Chapter 12
. . . . .
⚠ warning ⚠️
terdapat kata² kasar dan unsur dewasa!
. . . . .
Im Eunseol memperhatikan langkahnya meniti tangga gedung apartemen sambil memegangi ponsel yang menempel di telinganya, “Aku akan sedikit sibuk minggu ini, minta saja Eunbyeol menjemput.”
“Dia juga sibuk. Pekerjaannya lebih penting dari pada pekerjaanmu, tidak mungkin ditinggalkan begitu saja. Kau saja yang izin cuti setengah hari..”
Hinaan mengenai pekerjaannya sudah tidak lagi membuat Eunseol sakit hati, agaknya organ yang satu itu sudah kebal akan perkataan kasar ibunya.
“Appa dan Eomma juga tidak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Kami hanya berkunjung selama tiga hari untuk melihat keadaan Eunbyeol, apa susahnya hanya menjemput di stasiun, ha?”
Eunseol diam-diam menghela, “Memangnya kapan kalian akan datang? Jangan menghubungiku dengan tiba-tiba saat kalian sudah sampai di stasiun kereta bawah tanah, karena belum tentu aku bisa menjemput saat itu juga. Jika merencanakannya saat ini, aku bisa menyisihkan waktu sebentar..”
Eunseol membulatkan matanya hingga senyum mengembang lebar. Di depan minimarket area tempat tinggalnya sudah berdiri pria gondrong yang melambai semangat. Membuat Eunseol semakin mempercepat langkah kakinya.
“Aku akan membicarakannya dulu dengan Appa, aku akan mengabarimu lagi nanti.”
“Em, arasseo..” sesaat setelah panggilan terputus, Eunseol langsung berlari mendekat, “Sejak kapan kau ada di sini? Sedang apa?”
“Apa lagi? Tentu saja menjemputmu. Aku baru saja akan berjalan ke apartemenmu..” pria itu membelai puncak kepala Eunseol sayang, “Kajja. Aku akan mengantarmu..”
“Kau yakin?” tanya wanita itu namun tetap masuk ke dalam mobil dan menunggu Ryushin duduk di balik kemudi, “Penerbitanku dan galerimu berlawanan arah, Shin-ah..”
“Aku tidak akan pergi ke galeri hari ini. Seorang temanku meminta bantuanku untuk menjadi fotografer pengganti selama dua hari. Kebetulan, aku akan bekerja di sekitar Guro, jadi selama dua hari ini aku akan berangkat kerja bersamamu. Bagaimana menurutmu? Bukankah itu terdengar menyenangkan?”
“Tentu saja.. Setidaknya aku menghemat kartu transportasiku selama dua hari,” sahut Eunseol.
Ryushin mendengus geli, “Eo... Itu bagus. Ah, tapi.. Siapa yang meneleponmu tadi? Bos diktatormu itu?”
Eunseol menggeleng kecil, “Ani-ya.. Eomma...”
“Eommoni? Wae? Terjadi sesuatu dengan Eunbyeol lagi? Kau sudah melakukan tugas dari ibumu untuk mengisi kulkasnya ‘kan? Sekarang apa lagi?”
“Ya, apa kau sadar jika sekarang kau lebih cerewet dari ibuku?”
“Ani... Aku hanya...” Ryushin menghela, “Aku hanya khawatir dan juga kesal, Seol-ah. Kenapa gadis itu terus saja merepotkanmu meskipun dia sudah memutuskan untuk hidup sendiri, eo?”
“Dia masih dalam tahap belajar hidup seorang diri, Shin-ah..”
Pria itu mencibir pelan, “Kenapa ibumu menelepon?”
“Mereka akan datang berkunjung dan memintaku untuk menjemput di stasiun.”
“Kapan?”
Bahu Eunseol bergedik singkat, “Mereka masih merencanakan waktunya.. O! Ya.. Aku baru ingat, kau tidak membawakan oleh-oleh dari Jepang untukku.”
“Siapa bilang? Aku bukan orang yang mudah melupakan seseorang yang setia menungguku di rumah, Seol-ah..”
Meski bukan kalimat pujian, pipi Eunseol rasanya tetap menghangat—terlebih saat senyum tipis Ryushin muncul menghiasi bibir pria itu, “Lalu di mana benda itu?”
“Ada di apartemenku. Aku memang lupa memberikannya padamu kemarin. Kau mau mengambilnya sepulang kerja nanti?”
Im Eunseol mengangguk.
“Kalau begitu, aku akan menjemputmu di depan penerbitan, okay?”
Bukan dengan suara, Eunseol menjawabnya dengan OK sign menggunakan jarinya, “Tapi, oleh-oleh apa yang kau bawa untukku?”
“Eiy... Itu rahasia. Aku tidak ingin kau senang sekarang, aku ingin melihat reaksimu saat menerima oleh-oleh dariku nanti,” alis Ryushin terangkat dua kali dengan cepat, pria itu menepikan mobilnya pada trotoar di depan gedung penerbitan Eunseol, “Kita sampai....”
Bukannya langsung turun, wanita yang baru saja melepas safety belt dari tubuhnya justru mendesah dan berubah lesu. Bibirnya manyun seolah enggan turun dari kuda besi milik sang sahabat.
“Wae?”
“Aku malas masuk kerja. Kim Hwan sudah menyiapkan banyak transkrip di atas mejaku untuk kupilah. Belum lagi jadwal rapat yang hampir setiap jam. Pengeditan tiada henti untuk proyek yang sedang kami kerjakan, auhh... Memikirkannya saja sudah membuatku malas turun dari sini..”
Jang Ryushin meraih tangan Eunseol untuk digenggam, bibirnya tersenyum hangat saat tangan yang lain mengusap kepala gadis di sampingnya, “Jika kau mulai lelah dengan pekerjaanmu dan ingin bolos, kau bisa menelponku kapan saja. Bahkan kalau kau mau, aku bisa menjemputmu dan membawamu pergi liburan saat itu juga.”
“Aku mau... Tapi aku tidak bisa. Aku belum membeli tablet baru..”
Ryushin menggoyangkan kepala Eunseol pelan, “Kalau begitu pergilah... Atasanmu pasti akan semakin mengomel jika kau kedapatan terlambat. Jadikan oleh-olehku sebagai penyemangatmu hari ini.”
“Memang seberapa besar benda itu sampai harus dijadikan acuan?” Eunseol sedikit antusias.
“Tidak besar... Hanya seukuran kertas folio. Tapi.. Cukup sulit mendapatkan isinya. Nanti, saat kau melihatnya, aku yakin kau akan melompat kegirangan... ‘Wah... Apa ini sungguhan? Bagaimana bisa?’ Kau juga akan mengatakan itu dalam reaksimu, percayalah..”
Im Eunseol tertawa melihat ekspresi buatan pria itu yang ingin menyamakan reaksinya kelak, “Aku jadi semakin penasaran..”
“Itu bagus. Jadikan rasa penasaranmu menjadi semangat untuk menjalani hari sampai aku menjemputmu lagi, em?”
Tapi wanita itu langsung kehilangan senyumnya, kepalanya menunduk lesu memandangi tautan tangan mereka. Ia tahu, lilitan jemari mereka menyalurkan energi positif ke dalam tubuhnya, hanya saja ia sudah terlanjur kesal karena ungkapan sang ibu pagi tadi yang langsung merusak paginya. Lalu ia mendapati Ryushin menjemputnya saat suasana hati sedang tidak baik, menyemangatinya, menggenggam dan mengusap kepalanya lembut, bagaimana mungkin dia mau melepaskan itu semua hanya untuk bertemu dengan Kim Hwan?
“Seol-ah?”
“Arasseo...” gumam wanita itu ingin menarik tangannya dari Ryushin, namun pria itu tak melepasnya, “Wae? Kau bilang aku harus pergi sekarang.”
“Bagaimana aku bisa membiarkanmu pergi dengan wajah cemberut seperti ini, em? Kau datang ke tempat kerja dengan membawa wajah suram, bosmu akan semakin gencar mengerjaimu jika seperti ini. Lalu aku, aku tidak akan bisa menjalani hariku dengan nyaman jika membiarkan kau pergi membawa energi negatif. Ayo tersenyum..” Ryushin mengembangkan senyum yang lebar agar dapat tertular pada Eunseol, tapi wanita itu justru hanya tersenyum tipis tanpa warna, “Eiy...”
Tangan Ryushin melepaskan genggamannya, lalu memindahkan dua tangan besar itu ke sisi wajah Eunseol, menariknya mendekat untuk mengecupi seisi wajah menggemaskan itu mulai dari dahi, mata, dua pipi, hidung dan berakhir pada dagunya. Tentu saja dia melewatkan satu spot paling dilindungi—yang sialnya sangat ingin dia sentuh—demi menjaga hubungan mereka tetap aman. Pria itu tak bisa menahan senyumnya melihat rona merah menghiasi pipi Eunseol yang mulai berisi berkat kerja kerasnya memasukkan paksa makanan ke dalam tubuh ringkih tersebut.
“Lihat ini... Wajahmu yang seperti ini lebih enak dipandang ketimbang wajahmu beberapa detik lalu, Seol-ah..” ucap Ryushin lembut dengan tambahan usapan ibu jarinya, “Aku rasa aku sudah menemukan cara untuk menghilangkan wajah cemberutmu dengan cepat...”
Mata Eunseol memicing tajam namun pipinya semakin memerah hingga terlihat semakin menggemaskan. Ia melepas paksa tangan yang menangkup wajahnya, membiarkan salah satunya tetap berada di sisi wajahnya dan yang lain ia genggam.
“Kau...” ucapnya, “Kau yakin tidak pernah menjalin asmara dengan seseorang selama berpetualang? Kenapa aku merasa kau sangat handal membuat hati wanita berdebar, eo? Kenapa kau terlihat sangat terlatih membuat wanita terpaku dan menjadi candu atas perlakuan manismu? Dari mana kau mempelajarinya kalau bukan dari pengalaman, em?”
“Jika kau lupa, atasanmu di bar adalah temanku, Seol-ah. Kau tidak lupa seperti apa caranya merayu pelanggan wanita yang datang ke barnya ‘kan?”
Eunseol terkekeh dan mengangguk setuju, “Benar juga. Bahkan Minju juga pernah menjadi korban rayuannya..”
Ryushin kembali mengusap lembut pipi sahabat yang ia tahu ia cintai, “Sekarang sudah lebih baik?”
“Em.. Gomawo...”
“Kenapa berterima kasih? Aku senang melakukannya..” sekali lagi ia membubuhkan kecupan di dahi wanitanya, “Pergilah...”
Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Eunseol menurut, “Aku akan menelpon jika jam kerjaku sudah selesai..”
Im Eunseol membanting pintu mobil dan membiarkan kuda besi itu melaju melintasi jalanan Guro. Sekarang suasana hatinya sudah lebih baik berkat gestur manis Ryushin yang selalu berhasil membuatnya berbunga-bunga, membuatnya lebih bersemangat untuk menjalani hari yang penuh dengan tugas melelahkan. Sepasang kakinya melangkah menyeberangi jalan agar dapat menggapai kantornya, memasang senyum menyapa orang-orang yang berselisih jalan dengannya, dan menyapa riang teman sekantor ketika ia tiba.
Melihat betara riang dia pagi ini, dua rekan kerja terdekatnya sontak berkumpul.
“Mwoya? Kau terlihat bersemangat hari ini..” ujar Jinho memberikan kopi, “Apa ada kabar bahagia?”
“Geunyang....” bahu Eunseol terangkat acuh.
“Im Eunseol, ikut ke ruanganku.”
Ketiga orang yang masih berkumpul di meja Eunseol saling menatap. Sedikit terkejut atas kehadiran Hwan yang tiba-tiba dan langsung meminta salah satu dari mereka untuk datang ke ruangan pria itu.
“Ya, apa kau berbuat kesalahan? Kenapa tiba-tiba dia memanggilmu ke ruangannya?” bisik Jinho, “Dia bahkan baru datang..”
“Bagaimana aku tahu? Aku juga baru datang...” balas Eunseol sambil bersiap meninggalkan mejanya, “Aku masuk dulu..”
“Berdoalah sebelum kau membuka pintu ruangannya,” pesan Minju.
Seperti saran Minju, wanita itu mengucap mantra penenang sebelum mendorong pintu ruangan sang atasan. Eunseol masuk ke ruangan Hwan dengan mempersiapkan mental sejenak, melangkah dengan ekspresi wajah yang tenang agar tidak membuat suasana hati sang atasan semakin buruk. Sebab dia tahu, Kim Hwan tidak sedang dalam mood yang baik, aura yang pria itu bawa sejak masuk ke kantor mereka sudah membuat bulunya berdiri.
“Ne, Timjang-nim_”
“Bagaimana dengan transkripnya? Kau sudah mendapatkan cerita yang menarik?” tanya Hwan sambil membuka jas dan menggantungnya asal pada gantungan di sudut ruangan, “Naskah Min Jakka sudah hampir selesai, seharusnya kau sudah memberiku satu naskah baru untuk dijadikan proyek selanjutnya.”
“Untuk saat ini, sudah ada tiga transkrip di mejaku untuk kubaca. Aku belum mendapatkan naskah yang menarik untuk diberikan padamu,” jawab Eunseol sopan apa adanya, “Aku akan menyelesaikan tiga naskah itu dan mencari yang terbaik dari salah satunya.”
“Kau harus menyelesaikannya sampai jam makan siang, lalu ikut denganku untuk mengurus perizinan di kantor pusat.”
“Ne..”
“Kau bisa pergi sekarang..”
Im Eunseol membungkuk kecil sebelum keluar dari sarang serigala, lalu dia menghela pelan.
*
Sama seperti biasanya, Eunseol selalu berharap perjalanan yang dia lakukan dengan terpaksa bersama Kim Hwan untuk cepat selesai. Berada di samping Hwan yang berwajah suram semakin membuatnya gemetar, seolah dia sedang berada di sisi malaikat maut yang bisa mencabut nyawanya kapan saja. Bagaimana pun juga, Eunseol harus berada di samping Hwan selama jam kerja, dia masih membutuhkan pekerjaan tetap ini untuk membiayai hidupnya di kota besar. Bahkan saat pria itu mengatakan—sedikit memaksa lebih tepatnya—ingin mampir ke taman mencari udara segar, Eunseol hanya bisa mengikutinya tanpa protes. Setidaknya ini merupakan tempat umum yang terbuka, jadi Eunseol bisa lebih tenang.
Tapi, di sisi lain Eunseol juga merasa aneh. Perjalanan mereka ke kantor pusat terbilang memakan waktu lama, hebatnya tangan nakal Hwan tidak beraksi seperti biasanya. Memang itu adalah sebuah keberuntungan bagi Eunseol, namun ia tetap belum merasa aman berada di sisi Kim Hwan. Kewaspadaan yang entah sejak kapan muncul atas tindak-tanduk pria itu.
“Bagaimana keadaanmu, Eunseol-ssi? Akhir pekan kemarin kukira kau demam,” ujar Hwan, “Setidaknya itulah yang kuingat sebelum kau melarikan diri..”
Eunseol memaksakan senyumnya mendapati sindiran tersebut, “Ne, aku sudah merasa lebih baik. Lagi pula itu hanya demam biasa, tidur beberapa jam saja sudah membaik.”
“Baguslah. Setidaknya kekasihmu menjagamu dengan baik,” sahut Hwan sinis.
Eunseol memilih diam menikmati sodanya.
“Ah... Sepertinya hubungan kalian semakin membaik saja.”
“Ne?”
“Aku melihatnya pagi ini,” Hwan menoleh pada Eunseol di sisinya dengan tatapan mengintimidasi, “Di depan gedung kita, beserta yang terjadi di dalam mobil itu..”
Mungkin jika yang mengatakan itu adalah orang lain, Eunseol hanya akan tersenyum malu. Tapi karena ucapan itu keluar dari mulut seorang Kim Hwan, Eunseol agaknya mulai memasang ancang-ancang untuk melawan.
“Apa kau sudah belajar hal lain juga? Selain ciuman kecil seperti tadi?”
Pertama-tama wanita itu berdehem tidak nyaman karena pria di sampingnya mengungkit masalah pribadinya, lalu ia menjawab, “Maaf, Timjang-nim.. Tapi aku rasa aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab itu. Karena itu adalah masalah pribadi yang tidak perlu aku katakan_”
“Apa kau pikir aku menanyakan itu karena aku penasaran dengan kehidupan pribadimu?” pria itu mendengus sinis, “Aku hanya ingin memastikan kau memiliki pengalaman yang cukup untuk bisa mempertahankan posisimu di divisiku.”
Kepala Eunseol mengangguk kecil, “Untuk itu kau tidak perlu khawatir, Timjang-nim. Bahkan tanpa pengalaman pun aku bisa memilih naskah yang menarik untuk divisi kita. Lagi pula aku juga sudah melakukannya selama dua tahun terakhir dan mendapat hasil yang memuaskan.”
“Apa kau baru saja menyombongkan diri, Eunseol-ssi?”
“Ani-yo...” meski sedikit gemetar, Eunseol mencoba melawan, “Aku hanya mengatakan apa yang terjadi, Timjang-nim. Entah kau mengakui kerja kerasku selama ini atau tidak, aku tetap tahu jika aku sudah menyumbangkan prestasi dalam tim kita.”
Sekali lagi Kim Hwan mendengus sinis, “Apa kau sadar kau baru saja memberikan perlawanan terhadapku, Eunseol-ssi?”
“Ne, ara-yo..” jawab Eunseol seakan tak gentar oleh tatapan tajam atasannya, “Aku rasa aku harus melindungi diriku sendiri, Timjang-nim, agar kehidupan pribadiku tidak terus-terusan muncul dalam rapat dan juga dalam keadaan seperti sekarang. Sebagai seorang yang lebih berpengalaman dalam dunia kerja, kupikir kau lebih paham masalah ini lebih dari siapapun, Timjang-nim.”
Kim Hwan meremas kaleng minumannya hingga penyok, “Kau tahu kalau sikapmu barusan bisa saja kujadikan alasan untuk mengeluarkanmu dari kantorku?”
“Artinya kau menunjukkan bahwa dirimu tidak kompeten. Kau memecat seorang karyawan hanya karena orang tersebut melindungi privasinya? Jika kau memang ingin mengusirku, lakukan saja, Timjang-nim. Lalu kita lihat, karir siapa yang akan tersendat setelahnya.”
Kim Hwan mendengus sinis melihat keberanian Eunseol melawannya, sorot matanya mulai dipenuhi amarah. Selama mengenal wanita itu, Hwan tidak pernah melihat sisi ini muncul, wanita itu selalu menurut padanya tanpa berani protes. Tapi kali ini Eunseol bahkan berani mencoreng wajahnya dengan verbal yang lebih tajam.
“Kau semakin berani saja, Eunseol-ssi. Sepertinya pekerjaan paruh waktumu di bar berhasil mengubah sifatmu, atau.. ini karena pengaruh dari kekasihmu itu, ha?”
“Kau salah. Bukan sifatku yang berubah karena pengaruh siapa pun, tapi kau yang belum mengenalku dengan baik, Kim Hwan Timjang-nim. Inilah Im Eunseol yang sebenarnya. Dan meskipun yang kau katakan tadi benar, maka aku sangat bersyukur. Karena aku tidak bisa terus menerus berada di bawah tindasanmu yang tak terarah, Timjang-nim.”
“Apa katamu?”
“Timjang-nim, aku tidak pernah merasa telah membuat kesalahan padamu—terlebih dalam kehidupan pribadi, tidak.. Aku bahkan tidak pernah sedikit pun mengusik masalah pribadi, Timjang-nim. Lalu, kenapa kau gemar sekali mengusik kehidupanku dan mencampuradukkan hal itu dengan pekerjaan? Kenapa kau terus menerus menganggap kinerjaku tidak akan lebih baik sebelum aku melakukan hal berbau seksual?” Eunseol semakin berapi-api, “Apa kau tahu, Timjang-nim.. Jika saja aku mau, aku bisa melaporkanmu atas tindakan pelecehan seksual—secara verbal maupun fisik. Tapi, aku masih menghormatimu sebagai atasanku, karena itu aku mencoba melupakan semua yang pernah kau lakukan terhadapku.”
“Kau mengancamku?”
“Bukan mengancam, tapi memperingatkan..” Eunseol mengoreksi. Ia membenarkan tali tas di bahunya sambil berdiri, “Aku rasa tidak ada lagi yang harus aku kerjakan di sini, jadi aku akan pergi dulu.”
“Im Eunseol..”
Langkah wanita itu mau tak mau berhenti, namun ia tidak menoleh.
“Kau harus ingat hari ini, Eunseol-ssi. Kaulah yang mengibarkan bendera perang lebih dulu padaku, jadi jangan salahkan aku jika tiba-tiba aku menyerangmu. Entah sadar atau tidak, kau baru saja mencubit egoku dan aku tidak akan membiarkanmu lolos begitu saja.”
Eunseol tahu jika pria itu sedang menatapnya tajam saat ini.
“Berhati-hatilah..”
Tangan Eunseol semakin mengerat pada tali tasnya, kakinya melangkah menjauh, dia tidak lagi sanggup berdiri terlalu lama di sana. Semakin hari Hwan semakin tidak terkendali, pria itu semakin gigih memasuki kehidupan pribadinya dan mencampurkannya dengan pekerjaan. Sementara Eunseol selalu berusaha untuk tidak membuka kehidupan pribadinya di lingkungan kerja.
Baru saja keduanya saling mengucapkan peringatan masing-masing, siapa sangka dalam waktu beberapa menit saja Kim Hwan sudah melancarkan serangannya. Sejak pria itu kembali ke kantor, Eunseol tak henti-hentinya melakukan perintah tak masuk akal darinya. Bahkan sesuatu yang bukan pekerjaan Eunseol pun harus wanita itu lakukan, dan satu hal yang membuat Eunseol menggerutu kesal adalah jadwal lembur yang tiba-tiba. Pria itu meminta Eunseol menghancurkan berkas-berkas tak terpakai di gudang kecil mereka.
Tak sampai di sana saja, kemalangan Eunseol yang sudah dimulai sejak pagi ketika ibunya menelpon, kini kembali bertambah karena paruh baya itu kembali menghubunginya.
“Kenapa tidak akhir pekan saja, setidaknya hari itu aku libur 24 jam dan tidak perlu mengajukan cuti..” ucap Eunseol melalui earphone, sementara tangannya sibuk memasukkan kertas ke dalam mesin penghancur, “Datang hari Jumat saja..”
“Tidak bisa, kami harus kembali hari Minggu dan kau juga harus ikut pulang..”
“Wae?”
“Tuan Yoo akan menikahkan putrinya hari itu, dan dia mengundangmu.. Dia teman sekolahmu ‘kan?”
“Ah.. Yoo Wonhui? Dia akan menikah?”
“Eo.. Jadi kau harus datang.”
Eunseol menghela, ia memindahkan sampah kertas ke dalam karung, “Aku akan melihat jadwalnya dulu, karena tidak mungkin aku melakukan perjalanan pulang-pergi sehari. Aku punya banyak pekerjaan untuk diselesaikan bulan ini, jadi sulit mengajukan cuti saat mendekati deadline.”
Nyonya Im terdengar mendengus di sana, “Pekerjaanmu bahkan tidak sepenting itu.”
“Memang tidak sepenting pekerjaan sebagai pengacara, tapi setidaknya pekerjaan ini bisa membiayai putri kesayangan Eomma sampai mencapai sarjana..”
“Apa katamu?”
“Sudahlah, aku sedang lembur.. Masih banyak yang harus aku kerjakan agar aku bisa segera pulang. Aku tutup dulu teleponnya..” wanita itu menghela pelan melihat seberapa banyak kertas yang harus dia hancurkan, “Jika aku tidak membereskannya malam ini, entah pekerjaan tidak masuk akal apa lagi yang akan pria itu berikan padaku..”
Im Eunseol meletakkan ponselnya pada tempat yang aman dan membiarkan earphone tetap menutupi satu telinganya, ia memilih melepaskan coat yang menutupi dress tanpa lengannya, rambut yang sejak pagi ia biarkan tergerai kini ia gulung dengan bantuan ikat rambut agar mengurangi gerah karena terkurung dalam ruangan sempit dengan banyak sampah kertas menumpuk. Setelah meregangkan ototnya hingga beberapa persendian berbunyi, Eunseol kembali membersihkan potongan-potongan kertas ke dalam karung untuk memberi sedikit ruang gerak baginya. Ia mengikat beberapa karung yang sudah terisi padat dan menyingkirkannya ke sudut ruangan, lalu beralih pada kertas-kertas yang perlu ia hancurkan lagi.
Kerja lemburnya memang tidak masuk akal, tapi ia tidak punya pilihan lain selain melakukannya. Hal ini semata-mata hanya untuk membuktikan pada pria kurang ajar itu bahwa tanpa pengalaman seksual pun dia bisa bekerja dengan baik—meskipun hal ini sangat berlawanan dengan pekerjaannya seperti biasa. Beberapa menit awal dia menggerutu kesal, lalu setelahnya bersungut karena panggilan Nyonya Im, dan sekarang dia memilih untuk diam dan fokus dengan apa yang harus dia selesaikan malam ini juga.
Wanita itu menggeram kesal karena ponselnya kembali berbunyi hingga ia harus menunda kegiatan, lagi..
“Yeoboseyo!” sahutnya.
“Astaga, Im Eunseol.. Suaramu hampir membuat telingaku tuli..”
Mata Eunseol mengerjap, “Jang Ryushin?”
“Eo.. Ini aku. Kenapa kau harus berteriak, eo? Apa aku melakukan kesalahan yang tidak aku ketahui sampai kau begitu marah saat menerima teleponku?”
“Ani...” tiba-tiba wanita itu melembut dengan bibir manyun, “Aku hanya kesal saja—tapi bukan padamu..”
“Lalu?”
“Kim Hwan,” gumamnya, “Tiba-tiba saja dia menyuruhku lembur untuk menghancurkan kertas. Ini pekerjaan yang tidak masuk akal, tapi aku tidak punya pilihan untuk menolak atau dia akan terus meremehkanku.”
Ryushin mendesah, “Pantas saja kau tidak segera menghubungiku.. Aku sudah selesai sejak pukul lima sore tadi.”
“Mian.. Sepertinya aku tidak bisa mampir ke apartemenmu karena masih banyak yang harus aku hancurkan. Padahal aku sangat ingin melihat oleh-oleh yang kau bawakan untukku. Aku sudah sangat penasaran dengan itu, tapi Kim Hwan menyebalkan itu, isshh...!” Eunseol membanting berkas dengan kesal.
Pria itu menggumam kecil, “Kalau begitu mudah saja, aku bisa ke kantormu untuk membantu menyelesaikan tugas konyol itu, lalu setelahnya kau bisa mampir ke apartemen, bagaimana? Berhubung ini juga sudah malam, menginap saja di tempatku, em?”
Bibir wanita itu semakin manyun, bantuan Ryushin begitu menggiurkan, “Kedengarannya bagus..”
“Okay! Aku akan pergi ke sana, tunggu aku..”
Suara Ryushin merupakan satu asupan energi bagi Eunseol, tiba-tiba saja dia lebih bersemangat untuk menyelesaikan tugas lembur yang tidak masuk akal dari Hwan. Mungkin dengan bantuan sepasang tangan lagi pekerjaan yang membuat rasa kantuknya cepat datang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Belum lagi jika yang membantunya adalah Ryushin, maka dia bisa memastikan bahwa dia tidak akan diserang rasa kantuk.
Beberapa menit dihabiskan untuk menghancurkan kertas yang menumpuk di samping mesin, ponsel Eunseol kembali berdenting. Pesan dari pria yang ditunggunya, berisi pernyataan bahwa pria itu baru sampai di depan gedung kantornya sekaligus bertanya lantai berapa yang harus dituju. Eunseol memilih membalas pesan sambil mengambil jeda sejenak dari kegiatannya, berjalan ke ruangan kecil di dalam kantor mereka untuk menyeduh minuman. Walau hanya beberapa menit menunggu matanya sudah mulai berat, hingga dia membutuhkan dorongan kafein untuk membuatnya lebih lama terjaga.
Tetapi, tiba-tiba bibirnya terpekik pelan ketika sepasang tangan memerangkap pinggangnya dan membawa tubuhnya ke udara beberapa saat. Awalnya ia sempat berpikir itu adalah tangan Ryushin yang berusaha menjahilinya, namun tubuhnya terasa gemetar saat bukan aroma pria itu yang merasuki lubang hidungnya, bahkan lilitan di seputar pinggangnya juga tidak selembut Ryushin.
Im Eunseol melarikan diri ke sudut dapur mini tempat orang itu menurunkannya, dalam keadaan remang ia berusaha menelisik wajah tertutup masker dan topi baseball itu. Sayangnya dia tidak bisa memastikan mata siapa yang sedang menatapnya tajam itu.
“Si.. siapa kau? Apa maumu?” Eunseol meremas ponsel di tangannya dan semakin berjalan mundur ke sudut, “Jangan mendekat.. Jangan mendekat atau aku akan teriak!”
Ketika pria itu mendesak tiba-tiba, Eunseol tidak bisa melarikan diri. Ia terkurung di sudut ruangan, kedua tangannya ditahan di atas kepala sementara mulut yang hampir berteriak dibekap dengan tangan lainnya. Rasa sakit pada pergelangan tangan dan rahangnya membuat air mata Eunseol mulai naik, namun itu tidak lebih membuatnya takut dari tatapan tajam nan intens dari pria di depannya.
“No.. Don’t cry, Baby... Jangan takut padaku,” bisik pria itu pada satu telinga Eunseol, “Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu. Aku akan membuatmu melayang malam ini..”
Eunseol berusaha keras berteriak meskipun suaranya tidak akan di dengar oleh siapa pun, sebab tidak mungkin ada orang yang masih berada di gedung ini. Ia mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa melepaskan diri dari cengkeraman pria tak dikenal. Tangisnya semakin pecah ketika dia merasakan hidung pria itu mengendus kulit leher dan tengkuknya. Dalam hati dia terus memanggil satu-satunya orang yang bisa melindunginya dari serangan pria ini, Jang Ryushin, dia berharap pria itu segera datang sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi padanya.
“Oh, shit!!” umpat pria itu ketika lutut Eunseol berhasil menendang pusat tubuhnya, namun tendangan itu tidak berdampak apa pun bagi pria yang sudah meradang hasrat, “Apa kau pikir tendangan seperti itu bisa menghentikanku? Kau salah...”
Kepala Eunseol menggeleng kuat saat wajah pria berengsek itu mendekat lagi.
“Kau hanya membuatku semakin ingin menghukummu..”
Satu pekikan lagi keluar dari mulut Eunseol karena tubuhnya diputar paksa dan di dorong ke dinding, tangan kirinya ditekuk dan di tahan di punggungnya, lalu pria itu menghimpit tubuhnya hingga rasanya tangan Eunseol ingin patah. Rasa takut dalam hati Eunseol semakin membuncah ketika dengan sengaja pria itu menggesekkan pusat tubuhnya pada bokong Eunseol dan tangan nakal itu mulai merayap di balik gaunnya, meraba seduktif paha mulus yang selalu dirawat dengan baik oleh sang empu.
‘Shin-ah... Tolong aku... Aku takut..’
Di tengah rasa takutnya, Eunseol tak henti memanggil nama Ryushin, entah itu dalam hati maupun dalam rintihan perih bibirnya. Eunseol juga tidak ingin pasrah begitu saja mendapati tubuhnya diperlakukan tidak senonoh oleh pria yang sudah semakin gila ingin mencapai puncak. Im Eunseol menggunakan sedikit tenaga untuk menjambak rambut pria itu dengan tangannya yang bebas lalu membenturkannya dengan kepalanya sendiri.
Entah itu cara yang benar atau tidak, Eunseol memang berhasil membuat pria itu melepaskan cengkramannya pada tangan Eunseol. Tapi di sisi lain ia juga merasakan pusing yang luar biasa sampai pandangannya kabur dan ia terhuyung.
“Shin-ah... Tolong aku..”. . . . .
Notes :
Maaf baru post, karna kebetulan lagi banyak kerjaan di rumah..
Trus hp juga sering ngajak ribut, makanya butuh waktu lama buat post lagi...
KAMU SEDANG MEMBACA
Run to You
RomanceKetika kau takut dan sedih, ketika kau merasa ingin mencurahkan isi hatimu, panggil saja aku.. Di manapun itu, tidak peduli sejauh apapun itu, aku akan datang... Aku akan berlari padamu... Run to You, 23 Oktober 2020 Elbocel 😄