Semakin banyaknya aktivitas di perusahaan, menyebabkan Naruto tak memiliki waktu untuk berleha-leha. Kecuali saat jam istirahat pula ketika dia sudah pulang ke rumah. Sang CEO tersebut tiada hentinya berlalu lalang sepanjang koridor, turun naik lift, pula memastikan karyawan dari setiap divisi, tetap bekerja secara produktif.
Jika dilihat penampilannya sekarang, jelas dia benar-benar seorang pimpinan yang kompeten. Di usia muda nyatanya tidak membatasi kinerja Uzumaki Naruto, diperkuat kedisiplinan yang sudah mendarah daging dari sang ibu. Baginya tak ada gurauan disaat bekerja, tidak ada kata terlambat dan tidak ada alasan apa pun untuk membantah perintahnya. Sosok dominan dengan jiwa diktator, namun karena semua inilah dia bisa memperoleh segalanya.
Naruto kini tengah duduk di kursi kebesaran miliknya. Seraya mengecek beberapa proposal yang masuk, mengasingkan yang tidak sesuai, lalu menandatangani mana yang pantas ditindaklanjuti. "Masuk saja, Samui." suara berat mengandung kuasa tersebut mengudara. Jemarinya masih menari-nari di atas berkas terpilih. "Ada apa, Samui? Pekerjaanmu sudah selesai?"
"Jangan meragukanku, Bos! Aku sudah lama bekerja denganmu."
"Tidak. Karena itu aku juga membawamu kemari."
"Ya, meskipun aku harus terpisah dari suamiku dan..."
"Kau tidak punya suami, Samui." Naruto langsung mematahkan guyonan sekretarisnya itu. Berujung Samui mendengkus sebal di tempatnya.
"Kau ini datar sekali, Bos. Padahal aku cuma berniat menghibur."
"Selama tiga tahun kau bekerja denganku... apa pernah aku bermain-main di situasi serius begini?" Naruto meliriknya sepintas sebelum meneruskan pengamatannya pada berkas proposal.
"Aku merasa kau terlalu tua untuk usiamu," ucap Samui terang-terangan, tapi Naruto memilih mengabaikan perkataannya. "Ya sudahlah, lebih baik aku langsung saja. "Begini, Bos... kita perlu sponsor ternama untuk mempromosikan produk-produk baru kita. Maksudku supaya pasar merambat sampai ke mancanegara."
Pernyataan Samui tersebut menyebabkan Naruto mengembus napas panjang, kemudian pena dia taruh kasar ke permukaan kertas. "Aku sudah tahu. Tapi perusahaan yang punya kriteria itu sudah membatalkan kerja samanya dengan kita. Bukankah sudah kukatakan padamu tempo hari?" Naruto mendadak terserang pening, tatkala mengingat kekacauan beberapa hari yang lalu.
Di mana Hinata terlambat datang ke rapat, klien menghentikan kerja sama, dia yang putus asa menumpahkan kekesalannya pada Hinata. Karena perempuan itu penyebab kerusuhan yang terjadi. Namun begitu melihat wajah ketakutan Hinata penuh air mata, seluruh kekecewaan lenyap terganti penyesalan.
Padahal sebelumnya, dia tak pernah merasakan sesal apabila yang diperbuat masih pada tujuan yang tepat. Dan tak juga ada karyawan yang tersinggung, melainkan mereka semakin giat. Di balik sikap tegasnya, Naruto juga pemimpin yang loyal pada semua pekerjanya, tanpa pandang bulu dan usia. Itulah sebab lebih banyak yang mengaguminya daripada mencibir.
"Bos, berarti kau masih meragukanku. Kau lupa siapa Samui? Tenang saja, jika mereka tampan, lebih gampang untuk menyelesaikannya." perempuan berambut pirang itu membusungkan dadanya yang berisi, dia menggigit bibir bawahnya seraya mengedipkan mata. Sengaja memperlihatkan ulah gilanya kepada sang CEO. Tak lama Naruto justru tergelak dengan gelengan kepala.
"Kau yakin kali ini pun berhasil? Bagaimana kalau mereka tidak terpengaruh oleh rayuanmu?"
"Aku akan mengundurkan diri, mengganti nama dan warna rambutku, lalu menjadi penyanyi cadangan di sebuah klub malam," jawab Samui asal.
"Kenapa harus klub malam?"
"Menghindari depresi karena tidak bisa melihatmu lagi." Naruto kembali tertawa, disusul Samui yang ikut-ikutan terbahak.
"Tapi aku berharap kau berhasil." Naruto mengangguk bersama bibir yang tersungging. Pasalnya Samui selalu bisa diandalkan saat mereka berada di titik buntu. Perempuan bertubuh seksi dan berpenampilan terbuka itu dapat melakukan apa saja demi menarik klien, termasuk untuk berkongsi ranjang lewat cara aman. Dan dia berbuat atas kemauannya sendiri.
.
.
.Usai menuntaskan semua berkas proposal, Naruto berencana ke ruang divisi keuangan. Kali ini niatnya berbeda, bukan ingin mengecek kinerja karyawan, tapi mengintip keberadaan perempuan yang dalam beberapa hari ini mengambil haknya untuk dapat tidur nyenyak. Tiga hari berlalu, sejak peristiwa tak mengenakkan itu berlangsung. Besoknya Hinata absen dari pekerjaan, dia tak datang bahkan hingga saat ini.
"Pak, Anda perlu sesuatu?" Mei Terumi menyapa, begitu sang CEO tiba di ruangannya.
"Hinata masih belum masuk?"
"Iya, Pak."
"Dia sakit atau bagaimana? Apa yang terjadi padanya? Tiga hari berturut-turut tidak hadir, kau tahu 'kan sanksi apa yang bisa kuberikan?" papar pria itu lagi-lagi memamerkan wewenangnya. "Jika sakit harus ada bukti nyata, setidaknya surat dokter." Mei Terumi cuma bisa merundukkan kepala. Jelas bukan? Daya yang tampak pada sosok tegap di hadapannya itu, menyebabkan tubuh tak mampu berkutik. "Aku datang ke sini tanpa mengira bahwa kau mungkin akan diam saja. Adakah yang perlu kau sampaikan padaku?" kata Naruto menambahi, penekanan sangat kentara dalam intonasinya.
"Sa-saya tidak tahu pasti, Pak. Yang saya ingat, Hinata punya trauma hebat terhadap masa lalunya. Sa... sa-ya juga tak sengaja mendengar perbincangan teman-teman yang lain, kalau Hinata keluar dari ruangan Bapak dalam keadaan menangis. Hinata... sangat takut pada kekerasan." Mei Terumi meremas-remas jemarinya karena gugup dan takut, menyerangnya bersamaan.
"Jadi itu alasan dia tidak datang?! Aku tidak pernah membeda-bedakan karyawan, semua dapat perlakuan serupa. Kau pikir aku ini apa? Bisa memahami ratusan pekerjaku? Mengenai hal-hal pribadi kalian? Aku bertindak sesuai kesepakatan kerja, bila tidak kuat katakan padanya tidak usah kembali ke sini. Dia bisa memilih mengajar balita di taman kanak-kanak. Selembut apa memangnya dia?!" Naruto bergegas keluar dari sana, setelah sempat menarik dasinya yang tiba-tiba terasa menjepit leher. Dia mengambil langkah panjang menuju lift untuk kembali ke ruangannya.
.
.
."Sial!" umpatnya keras. Dasinya semakin berantakan, walau tidak senaas jasnya yang sudah lebih dahulu dibuang ke lantai. Entah apa yang membuat dia semarah ini, yang jelas Hinata absen bukanlah keputusan benar. Itu sama saja memancing tindakan nekat yang sanggup dia perbuat. Naruto tidak menyukai kesalahan, terlebih dia menerima itu tanpa sengaja. Bahkan dia tak mengenal Hinata, selain perempuan tersebut salah satu karyawan terbaik di matanya.
Naruto teramat bingung tentang apa yang patut dia perbuat. Tak masalah meminta maaf, tapi faktanya Hinata belum menampakkan batang hidungnya hingga kini. Mencari ke apartemen perempuan itu pun percuma. Karena ketika dia berkunjung ke sana untuk meminta maaf, Hinata tak ada di tempatnya.
Dengan buru-buru Naruto menekan tombol interkom. Saat Samui menjawab, dia pun langsung meminta sekretarisnya itu datang ke ruangannya.
"Bos, kau tampak berantakan,"ucap Samui begitu dia masuk. Perempuan itu spontan tergesa-gesa akibat perintah bosnya yang pula terdengar mendesak tadi. "Ada masalah?"
"Aku tidak tahu caranya membujuk perempuan," sahut Naruto seadanya. Dia duduk bersandar malas pada punggung kursi, sambil memainkan pena di tangannya.
Spontan Samui melongo sesaat."Kau punya kekasih, Bos?"
Naruto mengembus napas lelah."Tidak. Dia lebih berbahaya dari seorang kekasih. Merepotkan!" Naruto mendengus setelahnya. Mencoba berpura-pura tak peduli, nyatanya sangat kontras dengan isi hatinya kali ini. Ia sangat terampil menyembunyikan perasaan sebenarnya dari orang lain.
.
.
.TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Comfort table (End)✔️
FanfictionBerawal dari banyak peristiwa menjengkelkan yang memancing amarah tak terkendali. Pun perdebatan tak terelakkan. Namun di saat yang sama, perlahan rasa rindu datang menyiksa. Bagaimana kisah selengkapnya ? Silakan baca. My collab with @laceena Ini...