Bab 5

421 116 27
                                    

Tubuhnya bergerak memutar seratus delapan puluh derajat, tepat depan cermin besar di kamarnya. Perempuan berambut sepunggung itu memoleskan bedak tipis dan lipstik berwarna coral di bibirnya. Ia membuat rambutnya menjadi sedikit bergelombang di ujung. Usai menata cantik rambutnya, tiba-tiba Hinata mengernyitkan dahi. "Kenapa dandan berlebihan begini? Biasanya tidak pernah," dia bermonolog. Meracaukan perubahan dirinya yang tak biasa. Ini bukan diriku. "Ya sudahlah, tidak buruk juga," sambungnya lagi.

Ia membetulkan kerah kemeja kerjanya, merapikan setiap jengkal busana kerja yang ia pakai pagi ini. Kembali ia berputar di depan cermin, layaknya model yang sedang mencoba beberapa busana. Ia mengulas senyum tipis, tapi tiba-tiba ia teringat dengan kejadian memalukan itu lagi. Saat ia berada di dalam ruangan Uzumaki Naruto, atasannya. Sontak pipinya kembali memanas dan pikirannya menjalar kemana-mana. Ia terus menggeleng, mengenyahkan pikiran kotornya sendiri.

"Tidak, tidak, tidak. Jangan ingat-ingat itu lagi. Tidak tidak," ia terus meyakinkan diri agar tidak mengingat kejadian itu lagi. Ia melirik jam di pergelangan tangan kanannya.

Tak selang berapa lama. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Menenangkan diri.
"Ayo, Hinata. Semangat !" Serunya lagi, mensugesti diri dengan kepalan tangan yang mengudara. Ia bergegas pergi ke kantornya, Kitsune Ramen Food.

.
.
.

Sesampainya di kantor, lagi-lagi ia cukup terkejut karena suasana sedikit sepi. Ia mencari-cari sosok yang biasa duduk manis di kursi resepsionis. Karena penasaran, Hinata terus menyusuri koridor lantai dasar kantor ini. Dari sebuah ruangan yang dibatasi dinding kaca yang ia lewati, ia bisa melihat beberapa wanita sedang asyik berkumpul. Tentu saja untuk bergunjing ria. Hinata menghentikan langkahnya. Indra pendengarannya menangkap apa yang sedang mereka bicarakan.

"Bos baru kita sangat tampan ya, apakah ia sudah punya kekasih ?"

"Hei, jangan halu. Mungkin saja ia sudah punya istri."

"Ah tidak, dia masih muda. Aku yakin dia belum beristri."

Hinata melangkahkan kakinya ke dalam. Ia berujar tenang tapi penuh dengan rasa penasaran. Hinata kepo juga ternyata.

"Kalian membicarakan CEO baru itu ya ?"

Keempat pasang mata yang ada di dalam ruangan itu, beralih ke Hinata yang telah masuk. Ia berdiri, menyandarkan pantat kanannya pada meja komputer yang ada, tak jauh dari para wanita pengghibah itu.

"Tentu saja, siapa lagi ?" sahut wanita berkaca mata dan berambut jagung, Shiho namanya.

"Kau harus tahu satu hal, Shiho," Hinata menatap lurus ke arah Shiho yang duduk di hadapannya. Ia melipat tangan di dada, bersedekap.

"Apa ?"

"Dia tak sebaik yang kalian kira."

"Apa maksudmu, Hinata ?" Rin bertanya, ia mengerutkan dahinya heran. Sekaligus dengan raut wajah tak senang.

"Dia itu orang yang menjengkelkan dan selalu seenaknya sendiri," keluh Hinata jengkel. Wanita itu sedang mengeluarkan isi hatinya.

"Apakah itu benar ?" tanya Akita, wanita cantik dengan kacamata, tatapannya penuh rasa tidak percaya. Ia memicing ke arah Hinata yang tampak santai mencurahkan keluh kesahnya.

"Tentu saja,"jawab Hinata yakin.

"Kau tahu dari mana, Hinata ?"

Tiba tiba, obrolan mereka berempat terhenti, dengan bahu yang menegang sempurna. Shiho yang gemetar, perlahan bangkit dari posisi duduk menjadi berdiri. Mereka berempat terdiam membisu dan saling lirik. Mereka memandang takut pada sosok menjulang yang berada di belakang tubuh Hinata. Pria berambut kuning itu meletakkan telunjuk di depan bibirnya, tentu dengan tatapan horor nan mencekam ke arah mereka berempat.

Hinata terus sibuk mengoceh, menyebut semua dosa Naruto kepada rekannya yang ada di sana. Tanpa disadari sedari tadi, Naruto sedang memasang telinganya lebar-lebar. Ia mendengar semua apa yang Hinata katakan tentang dirinya. Melihat gelagat teman-temannya yang mematung bak manekin dengan ekspresi yang sama, membuat Hinata semakin curiga.

"Kalian kenapa ? kok diam ? Dan kau, Shiho ? Kenapa kau menunjuk2 seperti itu ?" Hinata mencecar Shiho yang tampak gemetar, seperti melihat hantu. Dan telunjuknya menuju ke arah belakang tubuh Hinata.

"Di-di belakangmu, Hi-hinata," tutur Shiho terbata, ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Hinata setelah ini. Ia mengeluarkan senyum kaku.

Dahi Hinata makin mengernyit penasaran dengan degup jantung yang kian tak beraturan. Ia mundur selangkah ke belakang dan menubruk sesuatu. Ia tercekat, menelan salivanya dengan berat. Tak sengaja, ia menghirup aroma maskulin yang menguar dari sana. Dengan gerakan patah-patah, ia menolehkan lehernya ke belakang dan terperanjat. Sepasang amethys-nya melebar sempurna. Hinata hendak memutar tubuhnya dan sial. Ia kembali terpelecok. Kali ini lebih parah, ia hilang kendali tubuhnya dan akan terjatuh ke belakang. Tangannya mencoba meraih sesuatu yang bisa dijadikan pertahanan. Dengan sigap, tangan Naruto menarik tangan Hinata dan menyentaknya ke depan hingga menubruk ke dada bidangnya.

Para keempat kawannya itu menghela napas lega bersamaan, walaupun sebelumnya dihiasi ringisan karena melihat Hinata yang nyaris jatuh ke belakang. Mereka seperti disuguhkan adegan romantis tak sengaja yang dibuat oleh Hinata dan atasan barunya pagi ini. Tanpa mengurangi ketegangannya sedikit pun.

"Sampai kapan kalian akan terus melihat ini? Mau diskors?!" Seru Naruto kepada empat karyawannya yang berani melihat adegan roman picisan tersebut.

Keempat wanita itu tersadar dan lari terbirit-birit, Rin kembali ke meja resepsionisnya di depan. Shiho dan kedua rekannya kembali ke meja komputernya masing masing.

Sedangkan Hinata ? Wajahnya tertunduk malu dan memerah bak kepiting rebus setelah pinggangnya dilepas oleh Naruto.

"Ma-ma..."

"Ikut aku !!"

.
.
.

Brukkkk

Naruto menambahkan puluhan berkas ke atas meja kerja Hinata yang berasal di ruangannya.

"Aku ingin kau menyelesaikan semua tugas ini, susun semua berkas sesuai dengan tanggalnya secara cermat, jangan ada yang terlewat sedikitpun. Aku tidak mau tahu, kau harus mengumpulkannya besok pagi, Hyuuga Hinata. Titik !"
Wajah mengetat berbalut emosi itu Naruto Pampang sejelas-jelasnya. Kemudian, ia bergegas untuk menuju ke luar, demi meraup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Bos sialan !!" rutuk Hinata tajam, ia mendongakkan kepala dengan sorot mata menantang.

Kali ini Naruto tak bisa menahan kesabarannya lagi, tangannya terkepal erat. Naruto yang baru menuju pintu, hendak keluar segera berbalik dan menghampiri meja Hinata dengan wajah marah. Ia secara jelas, mendengar umpatan yang Hinata layangkan untuknya.

"APA KATAMU ?!!" Naruto menggebrak meja kerja hingga semua benda yang ada di atas meja Hinata bergetar, bahkan ada yang nyaris bergeser pada tempatnya.

Naruto mengembus napas tajam, kemudian keluar dari ruangan Hinata dengan langkah panjang dan napas yang menderu-deru. Selang 20 menit kemudian, CEO tampan tersebut kembali ke dalam ruangan Hinata dengan membawa lagi tumpukan berkas lama. Kini, meja Hinata hampir dipenuhi dengan berkas. Tingginya melebihi komputer yang ada di mejanya sendiri. Hinata hanya bisa mendesah pasrah. Ia terserang sakit kepala tiba-tiba. Melihat banyaknya tumpukan berkas, rasanya ia ingin menyerah saja.

"Rasakan itu ! Itu adalah hukumanmu karena kau telah menjatuhkan harga diriku di kantor ini !" Naruto menggertak kesal, nada bicara dan sorot safirnya terhunus tajam bak pedang yang siap menerobos jantung. Hinata pun tak kalah jua membalas dengan tatapan yang sama tajamnya. Ada percikan api yang kian membara di sorot mata keduanya. Napas Naruto memburu menahan emosi, sebelum terjadi hal yang lebih parah lagi. Ia pun pergi ke luar, meninggalkan Hinata yang sepasang bola matanya mulai memanas, hendak menangis.

.
.
.

TBC

Laceena

Comfort table (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang