8. Mengobrol dengan Oma

2K 301 13
                                    

Happy reading ❤️

Setelah sampai di kamar, Rama menuntun istrinya pelan untuk duduk di kasur. Tangan Rama mengusap kepala Arum sembari memeluknya lembut.

Sumpah demi apapun, Rama akan mati detik itu juga saat Arum benar-benar pergi. Untungnya kebencian Oma kepada Arum hanyalah prank semata. Meskipun begitu, debaran ketakutan masih melekat di dalam hati pria itu.

Di sisi lain, Arum merasa aneh dengan tingkah Rama. Pria itu seperti terlihat sedang berusaha menyembunyikan tangan kanannya. Arum menarik dirinya begitu saja dari pelukan Rama, Rama yang belum siap pun merasa kaget. Pria itu menatap istrinya cemas.

"Kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" tanya pria itu lembut sambil menangkup wajah Arum.

Dari sudut matanya, Arum melirik ke arah ruas jari Rama, terlihat seperti adanya bekas darah yang mengering. Memang tidak terlalu lumayan sih, tetapi Arum tetap saja ngeri melihatnya.

Arum melepaskan tangan Rama lembut, Arum mengelus ruas jari itu.

"Ini kenapa, Mas?"

Rama ingin menarik tangannya, tetapi langsung ditahan oleh Arum. Wanita itu memberikan tatapan tajam dan mendesak agar Rama mau mengaku.

Rama mengalah, pria itu menarik napas sebelum bercerita. Rama menatap intens Arum saat menceritakan penyebab ruas jari-jarinya itu terluka.

"Mas nonjok tembok?" tanya Arum kaget.

Arum menoleh ke arah tembok bekas tonjokkan Rama. Tembok itu tidak mengalami perubahan apapun. Ya iyalah! Wong yang Rama tonjok itu tembok, sudah pasti keras 'kan?

"Tapi, temboknya gapapa 'kan?"

Sedetik setelah pertanyaan itu meluncur bebas dari mulut Arum, Rama sedikit mendengus dan menatap Arum kesal.

Melihat tatapan itu, Arum hanya menatap Rama lugu. Memangnya salahnya dimana menanyakan itu?

Rama mengusap kasar wajahnya, percuma saja, dari dulu hingga sekarang, Arum itu istrinya yang lugu. Itu kenapa Rama sedikit membatasi Arum, supaya Arum tidak terpengaruh hal buruk di luaran sana.

"Tunggu ya, Mas."

Arum bangun dan melangkahkan dirinya ke lemari, membuka laci yang berisi kotak P3K. Arum kembali duduk di sebelah Rama. Arum dengan telaten mengobati luka Rama, memberikannya Betadine, kemudian membalutnya dengan perban. Rama terus saja menatap Arum intens.

"Cantik," bisik Rama pelan.

"A--Aku, taruh ini dulu ya, Mas." Arum hendak berdiri setelah selesai mengobati Rama, tetapi lengannya ditahan oleh pria itu, yang membuatnya harus kembali terduduk.

"Selamat ulang tahun, istriku." Ucapan singkat itu membuat hati Arum berdesir.

"Maaf kalo aku lupa, pikiranku benar-benar kalut akan Oma kemarin, pikiranku jadi ga sampai ke situ. Maaf, Sayang." Rama mengecup pelan punggung tangan Arum.

"Aku gamau kehilangan kamu lagi, Rum. Aku benar-benar marah sama diri aku sendiri, dulu aku selalu menyiksa kamu tanpa henti, aku menghancurkan masa depan kamu hanya karena rasa iri aku kepada kamu yang selalu dipuji Papa dan Mama. Gatau kenapa, dulu aku merasa harga diriku terinjak-injak sebagai putra sulung di keluarga ini, karena Mama dan Papa selalu memuji kamu yang notabene-nya kamu cuma anak panti. Itu membuat aku iri ke kamu. Aku gatau bagaimana harus menebus semua dosa-dosaku dulu." Rama berbicara panjang lebar sambil menerawang, mengingat-ingat dosanya dulu kepada Arum.

Arum hanya terdiam, sebagai balasan responnya, wanita itu mengusap pelan lengan Rama.

"Sekali lagi, selamat ulang tahun, Sayang. Hadiahnya nyusul ya." Rama mencium lembut kening Arum.

"Terima kasih, Mas. Kita siap-siap sholat, yuk! Udah mau Maghrib," ajak Arum yang diangguki oleh Rama.

