Chapter 10
. . . . .
happy reading
. . . . .Akhir pekan artinya Eunseol harus bekerja sampingan di bar sebab dia masih membutuhkan tambahan dana untuk membeli tablet baru dan juga kiriman uang untuk orang tuanya. Hanya saja, hari ini rasanya ia tidak bertenaga seperti biasanya. Sejak pagi ia sudah lemas, tulang yang menyokong tubuhnya terasa ngilu, kepalanya berat dan semakin berat setelah hidungnya mencium aroma alkohol yang kuat di bar, semakin tenggelam matahari maka matanya juga terasa semakin panas.
Helaan napas besar Eunseol hembuskan saat dirinya mendarat di kursi balik meja bar. Perlahan hembusannya semakin memberat, bibir dan tenggorokannya juga terasa kering, tubuhnya sudah tidak bisa lagi dipaksakan untuk bergerak.
“Im Eunseol, kau baik-baik saja?” tanya Minjae mendekat, refleks tangannya menyentuh dahi yang sudah dibasahai keringat, “Badanmu panas, Eunseol-ah, kau demam.”
“Em.. Kurasa juga begitu...”
“Bukankah sebaiknya kau libur saja? Pulanglah, Eunseol-ah.. Jangan paksakan dirimu seperti ini.”
Eunseol menggeleng pelan, “Aku tidak bisa mangkir dari pekerjaan ini, Minjae-ya. Hanya ini yang bisa membantuku sekarang.”
“Tapi kondisimu sedang tidak memungkinkan untuk berjalan mondar-mandir mengantar minuman. Sebagai atasanmu aku tidak bisa mengizinkanmu bekerja dengan kondisimu ini. Jika Ryushin tahu pun pasti dia tidak akan mengizinkanmu.”
“Dia akan langsung menggendongku dan membawaku ke apartemennya dengan paksa jika dia ada di sini, Minjae-ya,” Eunseol memaksakan untuk duduk tegap dan senyum tipis, “Tapi dia sedang ada jauh di seberang lautan.”
“Dia akan mengomeliku habis-habisan jika tahu aku membiarkanmu memaksakan diri,”
“Dia tidak akan mengomel jika kau tidak memberitahu dia.”
“Tidak, pulang sekarang.”
“Kau mengusirku?”
“Eo!” tegas Minjae, “Aku tidak akan memotong upahmu hanya karena kau cuti sehari untuk istirahat.”
“Tenang saja,” wanita itu bangkit dari duduknya meski tulangnya ngilu, “Aku baik-baik saja. Toh, jam kerjaku hanya tinggal satu jam lagi. Aku masih bisa bertahan selama itu, Minjae-ya.”
“Tapi_”
“Ssstt! Jangan berisik,” sela Eunseol, “Dengarkan aku, Minjae-ya. Aku akan baik-baik saja selama satu sampai dua jam ke depan. Aku yang tahu bagaimana kondisiku sekarang, aku janji kau tidak akan mendapat masalah dari Ryushin, aku akan membelamu jika memang dia memarahimu nanti asal kau tidak memberitahu dia tentang hal ini, okay?”
“Eishh, jinjja! Kenapa dia sama keras kepalanya dengan Ryushin?”
Keras kepala Eunseol membuat wanita itu benar-benar bisa bertahan hingga jam kerjanya habis, meskipun tubuhnya mulai sulit digerakkan. Kepala batunya tidak hanya berhenti di sana, saat Minjae berbaik hati ingin mengantarnya pulang, Eunseol tegas menolak dengan alasan akan pulang ke apartemennya sendiri. Im Eunseol harus menahan kepalanya yang berat sambil menunggu di halte bus. Kepalanya menyandar pasrah di kaca halte.
Tiba-tiba saja dia merasa awas ketika mobil hitam yang memperlihatkan wajah atasannya dengan baik melalui kaca depan, berhenti tak jauh dari halte. Tubuhnya menegap perlahan saat sosok yang sudah jengah ia lihat di penerbitan muncul dari dalam mobil dan mendekatinya dengan smirk di wajah.
“Eunseol-ssi? Sedang apa kau di sini?” tanya Hwan.
“Ah_” wanita itu berdehem kecil menyadari suaranya sedikit serak, “Aku baru saja pulang dari tempat kerja sambilanku.”
“Apa kau akan pulang sekarang? Aku bisa mengantarmu, sepertinya kondisimu sedang tidak bagus sekarang. Sangat bahaya jika kau memaksakan pulang menggunakan angkutan umum. Naiklah..”
“Ani-yo_”
“Sudahlah, Eunseol-ssi.. Jangan keras kepala, ayo!”
Karena tenaga yang memang hampir tak tersisa lagi, Eunseol hanya bisa menurut saat Kim Hwan menariknya dan memaksanya masuk ke dalam mobil. Ia hanya bisa menyandarkan kepala pada jendela mobil saat kuda besi itu mulai melaju, getaran kecil yang tercipta karena deru mesin mobil membuatnya terus terjaga, dia tidak boleh ketiduran saat pria di sampingnya adalah Kim Hwan.
“Tidur saja jika kau memang mengantuk, Eunseol-ssi. Aku akan membangunkanmu saat kita sampai di pertigaan.”
Mendengar kalimat itu Eunseol justru semakin terjaga, tubuh lunglainya terpaksa harus ditegakkan agar pria ini tidak melakukan hal yang tidak-tidak. Dia juga harus memastikan mobil ini berjalan ke arah yang benar.
“Kenapa kau ada di sana, Timjang-nim?” dia mulai mencari cara untuk mempertahankan kesadarannya.
“Kau ingat teman lama yang aku temui di pameran temanmu itu? Hari ini kami bertemu untuk reuni di Happicture Site dan saat aku akan pulang, aku menemukanmu begitu lemah di halte.”
“Em...” gumamnya asal.
Dengan seenak hatinya tangan Hwan menyentuh dahi Eunseol hingga sang empu harus menjauhkan diri karena terkejut.
“Kondisimu benar-benar buruk, Eunseol-ssi. Apa kau mau aku antar ke rumah sakit saja?”
“Ani-yo, ani-yo...” dia berdehem lagi, “Di dekat pertigaan apartemenku ada toko obat, berhenti saja di sana, aku akan membeli paracetamol.”
“Kau yakin? Tapi tubuhmu benar-benar panas.”
Eunseol kembali menghindar saat Hwan menyentuh pipinya untuk memeriksa suhu badannya, “Ne.. Turunkan aku di sana saja.”
Kim Hwan mengangguk, “Di mana kau bekerja sambilan, Eunseol-ssi?”
“Bar_”
“Bar?” Hwan terkekeh sinis, “Aku tidak tahu kau mau bekerja di tempat seperti itu.”
“Tidak semua bar buruk, Timjang-nim. Aku kenal pemiliknya_”
“Ah.. Jadi kau kenal pemiliknya.. Pantas saja..”
Mata Eunseol menyipit sinis, “Apa maksudnya itu? Apa kau baru saja memikirkan hal buruk tentangku hanya karena aku bekerja di bar?”
“Kenapa aku harus berpikir buruk terhadap orang yang bahkan tidak pernah pacaran, Eunseol-ssi?” Hwan tertawa, “Aku hanya khawatir kau menjadi korban tindakan tidak baik selama kerja di bar. Atau seperti yang terjadi sekarang, kau jatuh sakit. Bukankah itu akan mengganggu pekerjaanmu di kantor juga?”
Eunseol tahu bukan itu alasannya. Tapi dia tidak bisa mematahkan kalimat itu karena dia malas berdebat dalam kondisi seperti ini. Dia hanya memilih diam dan berharap perjalanan segera selesai. Dan betapa senangnya dia saat toko obat yang dia maksud tampak di ujung mata.
“Timjang-nim, tolong hentikan mobilnya di sana,”
“Kau tetap di mobil saja, aku akan turun untuk membeli obat demam untukmu..” ucap Kim Hwan sebelum keluar dari mobil yang dihentikan di depan toko obat dekat pertigaan apartemen Eunseol.
Wanita itu kembali menghela. Tubuhnya sudah lelah karena terus dipaksa bergerak kendati Minjae sudah melarangnya, mata yang seharusnya bisa terpejam sejenak jika saja ia naik bus justru harus terbuka terus selama berada di samping Hwan, tenggorokkannya sudah sakit tapi ia juga tetap bicara agar selalu terjaga, dan kepala yang luar biasa pusing jadi semakin berat setelah menghadapi Hwan dalam kondisinya yang lemah seperti sekarang. Kepalanya menyandar pada kaca jendela, namun tiba-tiba tersiaga kembali saat mobil hitam mengkilap yang sudah lama tidak ia lihat lewat di samping mobil Hwan.
Awalnya Eunseol tidak yakin apakah mobil itu benar milik Ryushin atau milik orang lain yang kebetulan memiliki merek dan warna yang sama, tapi jendela yang sengaja di buka hingga bayangan si pengemudi terlihat dari kaca spion membuat senyum Eunseol mengembang. Pantulan di spion itu adalah wajah pria gondrong kesayangannya. Maka dengan semangat yang tiba-tiba muncul Eunseol keluar dari mobil Hwan dan tanpa berpamitan pada sosok yang sudah mengantarnya sejauh ini, ia langsung berlari mengejar mobil yang sudah dipastikan akan berbelok ke kanan dan segera berhenti di dekat minimarket.
Eunseol tidak tahu apa yang sudah merasukinya hingga ia sanggup berlari dalam keadaan lemas, kakinya yang bergetar tidak ia hiraukan hanya agar dia bisa segera menemui pria yang sudah begitu dia rindukan. Di tengah napas yang terengah meski hanya berlari sejauh 50 meter saja, Eunseol tetap tersenyum lebar—terlebih saat mobil itu benar-benar berhenti di dekat minimarket; tempat biasa Ryushin menepikan mobil saat menjemput dan mengantarnya. Dan pada detik berikutnya, sosok pria dalam balutan jaket merah dengan rambut gondrong yang diikat itu keluar dari mobil.
“Aku tidak sedang berhalusinasi karena demam ‘kan?” gumam Eunseol sambil lanjut berlari, “Shin-ah..”
Eunseol sudah lelah berlari, tapi pria itu tidak bisa mendengarnya. Sementara itu Ryushin malah ikut berlari ke arah apartemennya. Keringat dingin sudah memenuhi dahinya, napasnya tersenggal dan bibirnya menjadi kering. Ia memutuskan berhenti dan bersandar di mobil Ryushin untuk mengatur napas.
“Shin-ah...” dia berusaha berteriak tapi suaranya terlalu pelan dan serak sementara Ryushin mulai menjauh, Eunseol mencoba lagi dengan menarik napas dalam, “Shin-ah..!!”
Wanita itu tersenyum puas saat sosok itu menoleh. Ia berhasil meski harus tersenggal-senggal dan semakin lemas. Di saat tubuhnya hampir merosot, Ryushin dengan sigap menangkapnya.
“Dari mana saja kau—ya, ada apa denganmu? Kenapa kau panas sekali?” Ryushin berubah panik saat merasakan panas tubuh Eunseol dalam dekapannya, ia membenahi pegangannya pada pinggang Eunseol lalu menempelkan telapak tangannya pada dahi dan pipi Eunseol, “Astaga, Seol-ah.. Demammu tinggi sekali. Apa yang terjadi padamu, em?”
“Kau... Sudah pulang? Aku.. Sedang tidak... berhalusinasi ‘kan?”
“Kau sudah minum obat? Kau dari mana saja? Sudah tahu sakit kenapa masih keluyuran tengah malam?”
Eunseol terkekeh, “Kau benar-benar Ryushin...”
“Tentu saja ini aku, memang siapa lagi?”
Pria itu merogoh kunci mobil dari saku jaket, menekan satu tombol yang menghasilkan bunyi pada mobil, lalu memapah Eunseol ke sisi kanan. Setelahnya ia berputar kembali dan segera masuk ke dalam mobilnya, memasangkan safety belt pada Eunseol dan dirinya sendiri.
“Kita ke rumah sakit saja, kondisimu membuatku sangat khawatir,” kata Ryushin sembari mengemudikan mobilnya.
“Shireo... Pulang saja...”
“Seol-ah, demammu itu mengerikan, siapa yang tahu ternyata lebih parah dari yang terlihat? Siapa yang akan memeriksa keadaanmu jika kita pulang?”
“Aku sedang sakit, dan kau ingin... kita berdebat?”
“Justru karena kau sakit, makanya aku ingin membawamu ke rumah sakit, Seol-ah. Sudah, cukup! Diam saja dan turuti aku.”
Eunseol menoleh pada pria yang sedang fokus menyetir, “Please...”
“Nope!”
“Kau ingin mengingkari janjimu sendiri? Kau bilang akan menuruti apa yang aku inginkan, tapi sekarang kau tidak mau mendengarku. Apa ini, Shin-ah?”
Ryushin ingin membantah, tapi dia hanya tersenggal mendengar sindiran telak wanita di sampingnya, “Tidak, Seol-ah. Bukan begitu.. Aku hanya ingin kau ditangani oleh ahli saja. Apa kau tahu bagaimana khawatirnya aku sekarang? Astaga, Seol-ah.. Aku baru saja mendarat di Seoul dan langsung menuju apartemenku karena aku pikir kau ada di sana, tapi kau tidak ada. Aku menelpon Minjae, dan dia bilang kau sudah pulang. Jadi aku pergi ke rumahmu, tapi apa yang aku temukan, hm? Kau demam tinggi! Dan sekarang kau keras kepala tidak mau ke rumah sakit!”
“Aku tidak mau bicara padamu lagi jika kau terus memaksa,” Eunseol merajuk dengan menoleh ke jendela, “Aku mengantuk, jangan bicara lagi. Lihat saja, jika aku terbangun di ranjang rumah sakit, jangan harap kau bisa mendengar suaraku lagi.”
“Kali ini acara merajukmu tidak akan berhasil,” kukuh Ryushin.
“Terserah.”
“Ayolah, Seol-ah... Haruskah kau keras kepala di saat seperti ini?” pria itu terus berusaha membujuk sambil membagi fokus pada jalanan.
“Kau yang keras kepala. Aku hanya demam karena kelelahan, istirahat sejenak pasti akan pulih, tidak perlu hiperbolis..” sahut Eunseol sebelum menoleh ke jendela, “Jika begini, aku menyesal memanggilmu tadi. Lebih baik aku diam saja supaya bisa tidur di rumahku sendiri. Pertemuan macam apa ini? Bukannya membuat bahagia malah menyebalkan. Percuma saja merindukanmu setiap hari dan berharap kau cepat pulang.”
Jang Ryushin menggigit bibir bawahnya sambil mengernyitkan hidung, begitu gemas mendengar penuturan Eunseol yang terlalu jujur. Padahal sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk kegirangan hanya karena ungkapan kejujuran itu. Lalu ketika jalanan lebih lengang, ia melepaskan satu tangan dari setir mobil demi mengusap kepala wanita keras kepala di sisinya. Tapi Eunseol malah menggelengkan kepalanya agar tangan itu menjauh darinya.
“Kau yakin ingin pulang saja?” Ryushin melembut, tangannya masih tetap bertengger meski Eunseol terus menyingkirkannya, “Setidaknya kau tetap harus diperiksa ‘kan?”
“Molla!”
Pria itu menghela pelan, ia memutar setir ke kanan yang mengarahkan mobil mereka ke apartemennya meski arah rumah sakit adalah jalan di sebelah kiri. Mana mungkin dia mengingkari janjinya sendiri yang akan menuruti keinginan wanita di sampingnya, terlebih mereka baru saja bertemu setelah ia menetap di Jepang selama tiga bulan. Ryushin tidak ingin pertemuan mereka di awali dengan pertengkaran hanya karena masalah sepele.
*
Jang Ryushin mendorong pintu kamar Eunseol di apartemennya dengan sangat pelan; berusaha untuk tidak menimbulkan suara yang mengganggu tidur wanita di balik selimut tebal itu. Ia mendekat dan duduk di tepi ranjang menghadap Eunseol yang masih pulas, terlihat napasnya yang teratur, suhu tubuhnya juga sudah turun setelah semalaman ia menempelkan kain basah di keningnya. Matahari di balik tirai biru yang masih tertutup rapat sudah naik ke permukaan, tetapi Ryushin sengaja tetap membiarkan tirai menghalangi sinar mentari agar tidak mengganggu tidur Eunseol. Beberapa menit Ryushin habiskan hanya untuk memandangi wajah pucat Eunseol yang terlelap, sedikit miris memang, wajah yang sangat dia rindukan selama berada di Jepang sekarang terlihat sangat tirus. Kondisi tubuhnya juga sedikit mengenaskan saat Ryushin merasakan bagaimana menyusutnya pinggang wanita itu dalam pelukannya tadi malam.
“Apa yang kau lakukan selama aku tidak ada, Seol-ah? Kau begitu kurus hanya dalam waktu tiga bulan saja...” gumamnya.
Suara dering ponsel membuat Eunseol menggeliat pelan hingga Ryushin spontan mematikan panggilan yang beresiko membangunkan Eunseol dari tidurnya. Ia bangkit perlahan sambil membawa ponsel wanita itu keluar dari kamar untuk memeriksa siapa yang menghubungi Eunseol sepagi ini, lalu berinisiatif menghubunginya balik sambil turun ke lantai satu.
‘Ya! Kenapa kau menolak panggikanku?!’
Ryushin merasakan telinganya berdengung setelah teriakan suara wanita menampar gendang telinganya, ia berdehem dan menyahut, “Maaf, aku tidak bermaksud begitu_”
‘Mwoya? Bukankah ini ponsel Eunseol? Siapa kau?’
“Ya, benar... Ini memang ponselnya, tapi dia tidak bisa menerima panggilanmu saat ini. Jadi, aku yang menggantikannya,” kata Ryushin, “Apa ada hal penting yang ingin kau sampaikan padanya hingga menelponnya sepagi ini?”
‘Ah... Itu... Hanya masalah kecil. Memang di mana Eunseol sekarang?’
“Dia masih tidur. Dia demam sejak semalam dan baru bisa tenang pagi tadi, karena itu aku menolak panggilanmu sebelumnya karena takut tidurnya akan terganggu,” jelas Ryushin sembari menilik sup iga yang sedang ia panaskan, “Minju-ssi, jika memang kau ingin membicarakan sesuatu dengannya, kau bisa datang ke sini. Tapi, aku sarankan untuk datang di sore atau malam hari saja agar kondisinya sudah memungkinkan untuk mendengarkanmu dengan baik.”
‘Begitu rupanya. Ya, memang kemarin dia terlihat tidak bersemangat. Jika dia masih kurang sehat, baiklah.. Aku akan menunggu sampai malam hari saja. Tolong katakan padanya aku akan datang ke apartemennya nanti malam.’
“Ah, tentang itu.. Dia tidak sedang berada di sana sekarang, dia ada di apartemenku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu nanti.”
‘Eo—eo.. Baiklah, aku mengerti. Terima kasih..’
Kuah sup yang tergolak di dalam panci menyebarkan aroma nikmat yang mampu membangunkan dan menuntun Eunseol hingga ke dapur. Wanita itu terenyuh melihat perhatian Ryushin padanya, meski sempat berdebat antara pergi ke rumah sakit atau tidak, akhirnya pria itu lebih memegang janjinya dan membawa Eunseol kembali ke apartemen. Tidak berhenti di sana, Eunseol juga sempat melihat sosok Ryushin yang terjaga di tengah malam hanya untuk mengganti kain di dahinya, dan pagi ini perhatian pria itu masih berlanjut dengan makanan menggugah selera di atas meja.
Matanya yang sudah panas karena demam semakin kabur karena air mata. Kehidupannya memang lebih berbeda semenjak Ryushin kembali ke Seoul. Mustahil dia hidup tanpa masalah, tapi kehadiran pria itu benar-benar membuatnya ingin hidup lebih lama.
“Eo? Kau sudah bangun? Sejak kapan kau berdiri di sana?” sapa pria itu dengan senyum cerah saat meletakkan mangkuk berisi sup ke atas meja, “Kemarilah, aku memasakkan sup iga unt_”
Entah dirasuki apa, tiba-tiba kaki Eunseol melangkah. Tangannya terbentang untuk memerangkap tubuh Ryushin dan menyembunyikan wajahnya pada pundak pria itu.
Jang Ryushin yang beberapa saat kaku atas pelukan tiba-tiba itu akhirnya melingkarkan tangan di punggung Eunseol, membalas pelukan dengan lebih erat sambil menghujani kepala wanita itu dengan kecupan ringan—tanpa risih ataupun canggung. Mencoba melepas rindu setelah tiga bulan tidak memeluk tubuh mungil tersebut. Dalam pelukannya ia merasakan bahwa tubuh Eunseol masih hangat.
“Em? Mworago?” dahinya berkerut mendengar gumaman Eunseol yang terbekap bahunya, lantas ia mendorong bahu wanita itu dan sedikit membungkuk, “Aku tidak bisa mendengarmu dengan jelas. Apa yang kau katakan tadi?”
“Gomawo...” ulang Eunseol dengan mata berkaca-kaca, “Kau benar-benar melakukan apa yang aku inginkan... Kau membuatku merasa... memiliki sandaran..”
Ryushin tersenyum tulus, ia menyelipkan anak rambut yang acak-acakan di pipi Eunseol ke belakang telinga, “Sudah kubilang itulah alasanku pulang, bukan? Untuk menjadi sandaranmu?”
“Tapi kau justru melakukan lebih dari apa yang kau janjikan padaku, sementara aku tidak pernah_” mata Eunseol melotot ketika pria itu membubuhkan ciumannya di kening.
“Aku sangat ingin menciummu tepat di bibir yang sangat suka bicara omong kosong itu,” Ryushin menghela pelan, “Tapi aku tidak ingin kau menyiramku dengan kuah sup yang baru mendidih ini. Well, setidaknya itu saja sudah cukup membuatmu tutup mulut.”
Eunseol mengerjap beberapa kali.
“Cha... Duduk di sini dan habiskan makanan yang sudah aku siapkan untukmu. Kau tidak suka makanan lembek seperti bubur, jadi aku membuatkan sup iga agar kau bisa menelannya dengan baik. Ada wortel, kentang dan tentu saja aku juga memasukkan potongan daging ke dalamnya, aku menambahkan sosis kesukaanmu, dan...” Ryushin menggeser sepiring telur kecil berwarna kuning kemerahan, “Aku membalurkan bumbu kimchi ke telur ini.”
Eunseol memperhatikan menu yang tersaji adalah jenis bahan makanan yang dia sukai, “Tidak ada nasi?”
“Kupikir tenggorokanmu sedang sakit sampai kau tidak mau makan nasi. Kau mau? Aku bisa mengambilkannya untukmu..”
Tapi wanita itu menggeleng.
“Lalu kenapa kau menanyakannya?” tanya Ryushin sembari duduk di samping Eunseol.
“Kupikir kau juga ikut makan denganku,” gumam Eunseol yang lebih mengarah pada bisikan sebab suara yang hampir tak terdengar.
“Aku sudah sarapan sebelum kau bangun tadi.”
“Setiap kali kau membuatkan sarapan untukku, aku selalu berakhir menikmatinya sendiri.”
“Karena aku memang memasak untukmu, Seol-ah..” pria itu mengusap kepala Eunseol sayang, “Kau tahu, selain ibuku tidak ada orang lain yang pernah mencicipi masakan buatanku. Kau spesial bagiku, karena itu aku suka memasak untukmu.”
“Tetap saja rasanya aku seperti makan sendiri di rumahku. Terkadang perilaku manismu ini juga memberatkanku, sikap ini sering membuatku merasa bahwa aku membebanimu..”
“Seol-ah, kau tahu itu tidak benar_”
“Aku tahu. Tapi memang itu yang aku rasakan, mau bagaimana lagi?” gumam Eunseol lagi, “Sebesar apapun aku mencoba untuk tidak menghiraukannya, tetap saja perasaan itu kembali.”
Melihat wajah Eunseol yang lesu dan tangannya yang hanya mengaduk sup tanpa niat menyuapkan ke dalam mulut membuat Ryushin paham bagaimana kemelut dalam hati wanita itu perihal sikapnya. Eunseol memang tidak bisa terus menerus menerima dengan senang hati kebaikan orang lain terhadapnya meski pun orang itu adalah dirinya yang sudah hadir dalam hidup gadis itu sejak masa sekolah menengah.
Pria itu menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan, memupuk kesabaran dalam hatinya agar dapat mengatasi aksi merajuk dan mood Eunseol yang naik turun. Saat ini wanita itu sedang tidak enak badan, jangan sampai suasana hatinya juga ikut memburuk. Tangannya kembali mengelus kepala Eunseol dan menepuk punggungnya pelan.
“Jika aku ikut makan denganmu juga, apa kau akan berhenti bersedih?” tanyanya lembut.
“Tidak perlu memaksakan dirimu hanya untuk menghiburku. Lagi pula kau juga sudah sarapan tadi.”
“Aku hanya sarapan kopi dan cookies saja, tentu aroma sup ini menggoda cacing di perutku. Ya... Mungkin aku memang tidak bisa makan banyak, tapi setidaknya aku menemanimu sarapan ‘kan?” seenaknya pria itu mengecup pelipis Eunseol, “Aku akan mengambil porsiku_”
“Tunggu,” Eunseol menahan tangan Ryushin, “Makan denganku saja.. Mulutku rasanya pahit sekali sekarang, mustahil aku bisa menghabiskan satu mangkuk ini.”
Berusaha menyusun kembali suasana hati wanita tercintanya, Ryushin hanya menyetujuinya tanpa protes. Dia pergi mengambil sendok dan kembali duduk di samping Eunseol yang menggeser mangkuk supnya agar bisa dijangkau tangan Ryushin.
“Kenapa kau tidak memberitahu aku jika kau akan kembali tadi malam?” Eunseol yang mengunyah sosis bertanya, “Aku bisa pulang lebih awal dan menyambutmu.”
“Em.. Awalnya aku ingin memberikan kejutan padamu, aku pulang ke sini dan menemukan apartemen ini kosong. Saat kutanya Minjae, pria itu bilang kau sudah pulang dari bar. Dan tada... Kau yang justru mengejutkanku dengan kondisi tubuh demam tinggi,” tatapan Ryushin memicing, “Sudah tahu kurang sehat kenapa masih nekad bekerja? Sampai tengah malam pula.”
“Aku baik-baik saja saat pagi hari,”
“Jangan mencoba menipuku, Seol-ah. Minju bilang kau sudah tidak bersemangat saat bekerja, kau pikir bisa membodohiku dengan wajah sok polos ini, hm?”
Sudah terlanjur ketahuan bohong, Eunseol tetap cuek dan lanjut menikmati daging tipis pada tulang iga sambil sesekali menyeruput kuah sup. Dia yang sebelumnya mengatakan mulutnya pahit dan tidak berselera makan justru terlihat lebih lahap setelah mengunyah potongan daging dalam mangkuk dengan telur berbalur bumbu kimchi. Sementara itu Ryushin yang memperhatikannya hanya tersenyum.
“Tapi... bagaimana kau tahu Minju mengatakan itu?”
“Dia menelponmu tadi. Dia bilang ingin mengatakan sesuatu tapi karena kau masih tidur dan kondisimu yang masih harus istirahat cukup, aku menyuruhnya untuk datang saja ke sini..”
“Lalu?”
Ryushin menuangkan air putih pada gelas di depan Eunseol, “Dia bilang akan datang malam ini.”
“Hanya itu?”
“Em,” Ryushin mengangguk sambil melipat kedua tangannya di atas meja, membiarkan Eunseol menghabiskan sup buatannya seorang diri.
“Tumben sekali. Biasanya dia akan banyak bertanya jika bukan aku yang mengangkat panggilan darinya. Apa lagi dia tahu aku tidak tidur di apartemenku sendiri.”
“Mungkin karena aku yang bicara dengannya sampai panggilan terputus, dia tidak berani bertanya hal-hal lain. Dan mungkin saja, nanti malam dia akan menyerbumu dengan pertanyaan-pertanyaan itu,” ujar Ryushin sambil beranjak untuk mencuci mangkuk bekas Eunseol, “Tunggu di ruang tengah saja, biar aku yang membersihkannya.”
Tiba-tiba Eunseol memanyunkan bibirnya dan bergelayut manja di punggung Ryushin, “Aku ingin makan buah...”
“Buah?” Ryushin mengernyit dahi demi mengingat jenis buah yang masih menghuni kulkas, “Kurasa hanya ada jeruk di dalam kulkas dan pisang itu saja. Kau mau?”
“Kupaskan untukku, em?”
“Kau punya tangan, kenapa minta aku mengupasnya untukmu?”
Eunseol menghentakkan sebelah kakinya lalu menempelkan dahinya di lengan kekar Ryushin yang tidak tertutup kaos, “Lihat, aku masih demam. Aku seorang pasien sekarang..”
Bola mata Ryushin berputar jengah, “Ya, baiklah.. Nona Pasien. Sekarang duduk manis di sofa dan tunggu buahmu datang, okay?”
“Ne!” wanita itu memberi hormat pada Ryushin sebelum pergi ke ruang tengah dan bersantai di sofa.
“Apa kepalamu masih pusing?” tanya Ryushin dari dapur sembari mengeluarkan beberapa buah jeruk dan mencucinya.
“Tidak... Tapi aku masih malas bergerak saja. Wae?”
Pria itu membawa jeruk ke ruang tengah dan bergabung dengan Eunseol, “Kurasa kulkasku sudah harus diisi lagi, Seol-ah. Beberapa bahan makanan sudah habis, buah juga tinggal jeruk ini—tidak ada apel, anggur, stroberi dan semangka. Entah siapa yang menghabiskan semua buah itu...”
“Aku yang menghabiskannya, kenapa?” lirikan sinis Eunseol tertuju pada Ryushin yang justru terkekeh, “Kau sendiri yang menyuruhku untuk menghabiskannya, kenapa sekarang malah menyalahkanku?”
“Siapa yang menyalahkanmu? Aku hanya bertanya...” kekeh Ryushin sambil mengupas jeruk, “Lalu, kenapa kau justru pulang ke apartemnmu? Bukankah aku menyuruhmu pulang ke sini setiap akhir pekan?”
Eunseol terdiam, giginya menekan bibir bawahnya pelan saat lirikan Ryushin menusuknya.
“Ingin menyembunyikannya lagi? Sama seperti masalah tabletmu waktu itu?” Ryushin menghela pelan sembari mengulurkan jeruk yang sudah di kupas, “Aku mulai menyesal kembali begitu cepat ke Korea, kupikir aku sudah terlalu lama meninggalkanmu dan mungkin saja kau membutuhkan bantuanku. Ternyata?”
“Tidak, Shin-ah..” wanita itu menunduk memainkan jeruk, “Aku pulang untuk melihat masalah apa lagi yang Eunbyeol lakukan di apartemenku. Aku hanya ingin memastikan apakah dugaanku benar atau salah.”
Ryushin memperhatikan mimik wajah Eunseol sambil terus mengupas kulit jeruk, lalu menyuapkan sebagian ke dalam mulutnya dan sebagian kecil lain ke mulut Eunseol.
“Aku rasa karena pikiran itu juga aku jatuh sakit,” aku Eunseol.
“Memang ada masalah apa lagi?”
Eunseol menarik napas dalam dan menelan ludahnya, memupuk keberanian untuk bertanya pada pria paling dia percaya di sisinya saat ini, “Shin-ah...”
“Em?”
“Saat aku mengatakan dia membuat onar di apartemenku waktu itu dan meninggalkan tisu berserakan di kamarku, kau memintaku memeriksa tong sampah ‘kan?”
Di sisinya Ryushin menegang.
“Apa kau juga sudah menduga ini?” tanya Eunseol masih tak berani menatap lawan bicaranya, “Apa saat itu kau sudah berpikir jika Eunbyeol... melakukan sesuatu di apartemenku?”
Entah apa yang harus Ryushin katakan untuk menjelaskan situasinya, sampai ia bingung sendiri dan meletakkan keranjang buah di pangkuannya ke meja.
“Apa itu mungkin benar?” cicit Eunseol makin kehilangan kontrol suaranya, tiba-tiba saja ada dorongan dalam hatinya hingga suaranya tercekat dan matanya mulai panas, “Apa Eunbyeol memang melakukan itu dengan seseorang? Jika benar, aku harus bagaimana, Shin-ah? Aku tidak bisa menjaganya dengan baik di sini..”
Jang Ryushin mengambil alih jeruk di tangan sahabatnya dan meletakkan asal ke dalam keranjang, lalu menarik tubuh hangat wanita itu dalam dekapannya. Secara otomatis tangannya mengusap dan menepuk halus punggung Eunseol untuk menenangkan.
Dan hal kecil itu langsung membuat tangis Eunseol pecah, “Aku hampir selalu menemukan tisu berserakan di dekat tong sampah setiap dia berkunjung tanpa sepengetahuanku. Jadi aku mengikuti saranmu untuk memeriksa tong sampah...”
Untuk sesaat Ryushin menyesali pertanyaannya malam itu, jika dia tidak mengatakannya, Eunseol tidak akan nekad memeriksa tempat sampah itu. Tapi ia juga tidak menyangka jika dugaannya memang benar.
“Aku... Aku menemukan... sutra bekas pakai dan_”
“Ssstt...” Ryushin mengeratkan pelukannya, lebih baik menghentikannya dari pada ia semakin malu mendengar penjelasan wanita mungil kesayangannya, “Sudah, sudah... Tidak perlu kau katakan, aku sudah bisa membayangkan bagaimana isi apartemenmu. Tidak apa-apa, Seol-ah..”
“Apa tidak masalah jika dia melakukan itu?” tanya Eunseol polos sambil sesekali cegukan, “Dia tidak akan hamil ‘kan?”
“Pertama, aku tidak bisa mengatakan apakah itu akan berdampak terhadap Eunbyeol atau tidak, karena hal ini tergantung pada mereka yang melakukannya, Seol-ah. Seperti yang kau lihat di tempat sampahmu, mereka memakai pelindung, artinya mereka paham atas konsekuensi dari tindakan mereka,” jemari Ryushin mengusap pipi wanita tercintanya dari air mata sebelum beralih pada jemari, “Kedua, hamil atau tidaknya aku juga tidak bisa memastikannya. Meskipun aku pernah mempelajari dunia ini saat kuliah, tetap saja aku tidak berpengalaman secara langsung. Tapi aku harap bukan hanya pelindung kecil itu saja yang mereka jadikan patokan agar hubungan itu tidak beresiko, dan semoga Eunbyeol benar-benar paham tentang hal semacam itu hingga dia pun bisa melindungi dirinya sendiri.”
Eunseol terus memperhatikan Ryushin yang wajahnya samar-samar merona karena mereka membahas sesuatu yang bahkan mereka sendiri pun tidak pernah melakukannya pada siapa pun.
“Dan yang terakhir, Seol-ah...” pria itu berdehem tak nyaman dan mulai salah tingkah, “Adikmu sudah dewasa. Walau aku tidak bisa mengatakan hal itu wajar untuknya, tapi kita sendiri juga tahu jika hubungan semacam itu sudah awam di negeri kita ini ‘kan? Selagi dia tahu apa konsekuensinya dan tahu bagaimana menanggulanginya, juga siap menerima setiap akibatnya di masa yang akan datang, kenapa kau harus pusing memikirkannya?”
Wanita itu menarik ingusnya dalam, “Aku hanya takut hubungan semacam ini bisa menghambat karirnya. Dan jika skenario terburuk terjadi, bagaimana aku menjelaskannya pada orang tuaku? Mereka pasti akan kecewa..”
“Bukan kau yang harus menjelaskannya, tapi orang yang bersangkutanlah yang wajib memberi penjelasan. Sekali lagi aku katakan, dia sudah dewasa, Seol-ah. Dan dia sendiri yang memutuskan untuk hidup mandiri tanpa campur tanganmu, jadi jika suatu saat terjadi masalah dengan hubungan yang dia jalin, itu tidak ada hubungannya denganmu.”
“Tetap saja aku kakaknya...”
Ryushin tetap berusaha sabar dengan menghela napasnya, “Kalau begitu, bagaimana jika kau jelaskan baik-baik padanya? Jika dia tidak mau mendengarkan penjelasanmu, setidaknya sarankan agar dia juga melakukan kontrasepsi dan tetap berhati-hati dalam berhubungan. Well, meskipun aku tahu dia tidak akan peduli dengan yang kau ucapkan, yang terpenting kau sudah berusaha memperingatinya.”
“Dia memang tidak akan mendengarkanku, memangnya kapan dia mau mendengarku..” keluh Eunseol dengan bibir manyun, lalu tangannya meraih jeruk yang sudah dikupas dan langsung melahapnya.
Ryushin tersenyum gemas sambil mengacak pelan rambut Eunseol, “Dan satu lagi.. Aku sarankan untuk meminta kunci cadangan yang dia pegang. Karena selama dia memegang kunci itu, dia akan terus melakukannya di apartemenmu—dan aku tidak mau kau terus-terusan membereskan sisa-sisa menjijikkan dari hubungan itu, em?”
Kepala Im Eunseol mengangguk patuh.. . . . .
Note :
Chapter ini di tulisnya pas lagi gabut, mood juga pas lagi naik turun, jadi dunia haluku goyah 😅😅
Aku sendiri baca nya juga rada ngantuk, gak jelas juga arahnya kemana kan... Tapi, yaudah lah ya.. Seenggaknya bisa selesai satu part
KAMU SEDANG MEMBACA
Run to You
RomanceKetika kau takut dan sedih, ketika kau merasa ingin mencurahkan isi hatimu, panggil saja aku.. Di manapun itu, tidak peduli sejauh apapun itu, aku akan datang... Aku akan berlari padamu... Run to You, 23 Oktober 2020 Elbocel 😄