Chapter 13
. . . . .
warning typo
terdapat kata² kasar
. . . . .Jalannya terhuyung dengan pandangan yang kabur, namun ia terus berusaha mencari pintu keluar meski pinggulnya harus menabrak perabot dalam ruangan kecil itu. Bahkan sebelumnya dia juga menabrak sudut meja yang lumayan runcing hingga menimbulkan nyeri luar biasa di tulang panggulnya. Entah di mana pria yang mencoba melecehkannya tadi, yang ada dalam pikiran Eunseol hanyalah melarikan diri dalam waktu sempit ini. Satu sisi dia tahu bahwa dia masih memiliki harapan untuk selamat, sebab ksatria yang selalu bisa ia andalkan sudah berada di dalam gedung ini. Jadi Eunseol hanya perlu keluar dari kantornya dan pergi ke depan kapsul.
“Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku?”
Tubuh Eunseol memaku, saat perlahan pandangannya mulai jernih, pria itu sudah lebih dulu menariknya menjauh dari pintu yang hampir dia gapai.
“Lepaskan—tolong! Tolong ak_”
Satu tamparan keras membuat teriakan Eunseol terputus. Pipinya terasa nyeri dan sudut bibirnya juga perih. Tidak berhenti di sana, pria itu kembali memerangkap tubuh mungilnya yang sudah hampir kehabisan napas, menahan pinggangnya dan membekap mulutnya dari belakang. Eunseol mengerahkan tenaganya untuk menggerakkan kakinya kuat-kuat sampai akhirnya pria itu hilang keseimbangan dan terjatuh menabrak kursi kayu hingga patah. Saat pelaku keji itu merintih kesakitan, Eunseol mengambil kesempatan untuk bangkit dan melarikan diri.
“Tolong aku!! Siapa pun.. Siapa pun tolong aku!!” teriaknya lagi sambil keluar dari ruangan itu.
“Shin-ah.. Shi—akhhh!”
Rupanya pria itu juga belum menyerah, kini bajingan itu berusaha meraih pundak Eunseol namun meleset. Namun hal itu menyebabkan luka cakar pada bahu dan punggung kiri Eunseol, yang juga berimbas pada robeknya gaun wanita itu di bagian tersebut. Keadaan yang tak membuatnya tersungkur menjadi satu keuntungan kecil bagi Eunseol, dengan membagi fokus dengan langkah kakinya, ia juga mencoba menggunakan ponselnya untuk memanggil bantuan.
“Jalang sialan! Kemari kau!!”
Wanita itu tak hentinya menitikkan air mata yang semakin membuat pandangannya buram. Di saat genting seperti ini ia juga sempat mengumpat dalam hati mengenai penyusunan bilik kerja dalam kantornya yang membuat akses jalan menuju pintu keluar sedikit terhambat.
“Dapat..”
Entah sudah berapa kali bibir Eunseol mengeluarkan pekikan hanya karena tindakan pria bajingan ini. Jika saja Eunseol memiliki kaki yang panjang seperti Ryushin, seharusnya dia sudah menggapai pintu keluar dan bisa segera lari ke lift. Tapi bajingan itu masih bisa menangkapnya hingga ia tidak sengaja menjatuhkan ponselnya sampai benda itu meluncur keluar kantor mereka.
“Kau tidak akan bisa lari, Jalang..” pria itu berbisik seduktif sambil tangan nakalnya menggerayang di paha Eunseol, “Aku tidak akan melepaskanmu..”
Eunseol yang sama berusahanya juga tidak menyerah, sekali lagi dia menghantam kepala pria itu dengan kepalanya, lalu menginjak kaki berbalut pantofel cokelat mengkilap di bawahnya dengan kuat. Barulah dia bisa melarikan diri sembari memegangi gaun di bahu kirinya agar tidak terjatuh dan memperlihatkan apa yang ada di baliknya. Tubuhnya berhasil keluar dan berniat mengambil ponsel yang terjatuh lantai koridor.
