Check up

49 7 0
                                    

"Padahal gue bisa sendiri aja tau, Hao."

Minghao menggeleng, kemudian entah dari mana ia menarik kursi roda dan memberi isyarat agar aku duduk di atasnya. Aku baru saja turun di depan lobi rumah sakit bersama Minghao. Kejuaraan taekwondo yang akan diselenggarakan beberapa hari lagi membuatku perlu kembali memeriksa cedera kaki yang aku alami belum lama ini.

Meskipun Minghao ―dan terkadang Jaehyun― memaksa untuk menemaniku ke rumah sakit, yang tentunya kutolak dengan keras, hari ini Minghao sangat bersikeras hingga tiba-tiba datang ke depan rumahku dengan mobil serta sopir pribadinya.

"Cepetan duduk," Minghao mendorong pundakku ke arah kursi roda.

"Apaan sih, Hao? Gue cuma kekilir doang, ini juga check-up terakhir ngapain pake kursi roda?" aku baru hendak melangkah ketika tangan Minghao mendorongku cukup kuat dan membuatku jatuh terduduk di atas kursi roda.

"Nurut aja. Lo udah tau lagi cedera bukannya sadar diri malah jalan-jalan terus. Nanti kalau malah gak bisa ikut kejuaraan gimana?" Minghao mengoceh sembari mendorong kursi roda, membuatku tidak punya pilihan selain menuruti keinginannya.

Minghao benar-benar melarangku untuk bergerak sedikitpun dari kursi roda. Membuatnya mengurus semua hal dari mengonfirmasi reservasi hingga mengantarku ke ruang konsultasi hingga pembayaran, yang nyaris membuat kami bertengkar karena ia memaksa untuk membayar.

"Pokoknya makan siang gue yang bayar," kata Minghao ketika aku dan ia tengah berada di dalam mobil pribadi miliknya, dalam perjalanan ke restoran untuk makan siang.

"Iya iya. Asal jangan aneh-aneh aja nanti di restoran."

Minghao menoleh padaku, mengerutkan alis, "Aneh-aneh gimana?"

Aku mengangkat bahu, "Siapa tau lu bikin arak-arakan? Kan gak mungkin di restoran ada kursi roda."

Tidak ada jawaban dari Minghao, ia mencondongkan tubuh pada sopirnya sebelum kembali duduk bersandar di sampingku, "Yah, gimana dong. Gue cuma ada kursi roda di bagasi mobil. Apa gue telepon aja restorannya suruh nyiapin arak-arakan buat lo?"

"Lo gak waras."

Minghao tertawa, "Kalo mau bisa gue telepon sekarang sih," ia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya, "Lagian yang punya restoran juga tante gue."

Aku mendorong ponsel Minghao menjauh dari wajahnya, "Gak usah aneh-aneh."

Lagi-lagi Minghao tertawa, membuatku melirik sinis padanya. Setelah berhenti tertawa Minghao tampak memperhatikanku beberapa kali, seperti mencari waktu yang tepat untuk menyampaikan sesuatu.

"Lo mau ngomong apa?"

Minghao mengangkat kedua alisnya, tersenyum tipis sebelum menjawab, "Nanti aja di restoran, bentar lagi sampe."

Restoran yang disarankan oleh Minghao atau lebih tepatnya restoran milik tante Minghao adalah restoran all you can eat yang interiornya didominasi oleh kayu. Minghao dan aku diarahkan ke salah satu ruangan private yang sepertinya cukup untuk menampung dua puluh orang.

"Lo gak salah ngajak gue makan di restoran all you can eat sedangkan gue gak boleh turun dari kursi roda sama lo?" tanyaku ketika aku dan Minghao duduk bersebelahan di meja bundar besar. Kursi yang seharusnya tertata di sekeliling meja terlihat ditumpuk di pojok ruangan, "Nanti yang ada gue ngerepotin lo mulu kalo mau ngambil makanan," lanjutku.

"Kata siapa lo perlu pergi-pergi kalo mau ngambil makanan?"

Tepat setelah Minghao menutup mulutnya, pintu ruangan terbuka dengan beberapa pelayan yang membawa makanan dan mulai menatanya di atas meja. Sedangkan aku hanya melongo menatap banyaknya makanan yang tertata di atas meja.

"Jangan bengong. Lo kayak gak pernah makan di rumah makan padang aja," Minghao meletakkan peralatan makan di hadapanku.

"Ini gak bisa lo samain sama rumah makan padang dong, Hao."

"Udah lo makan aja. Apa masih perlu gue ambilin?" tangan Minghao bersiap mengangkat piring milikku.

"Gue bisa sendiri," aku menahan tangan Minghao, membuatnya mengangkat bahu dan mulai mengambil makanan untuknya, "Gara-gara keseringan bareng sama lo gue suka lupa lo orang kaya."

Minghao melirik padaku, "Bukan gue kok yang kaya, orang tua gue."

Aku memutar bola mata, "Iya deh suka-suka lo aja. Eh iya, tadi di mobil lo mau ngomong apa?"

"Lo yakin gak mau makan dulu? Kalo tiba-tiba nafsu makan lo ilang gimana?"

"Gak mungkin lah. Kenapa? Masalah Bang Woozi?"

Tangan Minghao melepas alat makan yang semula ada di genggamannya, menatapku dengan bola mata bergetar.

Aku menghela napas, "Gue udah bilang kan. Itu bukan salah lo. Jangan merasa bersalah sampe ngerepotin diri lo sendiri dengan bantuin gue kayak gini."

"Gue gak pernah ngerasa repot bantuin lo."

"Ya pokoknya, masalah Bang Woozi itu masalah gue sama dia. Lo sama Jaehyun cuma ada di tempat dan waktu yang salah aja."

Minghao mengusap wajahnya, "Tetep aja gak sih? Kalau aja gue gak ngebawa topik itu pasti kalian gak bakal kayak gini sekarang. Jaehyun juga kalau dia lebih ngejaga pendapatnya buat diri sendiri―"

"Hao, udah lewat juga kan? Sekarang biar gue sama Bang Woozi aja yang nyelesaiin masalah ini. Gue juga udah jelasin kok ke Bang Woozi. Tapi ya dia dan gue perlu waktu untuk mikirin ke depannya kita mau gimana."

"Lo gak perlu maksain diri untuk keliatan baik-baik aja di depan gue... itupun kalo lo percaya sama gue sih."

Aku tersenyum tipis, "Sekarang gue udah gak apa-apa kok, Hao."

Minghao menghela napas kasar, "Padahal gue udah janji sama ibu lo buat jagain lo, tapi bahkan masalah kayak gini aja lo pasti lebih milih cerita ke Bang Seungcheol," Minghao tampak terkejut dengan ucapannya sendiri.

"Duh ceritanya lo cemburu nih sama Seungcheol?"

"E-engga gitu."

Aku tertawa melihat ekspresi Minghao, "Iya gue cerita masalah ini ke Seungcheol. Tapi bukan karena gue gak percaya sama lo. Seungcheol lebih kenal Bang Woozi daripada kita dan Seungcheol juga lumayan deket sama gue. Paling engga dia bisa jadi sisi netral karena tau dari dua pihak kan?"

"Selain Bang Woozi juga, itu kaki lo kekilir..."

Aku menatap Minghao dengan kedua alis terangkat, "Kenapa kaki gue?" aku menutup mulut terkejut, "Lo gak mikir kaki gue kekilir gara-gara lo kan, Hao?"

"Emang bukan karena gue?"

"Gue mau jelasin tapi takut lo ketawa," aku menatap Minghao, yang sekarang mengangkat alisnya menunggu penjelasanku, "Serius gue malu banget kalo harus cerita kenapa gue bisa kekilir."

"Malu kenapa? Bukannya lo kekilir pas lagi latihan taekwondo?"

Mataku berusaha menghindari tatapan menuntut sekaligus penasaran Minghao, ia terlalu berbaik sangka mengira aku terkilir ketika latihan taekwondo.

"Kalo lo gak mau cerita ya gak apa-apa sih."

Aku menggeleng, "Jadi tuh, gue telat bangun waktu mau berangkat sekolah. Terus pas gue turun dari tempat tidur, salah perhitungan, jadi kekilir deh."

"Oke sekarang gue bingung harus ketawa atau kasian atau marah sama lo tapi bisa bisanya? Dan kenapa dua minggu sebelum kejuaraan?"

Aku meringis, "Maaf, gue emang ceroboh banget."

"Lo gak perlu minta maaf sama gue. Minta maaf sama diri lo sendiri. Lo ada-ada aja," Minghao memijat pelipisnya.

"Karena lo udah tau, gak usah merasa bersalah lagi ya, Hao."








Inspired by: 2018, cedera

How to Make Up || Choi SeungcheolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang