Arga terengah-engah sesampainya di rumah sakit. Ia sangat kalut setelah menerima telepon dari Arya yang memarahinya karena tidak bisa dihubungi. Sejak siang tadi, ia ada jadwal mengajar dan baru selesai di sore hari sehingga tak sempat untuknya menengok ponselnya itu.
"Ale ..." panggilnya masih dengan napas yang menderu.
Mendengar namanya dipanggil, membuat matanya kembali berkaca-kaca lagi.
"Ih jangan nangis, Ayah baik-baik aja kan?" tanya Arga sambil merangkul adiknya itu.
"Tapi, Ale takut Ayah kenapa-napa, Bang," balas Ale.
"Jangan lebay, deh," timpal Arga berusaha menenangkan sambil mengelus-elus pundak Ale.
Ale hanya diam memandangi layar ponselnya, berharap Alwi dan Aldin membalas pesan-pesannya.
"Aldin juga enggak bisa dihubungi?" tanya Arga setelah melihat layar ponsel Ale yang menampilkan pesannya tak mendapatkan balasan dari Aldin.
"Sok sibuk banget dia, emang ngapain sih," sambung Arga dengan sewot.
Ale yang mendengar itu malah tertawa. Akhirnya abangnya kembali menjadi Arga yang selalu misuh-misuh tentang Aldin.
"Kok kamu ketawa?" tanya Arga seraya melepas rangkulannya itu.
"Abang udah lama enggak sewot gara-gara Bang Aldin," jawab Ale sambil terkekeh.
Arga diam sambil berpikir kapan terakhir ia berantem dengan Aldin. Ternyata sudah cukup lama, karena semenjak Aldin merasa tersinggung dengan omongan Arga tentang beasiswa itu, Aldin menjadi pendiam di hadapan Arga.
"Tadi biaya rumah sakitnya siapa yang bayar?" tanya Arga.
"Aku tadi ke sini sama Mamah, terus Mamah yang urus semuanya," jawab Ale.
"Nanti kita harus ganti uangnya, enggak enak tahu, ngerepotin Mamah terus," ucap Arga.
Ale mengangguk setuju.
Arga beranjak dari kursinya seraya berkata, "Abang beli minum dulu ya, kamu coba telepon Aldin sama Bang Alwi lagi ya."
Ale kembali mengangguk dan mencoba menghubungi abangnya yang lain. Tak lama, muncul notifikasi dari grup 'Kata Ayah, Tolong Berkabar'. Sebelumnya, Ale juga sudah mengabarkan di grup itu bahwa Ayah sedang berada di rumah sakit dan ia sendirian di sana.
Alwi : Ale, maaf banget abang baru bales, tadi abang ada workshop di luar kantor dan enggak megang hp sama sekali, ini Mamah yang ngabarin Papah dan Papah baru ngabarin atasan abang yang ikut workshop juga di sini, Ale jangan panik di sana ya, abang udah mau jalan ke rumah sakit, tapi takutnya macet dan kamu nunggu lama, coba kamu hubungi Arga sama Aldin lagi.
Alena : Ale udah sama Bang Arga kok
Alena : Abang enggak usah ke sini
Alena : Ini susternya udah manggil aku
Alena : Ayah udah bangun, abang nunggu di rumah aja
Alena segera menghampiri suster yang tadi memanggilnya itu.
"Alhamdulillah Pak Arfan udah bangun, tinggal menunggu sebentar lagi sampai infusnya habis, nanti kalau udah enakan boleh langsung pulang ya," jelas suster tersebut.
Ale pun menghampiri Ayahnya. Tak lama, Arga ikut menyusul setelah membeli air minum untuknya.
"Ayah ..." panggil Ale sambil berusaha menahan air matanya.
"Ale ah jangan nangis," timpal Arga.
Ayah terkekeh melihat anak-anaknya itu, "Ale, Ayah enggak apa-apa, yuk pulang abis ini,"
Ale segera memeluk Ayahnya itu sambil meneteskan air matanya. Ayah yang dipeluk hanya tertawa kecil melihat anak gadisnya itu sangat mengkhawatirkannya.
"Ale cengeng banget deh," cetus Arga.
"Ih emang kenapa sih, Abang tuh enggak punya perasaan," balas Ale.
Arga pun segera menghubungi Arya lewat telepon. Mereka berempat akhirnya berbincang-bincang sambil menunggu infusan Ayah habis.
"Iya, tadi Abang marahin Arga tahu, hahaha, enggak ada Aldin ya? Padahal mau pamer," cerita Arya lewat telepon.
"Ih serius, Bang? Satu sama dong sama Bang Aldin," timpal Ale sambil tertawa.
"Aldin belum bisa dihubungi juga? Kemana sih dia? Tadi di sekolah ada kan, Le?" tanya Ayah khawatir.
"Di sekolah tadi mah ada, Yah. Tapi pas pulangnya itu, dia udah menghilang, enggak tahu ke mana," jawab Ale.
"Ini tadi siang dia bilang mau belajar terus pulangnya jam 8 malam," ucap Arga setelah mengecek pesan Aldin siang tadi di grup 'Kata Ayah, Tolong Berkabar'.
"Makanya, Le, kalau udah bel sekolah tuh jangan ngobrol dulu, langsung samperin kelasnya Aldin, terus ikutin deh diam-diam, pacaran kali dia," timpal Arya.
"Serius pacaran? Katanya belajar, bisa banget tuh anak," balas Arga.
"Nanti coba Ayah yang bicara sama Aldin,"
"Marahin aja, Yah,"
"Abang jadi pulang ke sini?" tanya Ale.
"Jadi, Abang udah terlanjur beli tiketnya juga, besok malam berangkatnya,"
Ayah tersenyum senang mendengar kabar itu, "Alhamdulillah, akhirnya Arya pulang juga,"
"Iyalah, permintaan adik tersayang apa sih yang enggak diturutin," cibir Arga.
"Bang Arga cemburu ya ..." ledek Ale sambil tertawa melihat wajah abangnya yang semakin sewot.
"Adik Arga cemburu? Mau apa, mau apa, sini Abang Arya turutin, dik,"
"Geli banget," ucap Arga dengan sinis.
Ayah, Arya, dan Ale tertawa terbahak-bahak sampai suster yang sedang berjaga di sana menegur keluarga itu. Sudah lama sekali mereka tidak tertawa seperti ini setelah pengumuman Arga untuk tidak kuliah lagi saat itu.
Tertusuk pedang bermata dua, sakit memang. Namun, bukankah kita harus bersakit-sakit dahulu untuk bersenang-senang kemudian? Tak apa, jika salah satu harus berkorban untuk tertusuk pedang bermata dua itu, karena hadiah dari pengorbanannya lah yang mereka nantikan. Momen kecil seperti ini sangat berharga bagi keluarganya, kapan lagi mereka bisa bercengkrama sambil tertawa bersama. Setidaknya untuk saat ini, sebelum kelanjutan 'UNKNOWN ERROR' yang lain dimulai.
***
to be continued!
KAMU SEDANG MEMBACA
UNKNOWN ERROR
Ficção GeralAlena selalu merasa bahwa keluarga itu ibarat rumah. Tempat berpulang dari hiruk pikuknya dunia luar. Tempat berlindung dari hujan dan badai. Tempat saling menceritakan dan berbagi banyak hal. Setidaknya Alena selalu berpikir demikian. Namun siapa...