“Seol-ah...”
“Im Eunseol?”
Dua suara pria yang terdengar hampir bersamaan itu membuat kepala Eunseol menoleh. Seketika tangisnya pecah, namun hatinya terasa lega begitu maniknya berhadapan langsung dengan sosok yang selalu ia panggil namanya dalam beberapa menit terakhir. Wanita itu sudah tidak lagi mempedulikan keadaan ponsel semata wayangnya, ia meninggalkan benda pipih yang sebelumnya dianggap penting hanya untuk berlari ke arah Ryushin.
“Seol-ah, apa ya_”
“Shin-ah, aku takut..” adu wanita itu begitu sampai pada pelukan Ryushin, “Tolong aku.. Di..Dia ingin.. Ingin menyen..tuhku..”
Jang Ryushin yang belum memahami situasi yang terjadi hanya memeluk tubuh mungil dalam keadaan kacau itu dengan erat, melindungi bagian gaun yang robek dari mata pria lain di sisinya. Lalu mereka dialihkan pada seseorang yang tiba-tiba muncul dari dalam kantor dengan keadaan sedikit pincang.
“Ya! Siapa kau?!” teriak Jinho kaget dan mulai mengerti keadaan yang terjadi sebelum mereka datang.
Saat melihat pria mencurigakan itu melarikan diri ke arah pintu darurat, Ryushin berniat membantu Jinho yang sudah lebih dulu berlari untuk mengejar. Tetapi pelukan erat dan rintihan penuh ketakutan dari wanita mungil di depannya membuat Ryushin tidak bisa bergerak. Sejenak ia bimbang, ingin memilih antara mengejar bajingan yang menyebabkan tangis pilu wanitanya atau tetap berada di sini sementara waktu untuk menenangkan Eunseol. Apa pun situasinya, pilihannya hanya akan jatuh pada opsi di mana Eunseol berada.
“Aku takut...” cicit wanita itu masih belum melonggarkan pelukannya sedikit pun.
“Tidak apa-apa, Seol-ah.. Aku di sini.. Aku di sini..” Ryushin menahan sedikit bobot dari tubuh Eunseol yang dirasanya hampir melorot, “Semua akan baik-baik saja..”
Selama beberapa saat Ryushin mengusap punggung Eunseol agar wanita itu lebih tenang, ia juga sesekali mengecup kepalanya sebagai bantuan. Tanpa perlu diperjelas dengan kata-kata pun Ryushin tahu hal buruk apa yang baru saja terjadi, meski dia tidak bisa memikirkan seburuk apa keadaan itu. Melihat wanita dalam dekapannya menangis begitu perih dengan cengkeraman kuat pada hoodienya membuat Ryushin bisa membayangkan ketakutan yang melingkupi.
Tangan Ryushin mendorong pelan bahu Eunseol ketika tangis wanita itu hanya meninggalkan sesegukan dalam, ia menangkup wajah sembab itu untuk menatap bola mata yang masih sesekali mengeluarkan air mata, di sana dia menemukan ketakutan luar biasa yang menguasai sorot matanya. Meski begitu, Ryushin berusaha untuk tersenyum tipis, mencoba memperbaiki keadaan hati dan jiwa Eunseol yang baru saja diguncang. Ibu jarinya mengusap lembut jejak air mata yang membanjiri pipi, lalu membubuhkan kecupan hangat di dahi Eunseol dengan harapan hal kecil semacam itu bisa membantunya menenangkan wanita ini. Dalam hati Ryushin memaki dirinya sendiri dan semakin mengumpat kesal pada bajingan yang berani melakukan hal ini pada Eunseolnya, belum lagi dia juga melihat rona merah pada satu pipi Eunseol beserta luka kecil di sudut bibirnya. Tak hanya itu, luka cakar pada bahu Eunseol juga membuatnya semakin meradang ingin menghajar pria berengsek yang melarikan diri itu.
“Aku—aku tidak tahu... apa yang.. terjadi..” Eunseol mencoba menjelaskan di tengah sesegukannya, “Aku akan pergi—membuat kopi... Lalu... Lalu tiba-tiba_”
Tangis wanita itu kembali pecah tatkala kenangan buruk yang baru terjadi beberapa menit lalu menyambangi kepalanya. Kemudian dia merasakan sesuatu yang hangat dengan aroma menenangkan khas Ryushin membungkus tubuhnya. Pria itu membantunya mengenakan hoodie yang tentu saja kebesaran di tubuh mungilnya.
“Dia mendorongku... Tangan—ku ditahan.. di punggung. Dia juga menyentuh... pahaku..” suara Eunseol semakin menghilang pada ujung kalimatnya dan hanya tangis pilu yang terdengar selanjutnya.
Melihat tangis yang tak kunjung reda itu tentu saja hati Ryushin pun merasakan sakit luar biasa dan di tambah dengan keadaan Eunaeol saat ini, rasanya dia bisa saja jadi gila karena khawatir dan marah dalam waktu bersamaan. Sekali lagi dia hanya bisa memeluk erat wanita itu sambil membisikkan kata-kata penenang.
“Aku takut, Shin-ah...” adu Eunseol sambil meremas kaos hitam Ryushin, “Jika saja... jika kau tidak—datang... Mungkin saja..”
“Ani-ya...” sahut Ryushin pelan, “Sekarang semua sudah berakhir, aku ada di sini. Aku akan melindungimu. Hal semacam ini tidak akan terjadi lagi kelak. Maaf aku tidak bisa datang lebih awal.”
Suara dari arah pintu darurat menarik perhatian Ryushin. Dari sana muncul Jinho yang terengah dengan peluh banjir di pelipisnya, “Bagaimana?”
Namun gelengan lemah dari pria itu membuat Ryushin menghela dalam diam.
Jinho berjalan mendekat setelah meraih ponsel Eunseol yang tergeletak di depan pintu masuk kantor mereka, “Aku tidak berhasil menangkapnya, tapi aku sudah menghubungi polisi.”
Ryushin mengangguk paham, ia menunduk dan sedikit memberi jarak pada tubuh Eunseol, “Tidak apa-apa.. Sekarang kita pulang saja, em?”
Wanita itu hanya mengangguk lemah.
“Apa kau masih sanggup berjalan?”
“Molla...” cicit Eunseol, “Kakiku masih—gemetar..”
Ryushin juga tahu hal itu, karena sejak tadi wanita itu memang membebankan setengah bobotnya pada Ryushin. Jika ia tidak menahannya dengan erat, mungkin sudah sejak tadi Eunseol terkulai di lantai. Dengan tenaga penuh Ryushin membopong tubuh mungil itu.
“Jinho-ssi, bisakah kau menolongku? Kurasa aku tidak bisa menyetir sendiri saat keadaannya seperti ini,” pinta Ryushin, “Jika kau tidak keberatan, apa kau mau mengantar kami pulang?”
“Ne, tentu saja..”
Jinho menuntun jalan ke depan elevator, menekan tombol turun, lalu mempersilahkan Ryushin untuk masuk lebih dulu saat pintu kapsul terbuka. Melihat pantulan di pintu lift, Jinho berinisiatif membuka jaket denimnya dan menjadikannya selimut untuk menutupi bagian paha dan kaki Eunseol yang tidak tertutup hoodie.
Ryushin tersenyum sambil membenahi gendongannya, “Terima kasih..”
Jinho membalasnya dengan senyum tulus. Pria itu tentu merasa prihatin melihat keadaan yang baru saja menimpa salah satu rekan kerjanya. Ia melirik melalui ekor matanya dan mencoba menahan senyumnya agar tidak mengembang menyaksikan perilaku manis Ryushin terhadap Eunseol.
“Tidak apa-apa, tidurlah...” bisik Ryushin pada wanita dalam gendongannya, “Ada aku di sini, jangan takut.”
Sambil menunggu lift sampai ke lantai satu, Ryushin sesekali memastikan keadaan Eunseol. Entah harus lega atau khawatir melihat mata Eunseol terpejam dengan napas yang mulai teratur, Ryushin tetap tidak merasa tenang. Apa lagi saat rintihan yang sarat akan ketakutan sesekali muncul bersamaan remasan pada kaosnya, jantungnya juga serasa diremas.
“Apa kita tidak perlu membawanya ke rumah sakit?” tanya Jinho, “Aku tidak bermaksud berkata buruk, tapi bukankah kita perlu memeriksanya luar dalam?”
Ryushin menoleh ke arah Eunseol yang mengerutkan dahinya samar. Dia juga sempat memikirkan hal itu. Mereka datang di saat Eunseol sudah dalam keadaan setengah kacau dan baju yang tersobek, wanita itu sendiri juga sangat ketakutan, tapi Ryushin pikir apa yang terjadi belum terlalu jauh seperti yang mereka pikirkan.
“Shin-ah...” igau wanita itu.
“Kurasa tidak perlu, Jinho-ssi. Aku yakin apa yang terjadi tidak sejauh yang kita pikirkan meskipun aku tidak bisa memastikan seberapa buruk situasi yang terjadi sebelum kita datang,” sekali lagi pria gondrong itu membenahi gendongannya, “Aku memang melihat ketakutan di matanya, tapi aku tidak melihat keputusasaan di sana. Aku tahu dia berhasil melindungi hartanya..”
Pintu lift terbuka di lantai satu dan keduanya keluar beriringan. Mereka disambut oleh empat orang yang berkumpul di lobi; satu security, dua polisi yang mungkin datang atas laporan Jinho dan satu orang lagi adalah atasan tidak bertanggung jawab yang membuat Eunseol harus lembur dan mengalami hal buruk seperti ini.
“Jinho-ya, apa yang terjadi?” tanya Hwan kebingungan.
“Sunbae..” sapa salah satu petugas polisi yang takjub melihat kehadiran Ryushin di gedung TKP, Jehyun, “Sedang apa kau di sini?”
“Apa kau yang melaporkan kejadian pelecehan beberapa menit lalu?” tanya petugas lain bernama Daehyun.
“Ah, aku yang melaporkannya,” Jinho mengambil alih, “Kami ada di sana saat korban mencoba melarikan diri..”
“Sebenarnya apa yang terjadi?” Hwan kembali bertanya.
Entah kenapa malam ini rasanya Ryushin sangat ingin meninju wajah Kim Hwan sampai babak belur. Dia merasa semua ini terjadi karena tugas lembur tidak masuk akal yang pria itu berikan pada Eunseol. Lalu sekarang pria itu bersikap sok profesional dengan menanyakan apa yang baru saja terjadi.
“Kami tidak tahu jelas apa yang terjadi, tapi seperti yang aku katakan melalui ponsel tadi, kamu rasa Eunseol baru saja mengalami penyerangan seksual,” kata Jinho singkat, “Kami juga tidak bisa langsung bertanya pada korban karena... kalian bisa lihat sendiri bagaimana keadaannya.”
“Jehyun-ah,” ucap Ryushin, “Apakah penjelasannya bisa dilakukan saat keadaan sudah membaik? Besok mungkin? Kurasa korban tidak akan bisa bicara saat ini..”
“Apa kau akan membawanya ke rumah sakit? Aku yakin dia pasti mengalami trauma atas kejadian ini..”
“Aku tahu itu. Tapi aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit, aku rasa aku harus menenangkannya di rumah dulu dan memanggil dokter,” jawab Ryushin, “Jika diizinkan, apakah penyelidikannya bisa dilakukan di apartemenku saja besok?”
Jehyun melirik rekannya untuk meminta persetujuan, “Tentu saja, Sunbae.. Kami akan datang ke apartemenmu besok setelah kondisi korban sudah lebih baik.”
