12. Mengambil Rapor Kiara

1.7K 269 17
                                    

Happy reading ❤️❤️

Di bulan ke delapan ini, Arum sudah tidak sabar menanti kelahiran bayi di dalam perutnya. Apalagi Rama, pria itu tiada henti mengecup perut Arum karena rasa bahagia yang membuncah. Bayi di dalam perut Arum suka sekali menendang, hingga tanpa sadar membuat wanita itu sedikit meringis.

"Aduh, kamu ga sabar keluar ya, Nak," gumam Arum.

"Kira-kira bayi kita apa ya, Sayang? Perempuan atau laki-laki?" tanya Rama.

Kedua pasangan itu tengah bersandar di kasur, meresapi kemesraan mereka dengan mengobrol bersama.

"Kamu maunya apa?" Arum balik bertanya.

Rama nampak berpikir, "terserah. Yang penting sehat, kamu dan dedek bayinya selamat."

"Lagian pas kita USG kemarin, kenapa kamu gamau tau jenis kelaminnya apa?" Arum mengerucutkan bibir.

Rama tersenyum, tangannya mengambil tangan Arum dan bibirnya mendarat di punggung tangan wanita itu.

"Surprise, Yang. Tapi sih, aku maunya cewek, supaya banyak tuan putri di rumah ini," jawab Rama.

"Nanti manggil kamu ibu atau bunda ya?" Rama lanjut bertanya.

Arum nampak berpikir, sejujurnya wanita itu lebih nyaman jika dipanggil dengan sebutan itu, entah kenapa.

"Bunda lagi aja. Aku suka soalnya." Arum menyengir lugu.

Rama hanya tersenyum, pria itu mencium kening Arum lama yang membuat Arum memejamkan mata. Saat Rama menarik bibirnya dari kening Arum, wanita itu langsung membuka mata.

Keduanya saling pandang cukup lama. Menyalurkan cinta dan perasaan masing-masing lewat indera penglihatan itu.

"Aku cinta kamu, Rum," ucap Rama tulus.

"Aku juga cinta kamu, Mas." Arum tersenyum memandang wajah Rama.

Setiap mereka ingin tidur, Rama kadang-kadang selalu mengucapkan kata-kata cinta ke Arum, yang tentu saja membuat wanita itu berbunga-bunga.

"Tidur, Yang. Besok 'kan kita mau ke sekolah Kiara untuk ambil rapor," bisik Rama.

Arum mengangguk patuh, lantas keduanya menarik selimut untuk mengarungi dunia mimpi.

***

Rama sedikit mendengus sebal, saat sudah sampai di sekolah Kiara, Arum terlihat lemas. Tapi bisa-bisanya wanita itu terlihat sehat-sehat saja.

"Sayang. Aku aja deh yang masuk." Ucapan Rama menghentikan mereka yang sudah berjalan sampai ke koridor kelas sepuluh IPA

"Loh, kenapa Mas?" tanya Arum heran.

Rama berdecak, Arum mungkin tidak menyadari kondisi kesehatannya sendiri, tetapi Rama sebagai suami dan ayah siaga, tentunya tidak ingin terjadi sesuatu pada Arum yang sedang hamil tua.

"Kamu keliatan lemes itu, kamu di mobil aja ya duduk," kata Rama.

Arum sedikit merengut, memangnya kenapa ia tidak boleh mengambil rapot Kiara? Wanita itu menyipitkan matanya. Rama mengangkat sebelah alis kala melihat Arum yang melihatnya seperti itu.

"Kamu malu ya punya istri kaya aku?" Tiba-tiba Arum memurungkan wajahnya. Wanita itu hampir menangis.

Rama mengusap kasar wajahnya, bisa-bisanya Arum berpikiran seperti itu.

"Engga gitu, Sayang. Kamu pucet itu. Di mobil aja ya," bujuk Rama.

Arum hanya mengangguk, Rama tersenyum senang karena Arum menurut padanya. Rama merangkul Arum untuk mengantarkan wanita itu ke mobil.

"Jangan lama-lama." Arum memegang erat tangan Rama yang hendak kembali masuk ke sekolah.

Rama tersenyum dan mencium kening Arum. Diperhatikannya wajah sang istri yang semakin hari semakin cantik itu.