***

Arum mengigit bibirnya gelisah, selepas sholat Maghrib tadi, Oma mengajaknya untuk mengobrol di teras rumah. Arum gemetaran memegang nampan ditangannya yang berisi dua gelas teh dan cemilan.

Sesampainya di ambang pintu, Arum dapat melihat Riri yang tengah duduk bersandar sambil memandang lurus ke depan. Entah apa yang wanita itu sedang pikirkan.

"Oma," panggil Arum pelan.

Riri menoleh dan menyambut Arum dengan senyuman. Ia menyuruh Arum untuk ikut duduk.

"Ada apa Oma? Apa ada kesalahan?" tanya Arum setelah mendaratkan dirinya di bangku.

"Engga, Oma cuma mau ngobrol sama kamu." Riri menyeruput teh perlahan.

"Eh, Oma punya sesuatu untuk kamu."

Riri mengulurkan sesuatu, sebuah kotak kecil persegi. Arum menatap kotak itu ragu, namun ia segera menerimanya, tak enak jika menolak.

"Terima kasih, Oma. Wah! Kalungnya bagus sekali, Oma."

Arum menatap takjub kalung dengan liontin biru tersebut. Modelnya benar-benar model zaman dahulu. Tetapi kalung itu begitu indah.

Riri tersenyum kecil, "iya. Untuk kamu, kalung itu peninggalan suami Oma, beliau berjuang keras demi mendapatkan kalung itu, ia membelinya dari gaji pertama yang didapat. Itu mengapa ini sangat penting untuk Oma. Kamu jaga ya?"

"Tapi 'kan, Arum pake kerudung, Oma. Gimana pakenya?" tanya Arum hati-hati.

"Kamu simpen aja, kamu bisa berikan ke Kiara atau Kirana nanti."

"Tapi, kok Oma ga memberikannya ke Mama?"

Riri mengulas senyum, "dulu sudah Oma berikan, tapi dikembalikan lagi. Nah, sekarang. Kamu jangan nolak ya," ucap Riri sedikit memaksa.

Arum tertawa kecil, "iya, Oma. Terima kasih."

"Sama-sama."

"Hm, Oma. Kalau misalnya kalung ini sangat berharga, kenapa Oma memberikannya ke orang? Kenapa engga disimpan sendiri?" Pertanyaan Arum memecah keheningan beberapa detik itu.

"Yah, gatau juga ya. Oma 'kan udah tua, lagian itu 'kan engga dibawa mati, daripada sia-sia nantinya, lebih baik Oma kasih aja 'kan, ke kamu," jawab Riri simple.

"Kamu tau ga, Rum? Dulu Rama itu anaknya badung banget, selalu aja cari masalah. Mulai dari ikut tawuran, balapan liar. Sampai suatu saat, ia melakukan kesalahan yang benar-benar fatal, mungkin kamu sudah mengetahuinya, ia menghamili seorang perempuan yang seusia dengannya," curhat Oma.

Ah! Arum ingat, dulu Bi Ijah juga pernah menceritakan hal ini.

"Kami berharap, Rama dapat berubah, setidaknya karena kehadiran Kiara. Ternyata Rama malah semakin berulah. Sejak itu, Rama makin menggila, dia tumbuh menjadi sosok yang dingin, kasar, dan kejam. Rama itu tipikal anak yang tidak mau diatur." Riri menatap sendu ke arah depan.

Arum jadi ingat pertemuan pertamanya dengan Rama, dimana saat itu Rama menatapnya dengan sinis.

"Tetapi, semenjak kamu masuk ke dalam kehidupan kami, terutama Rama. Rama sudah banyak berubah, Oma benar-benar bersyukur akan hal itu. Bukan hanya Rama, Susan pun juga berubah menjadi pribadi yang lebih baik." Riri tersenyum menatap Arum.

Diam-diam, Arum tersipu malu, di dalam hatinya seperti ada rasa kebahagiaan tersendiri, mengingat dirinya yang ternyata ikut andil dalam perubahan sikap suaminya.

"Ngomong-ngomong, biskuit buatan kamu enak, kapan-kapan ajarin Oma ya?" pinta Riri setelah mencicipi biskuit itu.

Arum mengangguk antusias, "iya, Oma. Nanti Arum ajarin."

Keduanya tertawa kecil, dan kembali melanjutkan obrolan-obrolan ringan.


Tbc

Happiness [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang