yang masih marah.

"Udah ya, Bang. Ale ngajak ribut nih. Nanti aku kabarin lagi. Ayah sehat kok. Iya, sip."

Aldin mematikan teleponnya dengan Arya dan menghampiri Ale yang sedang mengikat tali sepatunya.

"Mana sini tas Abang," cetus Aldin. Ale masih cekikikan melihat Aldin dengan wajah seriusnya.

"Aldin tahu kok, Abang emang pintar, beda sama Aldin. Tapi bukan berarti Aldin enggak bisa. Aldin juga berusaha, Bang," ledek Ale sambil mengikuti nada bicara Aldin tadi.

"Ale ih, Abangnya lagi marah malah diledekin gitu," balas Aldin kesal.

"Biarin, Abang juga sering begitu, kualat!" timpal Ale sambil menjulurkan lidah dan segera berlari keluar pagar, takut Aldin semakin marah.

"Heh, tungguin," teriak Aldin mengejar adiknya itu.

Dan semuanya pun kembali seperti biasa. Akhirnya, Ayah menyetujui keputusan Arga tanpa berusaha menyelidiki masalah tersebut lebih dalam. Padahal semua menyadari, tidak masuk akal bagi Arga untuk putus kuliah dengan alasan lelah. Namun, seakan tidak ada yang peduli, masalah itu berlalu seperti angin. Tak ada yang berusaha membuat Arga bercerita, dan Arga pun tak berniat untuk mengungkapkannya. 'UNKNOWN ERROR OCCURED' dalam keluarga tersebut, dimulai dari sini, tanpa ada yang menyadari.

***

to be continued <3

UNKNOWN ERRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang