Bab 18

386 95 48
                                    

Hubungan mereka semakin baik di setiap harinya. Ya, benar. Faktanya membangun ikatan di lokasi kerja bukanlah sesuatu yang mustahil bagi Uzumaki Naruto dan Hyuuga Hinata. Padahal semula CEO tampan berambut pirang itu dikuasai keraguan. Apalagi perseteruan kerap menyelimuti pertemuan dan situasi di antara mereka. Namun seiring waktu semuanya tentu dapat berubah.

Banyak yang berbeda dari Hinata. Perempun itu tak lagi menyepelekan waktu. Selama hampir sebulan ini sepak terjangnya patut diapresiasi. Terbukti jika Naruto belum pernah merasa kesulitan atau perlu was-was akan tindakan Hinata seperti sebelum-sebelumnya. Karena sejauh ini keberadaan perempuan itu sungguh membantu, mempermudah segala urusan pekerjaan di dalam maupun di luar kantor.

Duduk di kursi di ruang yang berdekatan dengan sang CEO. Hinata tak lagi canggung atau bingung saat mengecek berkas proposal baru yang diberikan pimpinannya, sebagai pembelajaran bila kelak mereka dihadapkan pada waktu atau suasana genting dan Hinata dapat berperan lebih baik di samping CEO.

"Nona, ini untukmu," Kata seorang pemuda yang baru saja dipersilakan masuk oleh Hinata, dia si pesuruh kantor. Menghampiri Hinata dan langsung menaruh sekotak kue ke atas meja wanita itu.

"Dari siapa?" tanyanya seraya memeriksa isi kotak. Dalam sekejap mata Hinata berbinar-binar senang. "Kebetulan sekali, aku memang agak lapar," imbuhnya kemudian. Persis layaknya anak kecil yang kesenangan, begitu melihat es krim kesukaan. "Siapa pengirimnya?" Hinata bertanya sekali lagi, seraya mengamati si pesuruh yang masih sangat muda itu.

"Tuan Uzumaki yang menyuruh saya memberikannya kepada Anda. Permisi, Nona." Usai membungkuk sebentar, si pesuruh segera meninggalkan ruangan Hinata.

"Apa dia tahu kalau aku sedang lapar? Di sini tidak ada kamera pengintai 'kan?" Hinata melirik ke atas langit-langit. Menemukan kamera di dua sudut, dia kontan membuang napas. "Bodoh sekali, kenapa aku mesti bertanya. Walau sekarang aku seorang asisten, tetap saja aku seorang buruh dan ini standar keamanan perusahaan. Aku baru sadar terkadang aku bisa sebodoh ini. Ayolah, Hinata ... sedikit lebih bijak agar kau tidak membuat dia malu," Gerutuan anehnya ditutup dengan gelengan kepala.

Hinata menutup proposal yang semula dia baca. Bangkit untuk membuat secangkir kopi sebagai pelengkap untuk menikmati kue kayu manis istimewa. Barangkali dia akan menyeduh secangkir lagi sebagai tanda terima kasih kepada CEO mereka yang tampan.

Tidakkah kalian penasaran dengan si lelaki angkuh yang kaku itu? Sementara di dalam ruangannya, dia seperti orang kasmaran gara-gara cengengesan. Pasalnya, layar monitor yang mungkin terlihat lucu baginya itu, sedang memampangkan aktivitas si asisten baru. Tak ada yang lolos dari pantauannya, termasuk ketika Hinata berbicara sendirian sambil melihat ke kamera pengintai. Bisa jadi hal tersebut merupakan kegemaran baru untuknya.

.
.
.

Layar laptopnya balik ke tampilan Microsoft Excel. Naruto buru-buru menekan tombol close pada jendela kamera pengintai. Lantas Hinata masuk dengan langkah gemulai. Dia membawa secangkir kopi hitam dan meletakkannya di atas meja CEO.

Kelopak mata Naruto melebar, menatap Hinata berikut kernyit kentara di dahinya. "Aku belum ada minta kopi 'kan?"

"Terima kasih. Aku hanya ingin mengatakan itu padamu. Kue kayu manis datang di waktu yang tepat." Dia tersenyum lepas. Hinata memang tampak lebih santai akhir-akhir ini, meski pekerjaan tiada henti menunggunya.

"Soalnya sudah hampir jam makan siang. Ah! Sepertinya aku salah." Naruto menyangkal usai dia memperhatikan arloji di pergelangan tangannya. "Masih satu jam lebih ternyata."

"Makanya aku bilang waktunya sangat pas. Kalau menunggu jam makan siang, perutku bisa keroncongan." Naruto tersenyum geli mendengar pengakuan jujur Hinata.

