Bab 12

429 93 101
                                    

Tampan, kaya, mapan, angkuh, memangnya siapa yang bisa mendahului otoritas lelaki ini sebagai penguasa? Bila perintahnya turun, semua orang pasti tunduk untuk melaksanakan. Namun sekarang, tanpa diberi aba-aba dia justru sudi berkali-kali datang ke kediaman salah satu karyawatinya, Hyuuga Hinata. Nasib baik kali ini perempuan itu ada di rumah, tak seperti sebelumnya ketika usahanya terbilang sia-sia. Selama 6 hari kunjungan, Hinata tidak pernah ditemukan di rumahnya.

"Tumben Anda kemari?" imbuh Hinata setelah secangkir teh mendarat di atas meja, di depan Naruto.

Lelaki itu tengah duduk di sofa minimalis bergaya mid-century. Tampangnya kelihatan kaku, atau kemungkinan dia dilanda gugup dan cemas bersamaan. Bolak-balik menggosok kedua telapak tangan, mengembus napas, bahkan melipat bibirnya. Sementara Hinata merasa canggung di tempat, tatkala ekspresi beragam yang ditunjukkan sang CEO tersebut menggelitik hatinya. Dia tampan meskipun dengan banyak mimik berbeda terlepas bergantian. Ujung-ujungnya rona merah di pipi Hinata muncul dan amat kentara, oleh karena itu dia cepat-cepat memalingkan wajah.

"Entah, aku tidak tahu harus bersikap apa kepadamu. Rasanya ini sungguh sulit. Aku lebih suka berada di tengah-tengah rapat genting, ketimbang menghadapi seorang wanita. Kalau diminta untuk jujur, aku berani bilang bahwa wanita itu rumit." pernyataan Naruto meluncur begitu entengnya. Sedikit lega saat dia bisa mengucapkan cara pandangnya terhadap sosok wanita.

"Bagaimana, ya... bila membahas mengenai pola pikir begini... aku pun sebenarnya punya penilaian berbeda dari orang-orang tentang kalian. Maksudku para pria. Menurutku kebanyakan pria memiliki ego yang besar, selalu ingin menang sendiri, tidak menerima kekalahan juga terkadang berlebihan dalam mengambil tindakan." padahal Hinata tidak bermaksud untuk menyindir, tapi dari perubahan sikap yang tampak pada diri Naruto, dia gelisah. Langsung bergerak tak nyaman, sampai dia berdeham keras demi menetralkan emosionalnya.

"Aku cukup terkejut atas keberanianmu menilaiku."

"Tidak... tidak... itu bukan tanggapan khusus bagi dirimu. Kesimpulanku begitu untuk semua pria yang pernah kutemui."

"Nah! Ya sama saja salah satunya aku 'kan?" Naruto berseru, sedangkan Hinata agak terkesiap. Barangkali baru menyadari jika perkataan dia tadi memang patut menyinggung atasannya.

"Tapi aku tidak berniat demikian. Karena aku tipe orang yang blak-blakan."

"Aku tidak setuju untuk yang satu itu. Tentang penilaianmu ya terserah sih, siapa pun orangnya bebas berpendapat dan aku tidak pernah menjadikan hal tersebut sebagai beban atau terang-terangan menolak. Karena setiap tindakan yang kulakukan sudah kupikirkan matang-matang, ada risiko bagi setiap perbuatan. Cuma jika kau mengakui diri adalah pribadi terbuka, aku tidak percaya. Misalnya saja soal ketidakhadiranmu ke kantor selama seminggu penuh, tanpa menyertakan alasan jelas. Mestinya selaku karyawan terbaik di perusahaanku, kau bisa mengirim pesan atau email. Itu pun jika kau menghargai Bosmu."

Kini Hinata yang merasa tersenggol. Masalahnya memang tidak selurus dugaan perempuan itu. Absen dari kantor dalam seminggu, lalu tidak ada kabar apa pun. Kemudian saat ini pemimpin perusahaan tersebut menghampiri dia di rumahnya. Selain dia pantas mendengar cercaan, umpatan, atau kemungkinan terburuk adanya surat pemecatan, dia tidak dianjurkan untuk banyak bicara. Sebaiknya Hinata lebih banyak bungkam daripada mengeluarkan kata-kata bermakna menggurui kepada seorang CEO. Pada akhirnya dia sendiri terserang bingung, Hinata salah tingkah.

"Maaf... aku hanya sedang menenangkan diri di rumah. Sudah lama aku tidak pulang menemui Ibuku," kata Hinata bernada pelan. Dia mengalihkan pandangnya ke sisi lain. Sungkan jika bertatapan dengan sang CEO.

"Hinata..." Naruto memanggil dengan serius, usai dia menyesap perlahan teh yang terhidang. Begitu Hinata mengamati dirinya, dia pun kembali berucap,"Kehadiranku di sini untuk meminta maaf. Malamnya setelah kejadian tak mengenakkan tempo hari, aku langsung mendatangimu kemari dengan tujuan sama. Cuma sampai kunjungan ke enam kau tidak ada di rumah. Tadinya aku hampir menyerah andai kali ini aku kembali tidak menjumpaimu. Peristiwa itu membuatku sulit tidur, jika kau mau percaya, pertama kalinya seorang wanita menangis sebab ulahku. Jadi biarpun sedikit, aku cukup menyesal." Naruto sempat tertunduk sejenak, sedangkan Hinata masih mengamati lewat muka berkerut. Dalam hatinya bergumam.

'Kenapa cara dia meminta maaf membuatku kesal? Sombong sekali.'

Diam-diam Hinata mencebikkan bibirnya."Bila sudah lebih baik, kau harus datang ke kantor besok," Timpalnya lagi sebelum Naruto terlihat berdiri, hendak berpamitan.

"Eh, kau sudah mau pulang?"

"Hn." hanya gumaman yang terdengar. Kemudian dia sedikit merapikan jas dan dasinya."Terima kasih untuk tehnya, Hinata. Aku harus pulang sekarang. Kau tidak boleh cuti lagi, kulihat kondisimu baik-baik saja. Jadi kalau masih tidak hadir, akan ada hukuman berat untukmu," katanya mengomando. Namun Hinata tak mengeluarkan sepatah kata apa pun, selain mengangguk malas.

"Aku pasti datang, kok. Kau tidak perlu pusing-pusing memikirkan hukuman untukku," ujar Hinata selagi dia mengikuti di belakang, mengantar atasannya ke pintu.

"Oh iya!" Gerakan berbalik Naruto yang mendadak, menyebabkan keduanya bersitatap. Wajah mereka sangat dekat, sampai-sampai kelopak mata Hinata terbelalak. "Ah aku ingin bilang... tidak jadi." Keduanya mengalami serangan grogi. Saat kikuk begini Hinata malah mendengar suara sang ibu,

'Sudah waktunya kau membuka hati, Hinata. Jangan lagi mengait-ngaitkan semua pria dengan perilaku Ayahmu dan para pria yang pernah menyakitimu. Mungkin sama sepertimu, bagi beberapa pria di luar sana... tak mudah menemukan wanita yang baik.'

Hinata spontan menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika kilas ingatan itu menghilang."Ada apa denganmu?"

"Ti-tidak. Baiklah... besok aku datang. Terima kasih untuk kunjunganmu." Usai dia mengambil langkah mundur untuk merenggangkan jarak di antara mereka, lalu membungkuk sekejap dan senyum tenangnya terulas di hadapan Naruto.

"Oke. Aku menunggu kedatanganmu," ucap Naruto setelah dia berdiri pas di depan pintu apartemen Hinata.

"Hah? Apa? Kau bilang menungguku?"

"Ya. Tugasmu sudah menumpuk." Hinata langsung mencelus mendengar kebenaran ini. Berbeda dengan apa yang terlintas di benaknya. Berujung dia memutar bola matanya dan menanggapi dengan ketus.

"Iya ... Bos!" katanya nyalak sebelum menutup pintu di depan muka Naruto."Menyebalkan! Pria sombong! Tunggu saja sana! Memangnya aku peduli."

"Aku bisa tega memberi banyak hukuman, jika kau masih mengoceh di situ, Hinata." tubuh Hinata mendadak menegang kala suara bernada tinggi itu masih memperingatinya dari balik pintu. "Aku atasanmu, jadi mulai saat ini ubah etikamu di hadapanku. Kita buat perjanjian, aku bisa sedikit lunak padamu dengan catatan kau juga harus menunjukkan kelakuan baik. Biar kita impas. Jangan mengira aku melakukannya demi dirimu. Aku hanya tidak ingin perusahaanku mengalami kerugian gara-gara karyawan suka ngambek sepertimu. Kau mengerti, Hinata?" Naruto berteriak lagi, perintah penutup sebelum dia benar-benar meninggalkan tempat itu. Kemudian di dalam, Hinata menggeram tertahan. Gigi-ginya bergemeretak.

"Terserah!" ketusnya pelan sambil melangkah semakin ke dalam.

.
.
.

TBC

Laceena
Laceena

Comfort table (End)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang