Siang ini kafetaria tidak seramai hari-hari biasanya. Barangkali sebagian dari para karyawan, memilih pergi makan ke kedai ramen yang baru saja dibuka di seberang gedung perusahaan. Tadinya Hinata pun berencana seperti itu, hanya saja tumpukan tugas di atas meja baru selesai setengahnya. Menghemat 5 menit waktu juga tidak boleh disia-siakan. Tanpa dia sadari sedikit demi sedikit kedisiplinan sang CEO menular kepada dirinya. Meskipun jika diminta berterus terang, Hinata tak akan mau mengakui.
"Ya ampun! Makanmu banyak sekali. Kau lapar atau rakus, Hinata? Dua piring nasi kari masih kurang juga? Takoyaki itu mau ditaruh di mana? Lambungmu ada berapa sih? Oh Tuhan..." Mei Terumi menepuk pelan dahinya, ketika menyaksikan Hinata memasukkan dua buah takoyaki sekaligus ke mulutnya. "Tidak usah diberitahu, aku yakin kau memang rakus," celetuk Mei sambil kepalanya menggeleng.
"Kenapa kau mesti heran? Aku memang hobi makan sejak dulu. Lagi pula pekerjaanku masih sangat banyak. Kalau aku hanya makan sedikit, tenagaku tidak akan cukup." Mulutnya yang belepotan itu malah bicara saat mengunyah.
"Telan yang dimulutmu, nanti kau tersedak."
"Jangan khawatir. Ini memang keahlianku."
"Kok bisa ya si Bos tertarik padamu. Kalau dia melihatmu semenyeramkan ini, apa dia masih mau?" Dan sekarang Hinata benar-benar tersedak gara-gara pengumuman Mei Terumi.
"Mei, bercandamu buruk sekali," kata Hinata setelah dia buru-buru mereguk separuh jus dingin dari dalam botol. "Napasku hampir berhenti karena leluconmu yang menyebalkan."
"Siapa bilang aku bergurau? Dia selalu datang ke ruangan untuk mengecek keberadaanmu, enam hari penuh. Harusnya kau berterima kasih, kalau bukan karena diriku ini... dia pasti marah besar padamu," sahut Mei terang-terangan. Sedangkan Hinata tak begitu saja menerima pernyataan rekannya tersebut.
"Kau buta ya, Mei? Tidak lihat dia sengaja meletakkan banyak berkas di mejaku? Suka dari mana? Yang ada dia itu menyimpan dendam. Sering kali mencari masalah denganku."
"Loh! Salahmu sendiri. Mikir dong, Hinata. Mana ada Bos yang bisa terima bila salah satu karyawan berbuat seenaknya. Untung dia tidak memecatmu. Tahu 'kan? Gaji di perusahaan ini termasuk yang terbesar jumlahnya di Tokyo. Mereka juga loyal terhadap karyawan seperti kita. Contohnya saja dirimu. Walau kau absen tanpa izin dan alasan yang jelas, si Bos bahkan tidak mengirim surat peringatan untukmu. Andai kau sengaja mengundurkan diri, belum tentu menemukan perusahaan lain senyaman di sini. Jadi sebaiknya jaga tingkahmu, Hinata."
"Aku malas memikirkan hal itu. Bagiku cukup menjalani semua dengan apa adanya selagi aku berada di sini."
Mei membuang kasar napasnya, lalu menyesap teh dengan tenang."Pokoknya aku sudah memperingatimu, ya. Jadi jangan bawa-bawa aku, kalau suatu saat ada masalah karena ulahmu sendiri."
"Kau ini selalu berlebihan, padahal yang kupikirkan tidak serumit itu." Hinata kembali memakan takoyakinya yang kini tersisa 3 buah lagi. "Makananmu tidak dimakan? Aku hampir selesai, soalnya sebentar lagi waktu istirahat kita habis."
"Perutku langsung kenyang karena cara makanmu yang berserakan. Kita balik ke ruangan saja setelah kau siap," ucap Mei menyindir, tapi Hinata kelihatan tak begitu peduli dengan perkataannya. Perempuan itu malah bangkit sambil membawa botol jusnya, usai takoyaki tadi dilahapnya tanpa sisa.
.
.
."Ada apa? Mukamu kenapa ketat sekali? Mau pinjam uang lagi?" tutur Naruto menerka, selagi dia menggeser bidak shogi pada layar ponsel pintar berukuran 10 inci ipad. Bermain catur melalui daring adalah salah satu kebiasaan barunya demi mengisi waktu luang yang terkadang amat membosankan.
"Gajiku kemarin bahkan belum terpakai. Pinjamanku dari Bos Besar juga masih tersisa banyak. Sebenarnya bukan masalah uang, tapi aku yakin ini akan sedikit mengejutkanmu, Bos." Samui menjawab secara terbuka. Raut perempuan itu kentara waswas serta bimbang.
"Soal apa? Bilang saja." sepintas Naruto melirik Samui dengan alis-alis berkerut. Tapi jemarinya masih bergulir di layar gawai miliknya.
"Bos Besar menyuruhku kembali."
"Ayah memintamu pulang? Mana bisa! Lalu bagaimana denganku di sini?" Suara Naruto naik satu oktaf, berikut dahinya yang sekarang mengernyit tak senang. "Jadi kau bilang apa?" Gelagatnya berubah gusar, karena cemas Naruto mengusap-usap dagunya. "Padahal setiap hari aku melapor. Harusnya Ayah paham bila di sini sedang sangat sibuk. Bilang pada Ayah agar mencari orang lain untuk menggantikanmu. Kau tidak boleh pergi dari perusahaan tanpa seizinku!" Dia benar-benar menekan perintahnya tadi. Aura penguasa yang menguar dari dirinya tidak pernah gentar atau berkurang. Dalam setiap situasi, dia bisa mengendalikan siapa dan apa pun itu. Terkecuali wewenang si Bos Besar; Ayahnya. Maka Naruto secepat kilat dilanda risau berkepanjangan.
"Bos... aku tidak bisa melawan keinginan Bos Besar. Kau kuanggap sebagai adikku sendiri dan beliau adalah sosok Ayah bagiku. Seorang anak tidak mungkin membantah perintah Ayahnya 'kan? Sama sepertimu yang tidak menolak saat dipindah paksa ke Tokyo."
"Samui... aku membutuhkanmu di sini. Kau mengerti?! Apa kau lupa? Tanpa adanya dirimu, kita gagal mendapatkan sponsor besar. Setidaknya kau pergi setelah semua produk baru kita siap meluncur ke pasar." Naruto menegakkan punggungnya, lantas tuntutan serius tergambar jelas di sorot matanya.
"Bos Besar sangat memercayaimu. Kau pikir aku tidak berbuat apa-apa sebelum menghadapmu kemari? Semua alasan yang kau bilang persis yang kusampaikan padanya. Tak banyak kata kudengar, selain dia begitu menaruh harapan tinggi padamu," Pernyataan Samui mengubur rencana Naruto untuk menahannya tetap tinggal di Tokyo. Berujung pria itu menghela napas berat dan setelah menautkan jari-jarinya dengan siku yang berdiri, dia bersandar lesu ke sofa.
"Aku tidak tahu lagi harus apa." dia mengujarkan keputusasaan.
"Bos, kau tidak usah murung. Aku punya solusi bagus dalam hal ini, mau kuberitahu?" Naruto spontan berubah dalam mode antusias. Kelopak matanya mengerjap berulang-ulang.
"Cari asisten baru. Kita punya banyak wanita berbakat. Kinerja mereka tidak perlu diragukan lagi. Kau dan aku bahkan sudah membahas ini sebelumnya." Bukannya menanggapi, semangat Naruto kembali lenyap. Tubuhnya mencelos ke punggung sofa.
"Yang kausebut jalan keluar, aku menamainya malapetaka. Kinerja bagus tidak cukup menguatkan seseorang untuk mendampingiku di perusahaan. Kalau kau orangnya aku kasih sepuluh kali lipat nilai sempurna untukmu."
"Tidak usah berlebihan juga. Toh sebesar apa pun pujianmu, aku tetap akan pergi. Kusarankan coba usulku tadi. Apa kau tidak ingin membuktikan itu pada Hyuuga Hinata? Sejak pertama kita melangkahkan kaki di sini, kuperhatikan kau dan dia seolah saling terhubung. Meski dalam suasana tak mengenakkan, tapi kalian selalu terlibat tanpa disengaja. Atau barangkali di antara kalian memang menyusun rencana agar dapat berdekatan."
"Maksudmu aku dengan sengaja menarik dia?? Huh...! Maaf, ya. Aku tidak suka yang cengeng."
"Yakin? Jangan pura-pura. Aku tahu seminggu ini kau terus mencari dia di apartemennya, Nyatanya si cengeng berhasil meracuni pikiranmu." Lihatlah CEO itu sekarang, dia memalingkan mukanya karena ketahuan. Dan tingkahnya tersebut mendapat cemoohan dari Samui. Asistennya itu terus menertawai dirinya tanpa ampun, meski dia berkali-kali memohon agar Samui berhenti mengejeknya.
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Comfort table (End)✔️
FanfictionBerawal dari banyak peristiwa menjengkelkan yang memancing amarah tak terkendali. Pun perdebatan tak terelakkan. Namun di saat yang sama, perlahan rasa rindu datang menyiksa. Bagaimana kisah selengkapnya ? Silakan baca. My collab with @laceena Ini...