"Rencananya aku mau mengajakmu makan siang di luar."

"Hari ini?" agak terkejut dengan tawaran atasannya itu, lalu Hinata mengerutkan hidungnya.

"Kenapa? Kau tidak mau?"

"Bukan begitu. Seingatku kita tidak ada jadwal di luar untuk pertemuan ataupun rapat serius hari ini. Rasanya agak aneh karena Anda tiba-tiba mengajakku."

"Ehm... begitu, ya. Berarti ini saat yang tidak tepat."

"Eh! Bukan itu maksudku." Hinata melambai-lambaikan tangannya dengan gelisah di depan Naruto. "Aku cuma sedikit kaget," ucapnya lagi sambil tersenyum sumbang.

"Jadi kau bersedia atau hem?" kedua alisnya naik, memastikan lagi kepada Hinata. Apakah perempuan itu mau menerima ajakannya. Tak lama berselang, Hinata mengangguk lambat. Sempat dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Karena detik itu juga ekspresi sang CEO menyebabkan dia grogi setengah mati. "Ya sudah, satu jam lagi kita pergi."

Kini banyak kupu-kupu berterbangan di dalam dada Hinata. Tanpa Naruto tahu, asistennya itu meninggalkan ruangan sambil mesam mesem sendiri. Sejak kapan pastinya mulai instens saling tertarik, hanya mereka yang tahu. Kecuali kehadiran cinta tersebut jelas tidak bisa ditebak.
.
.
.

Makan siang yang tenang, sedikit bumbu romantis ketika mereka secara refleks bersentuhan, saling atau sengaja menyentuh. Apa pun namanya, bila diperhatikan gelagat keduanya mirip pasangan kekasih tengah berkencan. Hinata dengan leluasa menaruh makanan-makanan itu ke piring Naruto. Perilaku manisnya disambut, sang CEO terus mengulas senyum, menunjukkan keramahan di parasnya. Secara tiba-tiba dia menjelma sebagai pria menyenangkan. Sementara tanpa merasa risih dia menyeka noda di bibir Hinata. Ada hal unik yang baru dia jumpai, saat mengetahui bahwa Hinata makan dengan belepotan dan anehnya dia malah menyukai keadaan itu.

Makan siang berakhir lancar, tidak ada drama pertengkaran. Keduanya kelihatan nyaman satu sama lain. Mereka membicarakan apa saja, lalu kadang kala tawa ringan silih berganti. Tiba di basemen, Hinata meminta Naruto untuk menunggu. Sesuatu yang menyesakkan di bawah perutnya memaksa segera keluar.

"Kau tidak mau kutemani? Toilet di tempat ini seringnya sepi."

"Tidak perlu, aku hanya sebentar. Tunggu di sini saja." Hingga dia buru-buru mengambil langkah panjang ke toilet, tidak lagi menghiraukan panggilan Naruto. Kemudian lelaki itu mengedikkan bahu-bahunya dan bersandar pada pintu mobil.

Sudah hampir sepuluh menit, namun Hinata belum juga kembali. Sepintas bayang-bayang buruk melintas di pikirannya, mendorong tubuhnya tergesa-gesa menyusul Hinata.

Di toilet yang memang sunyi, jarang didatangi pengunjung resto. Naruto tak menemukan sosok Hinata, melainkan dia mendengar bunyi napas berat dan tangis yang tertahan. Perlahan kaki-kakinya mengikuti asal suara. "Bukankah dia yang bersama pimpinan Kitsuneramen Food? Kau yakin berurusan dengan wanita ini?"

"Wali kota, bahkan Gubernur aku tidak takut. Kau lihat dia 'kan? Sayang jika dilewatkan. Lagi pula tidak ada pimpinan yang mau peduli akan nasib pekerjanya. Tidak mungkin juga wanita cengeng ini mengaku setelah kita menidurinya." CEO itu menggeram dari balik pintu salah satu toilet. Perbincangan kedua pria tak dikenal tersebut memancing luapan amarah Naruto. Buku-buku tangannya memutih akibat kepalan tangan yang terlampau kuat.

Kaki panjangnya melayang keras ke pintu, sampai-sampai suara gaduh spontan menggema. Salah seorang pria tadi terjengkang ke pojok, karena terjangan pintu yang ditendang Naruto, hingga satunya lagi sontak memandang takut kepada lelaki itu.

Rahang Naruto mengetat, saat dia mendapati Hinata langsung terduduk di lantai. Tampak syok, dia menangis dalam pandangan kosong.

"Akan kuberitahu dengan siapa kalian berhadapan." Netra samudra miliknya menyorotkan pandangan kebencian serta murka yang memuncak.

.
.
.

TBC

@Laceena

Comfort table (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang