7. Menuntaskan Rasa

1.3K 231 42
                                    

بسم الله الر حمن الر حيم

Astaghfirullahaladziim
Astaghfirullahaladziim
Astaghfirullahaladziim

-Wattpad cuma selingan, Al-Qur'an yang utama-

........

Kami tiba di rumah setelah adzan Maghrib. Iyay Hasbi tidak ikut turun, dia hanya mengantarkan kami lalu pergi ke rumah kakeknya yang berada sekitar 200 meter dari rumah kakekku.

Setelah mandi dan melaksanakan sholat aku berkumpul dengan papi dan mami, adik dari buyah yang sekarang menempati rumah ini.

"Pimpinan, kok makin panjang aja sih jilbabnya? Kayak emak-emak loh," ucap mami saat aku baru saja meletakkan bokong di kursi tua ini.

Pimpinan adalah gelar serta panggilan untukku di keluarga kami. Mungkin karna aku cucu tertua dan aku putri buyah satu-satunya mereka menggelari aku seperti itu.

Aku tersenyum kecut, lama tidak bertemu sekalinya bertemu malah menyakiti hati dengan basa-basi yang tidak perlu. 'Bicara baik, atau diam' sudah tidak berlaku lagi di dunia yang kutinggali, mungkin berniat untuk membuka pembicaraan tapi tidak menyadari bahwa pertanyaannya menyakitkan.

"Gindaaaaa, Assalammualaikum!"

Suara nyaring Merry menyelamatkanku, sahabatku sejak kecil yang pasti datang ke rumah ini tiap kali aku pulang.

"Wa'alaikumsalam, Mer." Buru-buru aku bangun dari kursi panas itu menuju pintu.

"Hwaaaaa kangen!" Merry memelukku erat, lalu mencubit kedua pipiku.

"Sakit, tau!" Merry tidak berubah sama sekali sejak kami kecil. Dia selalu memperlakukan aku seperti adiknya, hingga tentu saja dia berprilaku semaunya padaku.

"Ke rumah aku aja, yuk. Males di sini ada nenek lampir." Merry menyeret ku ke rumahnya yang selisih tiga rumah dari rumah ini.

Di kampung ini, rumah panggung khas Lampung masih sangat lestari, aku menaiki tangga papan yang hitam mengkilap karna rajin di pel dengan solar, jangan berpikir negatif bahwa Merry lah orang yang sangat rajin mengepel lantai papan ini, karna itu mustahil terjadi.
Aku sering bertanya kenapa rumah yang hampir seratus persen terbuat dari kayu malah sering diolesi solar? Memangnya tidak takut terbakar? Sampai hari ini aku belum mendapat jawaban yang logis.

"Mer, bunda mana?"

"Biasalah."

"Biasalah apaan?"

"Di rumah Siti, lagi kumpul di sana." (Siti = nenek)

"Kamu gak ikut?" Tanyaku penasaran, Merry biasanya tidak pernah bisa jauh dari bau ketek bundanya.

"Enggak, aku liat kamu dateng tadi."

"Oooo." Ku hempaskan tubuh di atas sofa ruang tamu Merry.

Aku baru saja hendak melepas jilbab saat suara salam seorang laki-laki terdengar.

Aku menoleh, mata kami bertemu, kembali saling mengunci. Astaghfirullah. Kali ini aku yang pertama mengalihkan pandang. Dia datang dengan seorang teman yang tentu aku juga kenal.

"Masuk," ucap Merry.

"Eh gak usah, duduk di luar aja." Sergahku cepat. Bagaimanapun, tidak ada orang lain di rumah ini, aku tidak ingin menimbulkan fitnah, atau jadi korban godaan setan.

Kami duduk berjauhan, sekuat tenaga aku menunduk tidak ingin menatap wajahnya meski saat ini ada perasaan rindu yang mendobrak dadaku.

"Gimana kabarnya, dek?" Dia mulai membuka suara, suaranya terdengar berat.

Patah Hati? Emang Berhak?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang