Diam Adalah Emas? (2)

6 2 1
                                    

"Kamu udah maaf-maafan sama Arga, Din?" tanya Mila di perjalanan mengantar Aldin.

"Lah, Kak Mila tahu aja, pasti si Ale mulut rombeng ya, yang ngasih tahu," balas Aldin. Pasalnya hanya Ale yang rajin bolak-balik ke rumah sebelah, jadi dapat dipastikan, Ale yang membocorkan hal itu.

"Kenapa kamu curiganya sama Ale aja? Enggak curiga sama Bang Alwi?" tanya Mila sambil terkekeh.

"Bang Alwi ngegosip? Mana mungkin ..." teriak Aldin.

Alwi dan Mila adalah teman satu kantor. Tepatnya, Alwi bekerja di kantor Papahnya Mila. Dan Mila memohon-mohon kepada Papah agar diizinkan bekerja di kantornya juga. Iya, Mila memang menyimpan rasa dengan Alwi. Jangan mengharapkan kisah cinta romantis antara Alwi dan Mila. Selama bertahun-tahun, tak pernah sekali pun Alwi merespon kehadiran gadis itu. Bahkan di saat Arya, Arga, Aldin, dan Ale menganggap Mila sebagai sosok Kakak perempuan bagi mereka, Alwi hanya melihat Mila sebagai anak tetangga rumah sebelah.

"Hahahaha, salah makan itu mah," balas Mila.

Berbeda dengan Mila dan Aldin yang sepanjang perjalanan saling menceritakan banyak hal, Ale dan Arga hanya diam tanpa bersuara. Sebenarnya Ale sudah berkali-kali memulai pembicaraan, namun setiap ia membuka suara, Arga langsung memotongnya dengan berkata, "Apa, Le? Enggak kedengeran, nanti aja ya."

Bahkan di saat Ale sama sekali tidak bersuara, Arga tiba-tiba membentaknya, "Apaan sih, Le? Nanti aja ngobrolnya!" Ale benar-benar tak habis pikir. Ia yakin bahwa pendengaran abangnya itu bermasalah.

Sesampainya di sekolah, Aldin dan Ale segera berlari karena melihat gerbang sekolah itu sudah hampir tertutup. Mila hanya menggelengkan kepalanya melihat Aldin dan Ale masih saja berdebat dan saling menuduh tentang siapa yang menyebabkan mereka hampir telat.

"Kak Mila, Arga duluan ya," ucap Arga.

"Eh tunggu, Ga. Kamu mau ke mana hari ini? Beneran udah enggak kuliah?" tanya Mila setelah turun dari motor dan menghampiri Arga. Pasalnya, ia hanya mendengar gosip tersebut dari Ale kemarin. Ia juga masih tak menyangka, Arga bisa membuat keputusan yang menurut Mila sangat sembrono.

"Ada janji sama guru SMA, aku rencananya mau ngajar di bimbingan belajar yang beliau rintis," jawab Arga.

"Oh ... ceritanya udah dapat pekerjaan baru nih, nanti kalau gajian traktir Kakak ya ..." canda Mila sambil menepuk bahu Arga.

"Maaf, Kak, rencananya sih mau kutabung uangnya," balas Arga dengan wajah merasa bersalah.

"Arga, aku bercanda loh." Mila tertawa terbahak-bahak melihat wajah bingung Arga. Mila sangat setuju dengan Aldin, mengusili Arga itu menjadi kepuasan tersendiri baginya.

"Kemarin Ale bilang, katanya dia udah nyuruh kamu buat cerita kalau ada masalah, Ale nungguin tahu, Ga. Kamu enggak ada niat ceritain ke Ale?" sambung Mila setelah selesai menertawakan Arga.

"Ceritain apa?" tanya Arga sedikit ragu.

"Kamu kalau ada masalah, jangan malu buat cerita ya, ke Ayah, Bang Alwi, Arya, Aldin, eh tapi kayaknya jangan ke Aldin deh, hmmm ke Ale, atau bahkan ke Kakak," jawab Mila.

"Apa aja, Ga," sambung Mila.

"Terutama alasan kamu untuk putus kuliah," bisik Mila ke telinga Arga.

Mila tersenyum hangat kepada Arga. "Kalau kamu udah siap, hubungi aku aja ya, eh udah jam tujuh lewat, aku duluan deh, Ga." Dengan panik, ia segera menghampiri motornya dan pergi ke kantor dengan kecepatan penuh. Habis sudah ia dimarahi Papah yang merangkap menjadi atasannya karena terlambat datang ke kantor.

***

Dan di sinilah Arga, duduk di ruang tunggu bersama beberapa remaja yang menurutnya seumuran dengan Aldin. Setelah mengantar adiknya sekolah, ia pulang terlebih dahulu ke rumah untuk mandi dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu kamar dan mencuci pakaian. Setelah semua pekerjaan di rumahnya selesai, barulah ia berangkat menuju lembaga bimbingan belajar yang tadi pagi ia ceritakan kepada Ayah dan Mila.

"Arga, ayo ke ruangan Ibu," ucap wanita paruh baya memanggilnya.

"Iya, Bu," jawab Arga.

Bu Arini, salah satu guru SMA yang sangat dekat dengannya. Saat ini Bu Arini sudah tidak mengajar di SMA lagi, dengan alasan sibuk sebagai ibu rumah tangga dan tidak mendapatkan izin lagi oleh suaminya. Akhirnya, Bu Arini pun merintis suatu lembaga bimbingan belajar. Beliau sudah mengajak Arga untuk mengajar di bimbel tersebut sejak kuliahnya masih semester 1 kala itu. Namun, Arga sempat menolak karena ia merasa belum mampu membagi waktu untuk akademik dan organisasinya, apa lagi jika ditambah kewajiban untuk mengajar di bimbel tersebut.

"Serius keputusanmu itu, Ga?" tanya Bu Arini sambil menyajikan segelas teh hangat.

"Iya, Bu. Arga sudah memikirkannya baik-baik. Mohon bimbingannya untuk mengajar di sini ya, Bu," jawab Arga.

"Ibu senang kalau akhirnya kamu mau mengajar di sini, tapi Ibu khawatir sama keputusanmu untuk berhenti kuliah itu. Arga mau cerita?"

Arga hanya diam. Arga yakin bahwa Bu Arini tahu apa alasan sebenarnya bagi Arga untuk berhenti kuliah. Pasalnya, Bu Arini yang paling tahu banyak tentangnya, bahkan jika dibandingkan keluarganya itu. Cape? Tentu saja itu bukan alasan yang sebenarnya. Ia sudah berjuang mati-matian untuk bisa masuk PTN dan mendapatkan beasiswa selama kuliah. Dan Arga juga sangat menikmati kegiatan sosial serta organisasi yang ia jalankan saat kuliah, ia tidak pernah terbebani akan hal itu.

Bahkan Ayah sampai berpikir jika keputusannya itu karena lebih mementingkan biaya kuliah Aldin dan Ale yang akan mendatang. Arga tidak senaif itu. Ia tidak akan melepas mimpinya hanya untuk Aldin dan Ale. Ia bukan Alwi yang bisa melapangkan dada untuk tidak kuliah demi mebiayakan adik-adiknya.

"Arga enggak mau cerita?" sambung Bu Arini dengan ragu.

"Maaf, Bu, untuk saat ini Arga belum bisa cerita. Arga sudah yakin dengan keputusan Arga, dan sekarang Arga mau fokus untuk mengajar," ucap Arga dengan tegas.

Bukankah diam adalah emas? pikir Arga. Ia tak ingin membebani terlalu banyak orang dengan menceritakan masalahnya. Kesempatan yang ditawarkan Bu Arini untuk mengajar di bimbelnya sudah lebih dari cukup. Bu Arini juga sudah banyak membantu Arga saat SMA. Bahkan Arga yakin, alasan suami Bu Arini yang tak mengizinkan istrinya itu untuk mengajar di sekolah lagi adalah karena Arga. Karena saat itu, bagi Arga, Bu Arini adalah sosok guru yang sangat ia percaya lebih dari keluarganya, tempat ia berkeluh kesah dan tempat ia untuk bercerita.

Bu Arini tahu segala hal tentangnya yang tidak diketahui keluarga Arga. Karena Arga menganggapnya sebagai sosok yang menggantikan kehadiran Ibunya. Arga butuh sosok tersebut. Sosok yang tak ia dapatkan saat di rumah. Walaupun Arga tahu, bagi saudaranya yang lain, Mamah yang merupakan tetangga rumahnya adalah pengganti sosok Ibu mereka. Namun, Arga sama sekali tak merasakan itu. Mungkin karena saat Arga sedang terpuruk dan membutuhkan tempat untuk bercerita, Mamah juga sibuk mengurus Aldin dan Ale, sehingga sulit bagi Arga untuk mendapatkan perhatiannya.

Dan saat Arga benar-benar membutuhkan sosok untuk bersandar, Bu Arini hadir membawa banyak perhatian. Arga tersenyum pahit jika mengingat masalah yang Arga sebabkan itu ternyata mengakibatkan perhatian Bu Arini kepada keluarganya berkurang. Sampai akhirnya, suami Bu Arini tak mengizinkannya untuk mengajar di sekolah lagi. Sudah cukup kali itu saja, ia membebani Bu Arini. Arga yakin, ia sudah cukup dewasa untuk menyimpan masalah dan kecemasannya sendiri. Sekali lagi, Arga berusaha meyakinkan dirinya, bukankah diam adalah emas?

***

to be continued..

i hope you like it <3

can i get some critics and advices from you?

thank you!!!


UNKNOWN ERRORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang