Pertemuan mendadak bersama Pimpinan baru, di waktu yang tidak disangka-sangka menjadi suntikan beracun pada Hinata. Begitu yang terpikir di dalam benaknya, tatkala dia terserang kelesah hebat.
Pasalnya usai rapat singkat tersebut, sang Pimpinan memberi panggilan khusus untuknya.
"Sepertinya kau itu sangat senang mengulur waktu, ya? Walaupun aku cukup heran, absenmu bagus dan belum ada keterlambatan selama bekerja. Tapi kenapa seharian ini yang kuamati justru sebaliknya. Kau telat datang ke aula, lalu telat hadir di dalam rapat. Aku sedikit kecewa sebenarnya, tadinya kuharap dapat menemukan sedikit saja kesalahan di laporanmu. Sayangnya tidak. Jadi Hi-nata... ehm, nama yang cantik. Bisa kau jelaskan apa maksud perilakumu ini? Apa kau sengaja mengetes kesabaranku? Barangkali kau ingin juga menguji kelayakanku sebagai Pimpinan di sini, benar?"
"A-anu, bukan..."
"Sepuluh menit lagi ke ruanganku. Dan tidak boleh terlambat kali ini, Hinata. Atau kau tahu akibatnya, sayang."
Hinata menggeleng-gelengkan kepala, hingga membuyarkan ingatan di beberapa menit sebelumnya. Dia menarik napas secara dalam. Merapikan rambutnya yang dibiarkan tergerai, memastikan Name Tag berada di depan dadanya, lalu dengan bimbang sekaligus cemas, dia mengetuk pelan-pelan pintu ruangan sang CEO.
Tiga ketukan pertama, tidak ada jawaban dari dalam. Hinata mengulang kepalan tangannya untuk memukul pintu berirama serupa. Namun setelah sampai berdetik-detik terlewat, masih juga sunyi yang terasa.
"Dan tidak boleh terlambat kali ini, Hinata. Atau kau tahu akibatnya, sayang."
Hinata mengusap-usap tengkuknya karena secara tiba-tiba dia merinding. "Apa yang akan dia lakukan nanti? Bicaranya kasar sekali. Dia pasti menyalahkanku juga kalau tetap berada di luar, sementara jarum jam tak akan pernah berhenti berputar. Sebaiknya jangan mengambil risiko, aku harus masuk sekarang, siapa tahu dia sengaja diam untuk mempermainkan aku. Enak saja! Mana mungkin kubiarkan." Hinata mengibaskan rambutnya ke belakang, kemudian berhati-hati masuk ke ruangan.
"Pak... Anda di dalam? Boleh saya masuk?" celangak-celinguk seraya melembutkan suaranya. Yang dicari tak jua menampakkan diri. "Barangkali di kamar mandi. Syukurlah! Jadi bukan aku yang terlambat. Setidaknya aku yang lebih dulu duduk di situ dan saat dia datang, bukannya aku yang telat, tapi dia." Hinata meracau sendirian, sudut-sudut bibirnya mengembang sempurna diiringi sepasang alis turut naik. Hak tingginya berbunyi nyaring, selagi dia melangkah ke meja sang CEO. Sampai semua ketenangan tadi berubah menjadi riuh bising oleh teriakan lantang.
Hinata spontan menjerit ketika mendapati Naruto berjingkrak ke belakang, karena terkejut melihat Hinata di depannya. Pria itu baru saja keluar dari kamar mandi. Dia telanjang, celananya masih tersampir di pundak. Penampilannya sekarang justru tampak lucu. Jas dengan bokser ketat membentuk paha serta pantatnya yang berisi. Tanpa sadar Hinata terbelalak, mereguk berat salivanya. Pemandangan langka dan pengalaman pertama. Kemudian, satu... dua... tiga... dia melengking keras, memancing kepanikan Naruto.
Dengan sigap pria itu membekap mulut Hinata, berbisik tepat di telinganya."Kau mau orang-orang di luar masuk dan menonton aku di sini? Siapa yang menyuruhmu masuk?!" Giginya bergemeratak geram. "Sekarang kau bisa tenang? Aku perlu memakai celanaku. Tidak akan bisa kalau suaramu yang berisik itu terus berdengking. Mengerti?" Hinata mengangguk lambat. "Bagus. Tutup matamu! Jangan sekalipun dibuka sebelum aku yang meminta." Kelopak mata Hinata sontak terpejam dan Naruto memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bergegas mengenakan celana berikut merapikan penampikannya secara keseluruhan.
.
.
."Ada yang ingin kau katakan?" Usai insiden memalukan tadi, Naruto dan Hinata duduk berseberangan. Namun suasana di antara mereka menjadi canggung. Hinata yang belum bisa menghapus bayang-bayang kotor dari pikiran. Masalahnya Naruto dengan tubuh telanjang terus berputar-putar di kepalanya dan sekarang udara pun terasa panas, dia gerah. Sementara Naruto, tengah sulit meredam malu yang teramat. Sikap angkuhnya seketika hilang. "Kenapa? Kau sakit? Tampaknya kau tidak nyaman sekali di situ."
"Bukan begitu, Pak. Sa-saya..."
"Lalu, kau kenapa?"
"Anda yang menyuruh saya ke sini. Kalau Anda bertanya seperti itu, saya tidak tahu harus menjawab apa." Hinata menyapu peluh yang membasahi dahinya.
"Kau kepanasan? Padahal di sini dingin, tapi kau berkeringat. Pakai ini!" Naruto mengulur tangan, menyerahkan sapu tangannya dan Hinata menerima meski ragu-ragu. Tak lama Naruto berdiri dan mengambil minuman dingin dari kulkas mini yang merapat ke dinding, terletak di samping sofa panjang."Santai saja, aku tidak akan marah. Ayo, silakan diminum," kata Naruto menawarkan dengan ramah seraya membukakan kaleng soda itu untuk Hinata.
"Terima kasih, Pak." sahut Hinata tenang. Mencoba rileks, dia pun meneguk perlahan minuman tersebut. Desah kelegaan sempat terdengar, sebelum serdawanya menyebabkan Naruto terkekeh. "Maaf, saya tidak sengaja," Hinata merunduk sungkan.
"Sudahlah! Tidak perlu berlebihan padaku. Aku bisa memaklumi jika orang-orang ceroboh sepertimu itu bisa sembrono di mana saja." baru saja Hinata merasa senang karena perhatiannya. Pertama sapu tangan, kemudian sekaleng soda. Hanya sekejap dan dia sudah dibuat dongkol lagi. "Kenapa kau selalu terlambat saat akan bertemu denganku?"
Di bawah tangan-tangan Hinata terkepal. Mukanya merengut masam, alisnya berkerut tanda marah. Berujung dia diam, mengabaikan ucapan pria di depannya. "Sombong sekali. Mentang-mentang bos, dia pikir bisa bicara seenaknya." bisik Hinata dengan wajah masih menunduk, sengaja agar Naruto tidak mendengar perkataannya.
"Aku tidak bermaksud demikian. Tapi aku memang tidak suka berbasa-basi. Jujur itu jauh lebih baik walau menyakitkan. Memangnya kau suka dipuji? Disanjung-sanjung sampai telingamu naik dan kepalamu membesar. Di belakang aku bilang kenyataan tentang dirimu yang sesungguhnya. Jika kau mau tidak masalah, kita bisa bikin kesepakatan." Hinata langsung mendongak, memberi tatapan permusuhan layaknya orang-orang yang ingin berperang.
Membuang rasa gentar juga semua kebimbangan, Hinata menggebrak meja dengan kasar. "Aku tidak akan kalah darimu. Pokoknya aku tidak mau mendengar apa pun sebelum kau bilang maaf padaku. Bahkan aku tidak mau peduli dengan semua hukuman atau ancaman yang bakal kau berikan. Aku tidak takut." Usai mengoceh, menantang pimpinannya dan pergi sembari mengangkat dagu. Langkahnya yang buru-buru membuat kakinya terpelecok dan dia nyaris terjatuh. Namun tak goyah barang sedikit, dia sempat melirik sinis ke pimpinannya.
Sementara Naruto menganggap segalanya menarik. Bahwa karyawannya yang bernama Hyuuga Hinata memiliki sikap unik. Sehingga menyebabkan dia mungkin tak akan pernah bosan bila terus berhadapan dan terlibat dengan perempuan itu. Meski ulahnya sering memancing amarah, tapi sejujurnya Naruto menyukai. Beruntung dia tidak punya riwayat hipertensi, bisa-bisa kepalanya pecah dan dia pingsan di tempat setiap kali bertemu muka dengan Hinata.
"Dia memang aneh."
.
.
.TBC
Anggap saja ini Naruto yg songong 😂..
KAMU SEDANG MEMBACA
Comfort table (End)✔️
FanfictionBerawal dari banyak peristiwa menjengkelkan yang memancing amarah tak terkendali. Pun perdebatan tak terelakkan. Namun di saat yang sama, perlahan rasa rindu datang menyiksa. Bagaimana kisah selengkapnya ? Silakan baca. My collab with @laceena Ini...