"Iya sayang, kamu duduk aja yang tenang ya. Aku udah sediain makanan. Kalo kamu laper tinggal makan aja." Rama mengusung senyum manis.

Rama memang selalu membawa makanan di mobilnya. Jika Arum tiba-tiba lapar saat di perjalanan, tentu saja akan sangat mudah mendapatkan makanan.

Lagi-lagi Arum hanya mengangguk. Selepas itu, Rama langsung pergi meninggalkan Arum dan kembali masuk ke sekolah.

"Ayah," sambut Kiara di depan pintu kelasnya. Gadis itu mengambil tangan Rama dan mencium punggung tangan itu penuh hormat.

Sementara Fani yang juga ada di sebelah Kiara ikut melakukan hal yang sama. Keduanya merupakan pengurus OSIS di sekolah.

"Masuk aja, Yah. Udah lumayan rame," ujar Kia.

Rama mengangguk, segera saja, pria itu melangkah menuju ke dalam kelas dan duduk di sebelah bapak-bapak yang juga akan mengambil rapot anaknya.

"Ki, bokap lu cool banget sih. Jantung gue ga karuan nih," celetuk Fani.

Kiara hanya membalasnya tersenyum, gadis itu menyikut pelan Fani, "udah ada yang punya, Fan." Kiara memperingati dengan senyum jahilnya.

Fani hanya tersenyum kikuk. "Bercanda, Ki. Mana berani gue," ucap Fani.

Setelah beberapa saat, akhirnya Rama keluar dari ruang kelas. Senyum tercetak di wajah pria itu. Rama mengelus kepala Kiara.

"Alhamdulillah, kamu ranking dua," kata Rama.

Fani dan Kiara ikut tersenyum senang.

"Ayah ga marah? Kia ga dapet ranking satu?" tanya Kiara.

Rama yang mendengar pertanyaan itu justru tertawa pelan.

"Sebenarnya, yang ayah butuhkan itu, hanya usaha dan kerja keras kamu, serta kegigihan kamu dalam belajar. Tapi kalo ini, ya bonus. Jadi kita harus bersyukur."

Kiara tersenyum, rasanya sangat senang jika tidak dapat tuntutan apa-apa perihal nilainya. Kiara memeluk Rama sebentar. Melihat hal itu timbul sedikit perasaan iri di dalam hati Fani.

Rama melepas dekapannya, kembali mengelus kepala putrinya itu.

"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Rama yang dijawab gelengan oleh Kiara.

Memang sehabis ini masih ada rapat OSIS yang harus ia ikuti, jadi kemungkinan dia akan pulang sore nanti.

"Ya udah, nanti kalo mau pulang, telfon ayah. Insya Allah ayah jemput nanti."

Kiara mengangguk sigap. Gadis itu kembali mencium punggung tangan Rama yang dilanjut oleh Fani.

"Assalamu'alaikum." Rama melempar senyum manis sebelum melenggang pergi dari sana.

"Waalaikumsalam," jawab kedua gadis itu.

"Lo enak ya, Ki," ucap Fani lirih.

Kiara segera menengok cepat. Matanya menangkap perubahan emosional serta gerakan pada Fani.

"Maksudnya?" tanya Kiara bingung.

"Orang tua lo ga pernah nuntut lo. Sedangkan mama papa gue, mereka selalu aja mengharuskan gue dapet ranking lima besar. Tapi lo tau 'kan, bahkan ranking sepuluh besar aja gue belum dapet," curhat Fani.

Fani tersenyum miris, sulit baginya memiliki orang tua yang bersikap perfeksionis. Gadis itu ikut menjadi korbannya, seperti nilai yang harus selalu bagus serta mendapatkan peringkat di sekolah.

Kiara menatap Fani iba, gadis itu juga bisa merasakan apa yang Fani rasakan. Bagaimana tertekannya Fani. Di balik senyum ceria yang selalu Fani tampilkan, ada beberapa hal yang membuat gadis itu tertekan.

Kiara menghambur ke pelukan Fani, "udah ah ga usah nangis. Kita tuh mau kelas sebelas, mau sweet seventeen, masa mau cengeng gini," hibur Kiara.

Fani yang mendengarnya lantas terkekeh, gadis itu ikut membalas pelukan Kiara.

Tbc

Happiness [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang