Bab 8

414 100 31
                                    

Naruto mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia mengira bahwa dirinya dalam keadaan setengah waras sekarang. Ada wajah Hinata di mana-mana. Hingga tak jarang dia sendiri pun terperanjat kaget, ketika halusinasi itu datang secara berulang tanpa mengatur tempat. Hinata di cermin, Hinata di berkas laporan, Hinata di secangkir kopi, Hinata ada di bantalnya, bahkan di bokser yang tadi pagi dia ambil dari lemari. Sontak pakaian dalam tersebut melayang ke lantai, akibat dia membuangnya secara refleks.

Dia tampil dalam keadaan memprihatinkan hari ini. Kantung hitam di matanya amat kentara. Ekspresi putus asa mencoret ketampanan paripurna di wajahnya, tampang melongo itu lebih dari cukup sebagai wahana lelucon. Sang CEO tampan berubah menyedihkan gara-gara Hinata, si karyawan menyebalkan. Tapi sayangnya sekarang tanpa sadar, menolak untuk sadar, dengan segenap rasa gengsi yang kuat, dia merindukan si perempuan pembangkit api amarah.

Tubuhnya jatuh pasrah di kursi kebanggaan diri. Spontan punggung mendarat ke permukaan sofa nan empuk. Dia bersandar miring, meratapi nasib buruk yang beberapa hari ini terus mengintainya tanpa mau pergi. Sungguh wajah Hinata kini agak menakutkan baginya, terlebih dia menganggap tak bisa melakukan segalanya secara normal sebelum Hinata, lebih tepatnya bayang-bayang Hinata berhenti membuntutinya

"Sial! Aku terjebak!" Kepalanya terdongak ke belakang. "Hinata, kuperintahkan kau jangan mengikutiku lagi. Mengerti?! Atau kau kupecat!" racaunya dalam suara berat, parau dan lirih. Dia justru tampak sakit bagi orang-orang yang sehat.

"Bos, kau baik-baik saja?" kondisi galau menyebabkan sang CEO kehilangan fokusnya. Padahal sejak tadi Samui mengetuk pintu berkali-kali. Namun karena tak mendapat jawaban apa pun, akhirnya dia memutuskan langsung masuk ke ruang tersebut.

"Ya, ya, aku tidak apa-apa." Naruto melambai-lambaikan tangannya masih dengan posisi semula. "Aku cuma diserang penyakit gila," katanya seperti seseorang yang sedang meracau. Sampai dia menjatuhkan kepala, Samui tersentak ke belakang. Untung ada sofa yang menangkap tubuhnya, jika tidak maka lantai keramik siap menyambut bokong sintalnya.

"Ada apa dengan wajahmu, Bos? Apa kau kerasukan? Menakutkan sekali," sambil mengoceh, Samui merapatkan badannya ke punggung sofa. Lalu sesekali bergidik ngeri. "Mau kupanggilkan pemburu hantu. Orang-orang tidak akan berani melihat wajah menderitamu itu, lebih buruk dari hantu perjaka kesepian."

"Samui, diam kau! Sekali lagi bicara, bonusmu kupotong," Seruannya seketika menguasai, menyebabkan Samui mendadak berubah elegan. Dia berdeham anggun sebelum mengatur duduk cantik di depan Sang CEO.

"Maaf, Bos! Kupikir kau benar-benar kesurupan. Aku membawa undangan rapat dari salah satu klien baru kita. Beliau mengundang kita untuk datang ke tempatnya, setelah itu akan ada jamuan makan siang." Samui menyampaikan laporannya secara serius.

"Gantikan aku. Katakan pada mereka, jika ada perkembangan... selanjutnya aku yang tangani. Ya Tuhan, kepalaku benar-benar pusing sekarang," keluh Naruto sambil mencengkeram kepalanya.

"Baik, Bos! Kau mau kopi?"

"Tambahkan sedikit gula."

"Aku mengerti," jawab Samui singkat, lalu dia menunduk berpamitan.

"Samui!" panggilnya lagi, saat sekretarisnya itu baru saja beranjak dari kursi. "Suruh office boy membeli kue kayu manis untukku."

"Ada lagi, Bos?"

"Tidak, hanya itu." begitu Samui keluar dari ruangannya, Naruto beringsut ke kamar mandi guna membasuh muka di wastafel. Barangkali dapat mengurangi sedikit rasa pusing dan kantuk yang menyerang.

.
.
.

Di depan cermin di sisi wastafel, Sang CEO menyisir ulang rambut pirangnya. Dua menit dia berdiri di sana, memastikan parasnya sudah lebih baik. Dia mendesah lega, saat mengamati segalanya sudah tampak wajar, terkecuali kantung hitam di bawah mata yang belum memudar. Hanya dengan tidur nyenyak dia dapat memperoleh kebebasan itu lagi.

Pindah ke meja, Naruto mendapati sekotak kue dan secangkir kopi panas dengan kepulan asap tipis tersedia. Ekspresi gembira samar-samar terukir di wajahnya. Dia bergegas duduk, menarik kursi, untuk menikmati hobi terbaik yang selalu diinginkannya. Memakan tiga atau empat potong kue kayu manis tanpa jeda. Bagi orang-orang mungkin hanya kue biasa, tidak ada yang istimewa. Namun baginya, kue terenak sedunia ini membawa akal dan hati ke dalam suka cita. Apalagi buatan tangan sang ibu, yang menurut penilaiannya sampai kini masih menduduki nomor satu soal rasa.

Selagi menggigit kelembutan kue kayu manis tadi, ketukan pintu menyebabkan suaranya terasa penuh. Masih mengunyah, mau tidak mau dia menjawab dan mempersilakan masuk. Kemunculan Hinata dari balik pintu lagi-lagi berhasil menyerang telak dirinya. Naruto tersedak, buru-buru dia mereguk kopi panas. Sangat panas sampai lidahnya terasa terbakar, berujung kopi tersembur dari mulutnya.

Kejadian barusan mendorong langkah Hinata segera mendekat. Dia berdiri di sebelah Naruto, lalu menepuk-nepuk pelan tengkuk Bosnya itu. "Kau tidak apa-apa?" kecemasan tergambar kabur di paras Hinata. Lalu dia mengambil sekaleng soda dari lemari pendingin mini yang berdekatan dengan bufet televisi. "Ini!" katanya seraya memberikan kaleng soda kepada Naruto. Dan tanpa pikir ulang, dia mereguk cepat. Napas kelegaan mengudara kemudian.

"Terima kasih."

"Lain kali jangan minum kopi panas, lidahmu bisa melepuh." Hinata mengucapkan peringatan itu tepat di depan wajah Naruto. Entah kesialan apa yang mengurung hingga tak ada habisnya, dia kaget bukan main. Sungguh untuk sekarang muka Hinata tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Seraya mengangkat sebelah tangan ke depan Hinata, dia mengembus napas berulang-ulang.

"Hinata, bisa kau duduk sekarang?" titahnya ketika merasa cukup tenang. Lantas Hinata cuma menanggapi lewat anggukan lambat. "Ada yang ingin kau sampaikan padaku?"

Tatapan heran terbaca di mata Hinata. Sambil hendak menurunkan berkas didekapannya, dia terus mengamati keanehan pada diri Naruto. Pasalnya belum pernah dia menyaksikan Sang CEO bertindak konyol, melainkan dominasi angkuh yang melekat kuat pada sosoknya.

"Laporan yang kau minta ... sudah kusiapkan."

"Jangan di situ!" pekik Naruto tiba-tiba, sontak Hinata menahan gerakannya. "Nanti berkasnya kena kopi."

"Maaf," ucap Hinata ragu-ragu. Kelakuan Naruto menjadi pusat atensinya saat ini. Daripada mendengar semua perkataan ketus yang sempat diucapkan Bosnya itu, kegugupannya adalah perihal paling tak biasa dan menyita perhatian Hinata.

"Ti-tidak apa-apa. Aku hanya takut berkas itu rusak dan kau harus menggantinya lagi. Taruh saja di situ! Nanti kuperiksa, tapi setelah meja ini dibersihkan," Naruto mengumumkan, sementara Hinata hanya mengangguk ragu. Kemudian pandangannya tertuju pada sepiring kue kayu manis.

"Kau suka kue kayu manis?" ekspresi Hinata menjadi santai akibat menemukan kue kayu manis di depan mata.

"Ya."

"Aku juga sangat suka," dia berterus terang dengan riang.

"Kau boleh mengambilnya kalau mau."

"Benarkah?! Aku benar-benar tidak bisa menolak kelezatan kue ini." Hinata mengangkat semua kue berikut piringnya, bahkan kue yang sebelumnya sudah digigit Naruto.

"Eh, Hi-na..."

"Terima kasih, ya. Kau baik sekali hari ini. Katakan padaku jika ada kesalahan dalam laporannya." senyum Hinata mengembang kala mengatakan kejujuran itu, membuat Naruto bergeming di tempat dengan sudut bibir yang naik.

"Kau membawa punyaku." ucapnya cengengesan. Usai kepergian Hinata dari ruangannya, Sang CEO angkuh tersebut tak berhenti cengar-cengir sendirian. "Dia sangat suka kue kayu manis."

.
.
.
.

TBC

Laceena

Comfort table (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang