Tujuh belas tahun, umur Arga kala itu. Sebagai siswa kelas 12, Arga tak pernah menyia-nyiakan waktu. Ia selalu belajar dengan tekun untuk mewujudkan impiannya sebagai dokter. Kehilangan sosok Ibu sejak dini merupakan alasan bagi Arga memiliki ambisi untuk menjadi dokter. Arga tahu, bahkan Ayah sangat berharap banyak padanya. Karena Alwi yang saat itu juga merupakan siswa berprestasi, terpaksa merelakan mimpinya karena harus membantu Ayah mencari nafkah. Lain halnya dengan Arya, ia sangat kesulitan mengikuti pelajaran IPA sejak SMP sehingga memutuskan untuk mengambil jurusan IPS saat SMA.
Menjadi dokter di universitas ternama, itu yang diimpikan Arga. Namun, sekeras apa pun ia berusaha saat itu, tak menjamin impiaannya akan terwujud dengan mudah. Ia harus bersaing dengan beberapa murid yang juga berkeinginan untuk menjadi dokter. Karena sekolahnya, tak ingin mengambil resiko untuk mendaftarkan muridnya yang tidak cukup berprestasi pada jurusan kedokteran di universitas ternama. Sekolahnya hanya mementingkan rekornya saja. Semakin banyak yang diterima di perguruan tinggi negeri, semakin bertambah citra sekolah tersebut.
Dan mengizinkan semua murid yang berkenan untuk menjadi dokter mendaftarkan dirinya di kampus ternama adalah bunuh diri bagi sekolah. Hanya orang-orang terpilih yang mendapatkan izin dari sekolah. Arga adalah salah satunya, bukan satu-satunya. Ia tetap harus bersaing lagi dengan beberapa temannya yang juga terpilih. Sekolah pun melakukan seleksi pada masing-masing kandidat lewat rapot serta sertifikat perlombaan yang telah mereka dapatkan.
Sampai akhirnya, Arga mendapatkan kesempatan itu. Ia melalui semuanya sendirian. Tanpa bantuan dan dukungan siapa pun. Ayah dan Alwi sibuk mencari nafkah, Arya sudah merantau ke Semarang, sedangkan Aldin dan Ale saat itu masih SMP. Tak ada yang menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah, semua sibuk dengan kepentingannya masing-masing.
Arga tahu, dengan diberikan kesempatan baginya untuk mendaftarkan diri di jurusan dan universitas yang banyak peminat, menyebabkan pesaing yang lain pun memusuhinya. Itu lah hukum alam, yang di bawah akan merasa iri dan dengki ketika melihat seseorang yang menurut mereka tidaklah pantas malah merebut apa yang mereka dambakan.
Namun, Arga tak berusaha memikirkannya. Ia sama sekali tak terganggu dengan hal itu. Sampai orang tua Brian yang merupakan salah satu rivalnya, mendatangi Arga. Tanpa basa-basi, ditawarkan bagi Arga sejumlah uang agar ia merelakan kesempatannya untuk Brian. Namun, hal itu pun sama sekali tak mempengaruhinya. Akan tetapi, sekali lagi, sekeras apa pun ia berusaha, tak menjamin impiannya akan terwujud semudah itu.
"Ayah minjam uang ke orang tuanya Brian?" tanya Arga cemas.
"Iya, waktu pertemuan wali murid, orang tua Brian menawari itu. Katanya Brian teman dekat kamu, Ga. Kebetulan, Ayah juga lagi nyari pinjaman. Keuangan Ayah lagi enggak stabil, Ga. Alwi juga belum bisa bantu banyak, sedangkan tabungan udah dipakai untuk biaya masuk kuliah Arya, kamu juga dikit lagi kuliah kan. Maaf Ayah enggak cerita ke kalian, Ayah janji bulan depan akan melunasinya kok," jawab Ayah santai.
Arga menghela napas kasar. Ia tak habis pikir, mengapa Ayahnya dapat mengambil keputusan semudah itu. Bahkan dengan orang yang baru ia kenal. Teman dekat katanya? Selama ini Brian dan teman-temannya selalu mencemooh Arga karena background keluarganya. Dan sekarang, Brian mengusik Ayahnya juga.
"Ada masalah, Ga?" tanya Ayah ragu-ragu ketika melihat ekpresi wajah anaknya yang menjadi kesal.
"Seharusnya Ayah enggak ngambil uang itu," ucap Arga dengan ketus sambil berlalu pergi meninggalkan rumahnya.
Di sekolah tadi, Bu Arini dengan terburu-buru menghampiri Arga. Beliau mengatakan bahwa guru kesiswaan telah mengonfirmasi bahwa Arga mengundurkan diri dari pilihan pertamanya di SNMPTN. Dan pilihan itu akan diambil oleh Brian. Arga panik mendengar hal itu dan segera menghampiri Brian. Brian menjelaskannya dengan angkuh, seakan ia telah menjadi pemenang dari pertempuran di sekolah itu.
Besar keinginan Arga untuk memaki Ayahnya. Ia telah berjuang sangat keras, namun impiannya itu direbut paksa karena keputusan gegabah sang Ayah. Ia tak bisa menceritakan kepada siapa pun, bahkan untuk mengungkapkan yang sebenarnya kepada Ayah pun, Arga tak mampu. Arga ingin menyalahkan Ayahnya, namun ia sadar, Ayah juga telah melalui banyak hal berat, sampai akhirnya memutuskan hal itu. Menjadi tulang punggung keluarga tidaklah mudah, Arga tahu itu. Dan karena itu, ia tak ingin menambah beban Ayahnya.
"Arga mau ngungkapin hal ini ke komite sekolah? Ibu janji akan bantu kamu semaksimal mungkin. Tapi yang harus Arga tahu, ini juga bisa berdampak besar bagi Arga dan Ayah Arga. Mungkin Ayah Arga memang enggak menerima suap itu secara langsung, tapi banyak oknum yang akan memanfaatkan hal ini dengan membalikkan fakta," ucap Bu Arini setelah Arga menceritakan hal yang sebenarnya.
Arga mengerti, orang tua Brian adalah pegawai negeri yang bekerja di bidang pendidikan dan juga merupakan keluarga ternama yang dipandang oleh banyak orang. Dengan mengekspos kasus tersebut ke komite sekolah, membuka kemungkinan baik masyarakat sekolah dan masyarakat sekitar tahu tentang suap-menyuap itu. Bahkan kemungkinan terburuknya pun, Ayahnya juga akan terbawa dan terkena imbasnya.
Arga menghela napas berat, seraya berkata, "Saya enggak mau keluarga saya tahu tentang kasus ini, Bu. Apa bisa begitu?"
"Ibu akan berusaha," jawab Bu Arini dengan yakin.
Benar saja, Bu Arini sebagai wali kelasnya pun berusaha menyelesaikan masalah itu, serta menutupinya dari keluarga Arga.
Brian didiskualifikasi karena melakukan hal yang tidak sepatutnya. Alhasil, ia pun tidak diberi kesempatan oleh sekolah untuk mengikuti SNMPTN. Tapi dengan beberapa pertimbangan, kesempatan mendaftarkan diri di jurusan kedokteran UI yang sangat dinantikan Brian dan juga Arga pun akhirnya diberikan kepada murid yang lain.
Sebenarnya, Arga masih mengharapkan bisa mendaftarkan diri di UI, namun setelah tahu Brian didiskualifikasi, Arga akhirnya merasa tak masalah dengan keputusan itu. Ia pun direkomendasikan untuk memilih jurusan kedokteran di kampus luar jawa saat pendaftaran SNMPTN.
Karena kasus suap-menyuap tersebut ditangani secara tertutup oleh komite sekolah, akhirnya tak banyak orang yang tahu. Hanya beberapa pegawai sekolah dan panitia pendaftaran SNMPTN yang mengetahuinya. Arga sangat lega, berita ini tidak tersebar dan keluarganya pun tidak terbawa-bawa.
Namun ternyata, penderitaannya tak berakhir di situ. Bahkan, ia rasa, dari keputusannya melaporkan kasus Brianlah yang menjadikannya semakin dalam masalah.
Beberapa bulan setelahnya, Ayah Arga mengembalikkan uang yang dipinjamnya dari orang tua Brian. Arga rasa semuanya sudah selesai, ia tak harus berurusan dengan keluarga Brian lagi. Namun saat pengumuman SNMPTN, ia tak menyangka, tak satu pun diantara mereka yang mendaftarkan diri di jurusan kedokteran tersebut lolos. Pihak sekolah sangat kecewa dengan hasil itu.
Padahal mereka telah menyusun strategi sebaik mungkin. Orang tua Brian yang mendengar kabar itu, dengan tidak sopannya menyalahkan pihak sekolah yang mencabut kesempatan Brian.
"Coba saja kalau Brian yang didaftarkan di kedokteran UI, pasti warnanya akan hijau bukan merah," ucap Ibu Brian di ruang guru saat pihak sekolah sedang mengecek ulang pengumuman SNMPTN tiap murid.
Suasana sekolah sangat tegang saat itu. Jelas saja, strategi yang telah mereka susun ternyata tak membuahkan hasil yang memuaskan. Ditambah lagi cacian Ibu Brian yang menyudutkan pihak sekolah karena keputusan mendiskualifikasi Brian dari SNMPTN.
Sekali lagi, Arga kira semuanya sudah selesai. Namun, Arga baru menyadari dari sini lah kisah bullying yang ia rasakan itu dimulai.
***
to be continued <3
KAMU SEDANG MEMBACA
UNKNOWN ERROR
Ficción GeneralAlena selalu merasa bahwa keluarga itu ibarat rumah. Tempat berpulang dari hiruk pikuknya dunia luar. Tempat berlindung dari hujan dan badai. Tempat saling menceritakan dan berbagi banyak hal. Setidaknya Alena selalu berpikir demikian. Namun siapa...