“Kalau begitu kami akan memeriksa TKP sebentar, kalian bisa pergi.”
Ryushin membungkuk kecil saat junior semasa sekolah menengahnya bersama sang rekan pergi ke arah lift bersama Hwan yang berinisiatif mengantar mereka, “Kenapa Hwan bisa ada di sini?”
“Dia bilang ingin memastikan apakah Eunseol masih ada di sini atau tidak,” jawab Jinho, “Ayo, Ryushin-ssi..”
Setelah memicing curiga pada Hwan sekali lagi, barulah Ryushin mengikuti langkah Jinho. Rasanya dia juga harus segera membawa Eunseol ke mobil karena tangannya juga mulai kebas.
“Jinho-ssi... Tentang yang kita saksikan malam ini, apa kau bersedia untuk menjadi salah satu saksinya?”
“Eiy... Tentu saja, Ryushin-ssi. Ku akui, aku memang pria bejat yang suka ‘jajan’ di suatu tempat, tapi aku juga tidak akan menjadi batu saja setelah melihat apa yang rekanku alami—terlebih itu di tempat kerja kami sendiri dan aku juga ikut mengejar bajingan itu tadi, walau pun tidak bisa menangkapnya,” pria itu membukakan pintu belakang bagi Ryushin sebelum menempati kursi di balik setir, “Jika polisi memerlukan tambahan saksi, kau bisa menghubungiku. Lagi pula, mungkin polisi akan menginterogasiku lebih dulu karena aku yang melaporkannya.”
Jang Ryushin mengangguk pelan.
“Aku memang baru mengenal Eunseol selama dua tahun terakhir, tapi selama itu juga aku tahu dia bukan wanita yang begitu mengikuti zaman dalam masalah asmara. Aku paham bagaimana polosnya Eunseol, Ryushin-ssi. Bahkan dia selalu menjaga privasinya dari Minju dan kami, hingga kami cukup terkejut saat kau muncul di bar malam itu dan mengantarnya pulang. Dia juga selalu melawan Hwan jika pria itu mulai mengoceh perihal hubungan seksual,” jelas Jinho sembari mengemudi, “Aku yakin dia akan mengalami trauma... Dan aku rasa, kau adalah orang yang paling dia butuhkan di saat seperti itu.”
Ryushin menunduk memperhatikan wajah gelisah Eunseol, “Percaya atau tidak, ini adalah kali pertama aku melihat ketakutan sebesar itu dalam matanya, Jinho-ssi.”
Jinho mengangguk setuju, “Jujur saja, aku prihatin melihat keadaannya. Sebab, pagi ini dia datang dengan wajah yang sanhat ceria. Tapi tidak ada yang tahu akan terjadi masalah seperti ini..”
Ryushin tersenyum masam mengingat janji yang ia buat hingga semangat dalam diri Eunseol membara pagi tadi. Dia juga setuju pada Jinho tentang keadaan wanitanya saat ini; memprihatinkan.
*
Sesungguhnya, Eunseol sudah terjaga sejak beberapa jam lalu, tidurnya tidak bisa nyenyak setelah kejadian buruk kemarin. Dalam beberapa menit tidurnya, bayangan mengerikan itu menyambangi ingatannya, membuat ia merintih ketakutan dan pada akhirnya terbangun. Lalu ia menemukan Ryushin dengan wajah khawatir di sisinya, pria itu bersiaga sepanjang malam dan berusaha menidurkannya kembali setiap kali ia terbangun. Namun saat dia membuka mata pagi tadi, sosok itu sudah tidak ada di sampingnya, ketika maniknya melirik jam di nakas, ia tahu ke mana Ryushin pergi; dapur. Eunseol yakin pria itu pasti menyiapkan sarapan untuknya sekaligus menyempatkan diri untuk membasuh tubuhnya. Beberapa saat lalu Ryushin juga masuk ke kamarnya untuk memastikan apakah dia sudah bangun atau belum, juga menanyakan apakah dia mau diinterogasi sejenak perihal laporan penyerangan yang Ryushin dan Jinho ajukan.
Setelah itu, Eunseol sama sekali tidak berniat bangkit dari kasurnya. Ia memilih mengunci dirinya dalam lilitan selimut tebal, matanya hanya memandang langit biru melalui jendela kaca yang tirainya sudah Ryushin buka, tatapannya kosong namun sesekali mengeluarkan cairan bening. Pikiran-pikiran buruk mengenai pengalaman tadi malam tidak bisa ia hilangkan dari kepalanya, dia berpikir; bagaimana nasibnya jika saja Ryushin dan Jinho datang terlambat? Apakah hal yang lebih buruk lagi akan terjadi padanya? Jika iya, bagaimana masa depannya kelak?
Eunseol kembali merasakan air matanya menetes; satu kali, dua kali.. dan semakin deras hingga ia terisak pelan. Ketakutan itu menghampirinya. Dia yang bahkan baru pernah berciuman satu kali, tiba-tiba menerima perlakuan tidak senonoh dari orang yang tidak ia kenal. Seakan nasib buruknya belum berakhir di sana, polisi tadi pagi juga mengatakan jika tidak banyak bukti yang bisa membantu untuk menemukan pelakunya, karena kebetulan kamera pengawas dalam gedung mereka sedang dalam perbaikan.
Suara ketukan pintu terdengar dua kali, detik berikutnya disusul suara pintu terbuka, membuat Eunseol buru-buru mengusap air matanya dan mengeratkan pegangannya pada tepi selimut. Ia bisa mencium aroma gurih dari roti panggang dan telur dadar beserta keju mozzarella ketika siluet Ryushin terlihat di sudut matanya. Pinggiran kasurnya terasa menjorok ke bawah saat pria itu duduk di sisinya, meletakkan nampan berisi sarapan ke atas nakas sebelum pria itu menumpuk kedua tangannya di atas pangkuan. Eunseol masih tidak berani mengganti objek pandangannya pada pria terlanjur tampan di sampingnya karena tidak ingin tangisnya kembali pecah hingga membuat pahlawannya khawatir.
“Kau tidak ingin bangun?” tanya Ryushin lembut.
Eunseol menggeliat pelan sambil menarik selimut sebatas leher.
Ryushin melipat bibirnya, jemarinya bergerak merapikan sisi selimut di bagian punggung wanita itu dan berlanjut mengusapnya lembut, “Aku tidak tahu harus apa, Seol-ah..”
Pria itu mengambil jeda sejenak demi memperhatikan wajah sayu dengan sorot ketakutan dan kesedihan dalam mata Eunseol.
“Meskipun aku sudah berulang kali mengatakan bahwa semua sudah baik-baik saja, kau akan baik-baik saja karena aku ada di sini, sepertinya kata-kata itu tidak cukup ampuh untuk menenangkanmu. Aku tahu, tidak mudah melupakan kejadian buruk yang menimpamu semalam, kau juga tidak akan mau ku paksa menceritakannya, traumamu pasti cukup besar sampai kau bahkan takut aku sentuh seperti biasa..” pria itu merasakan nyeri dalam dadanya ketika mengingat kembali bagaimana Eunseol menjauh saat ia berusaha menenangkan wanita itu tadi malam, “Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk membantumu, Seol-ah.. Aku.. mungkin aku bisa membawa terapis datang ke sini untuk membantumu keluar dari rasa takutmu, tapi justru pemikiran itu membuatku takut. Aku takut.. kau akan membenciku..”
Ryushin menelan ludahnya susah ketika melihat air mata mengalir dari sudut mata wanita tercintanya. Biasanya dia akan mengusap cairan itu agar wajahnya tidak sembab, dia akan membelai lembut kepala Eunseol untuk menenangkan, dia akan memeluknya sambil mengucapkan kalimat penyemangat. Tapi, kali ini dia hanya bisa menatap sendu Eunseol tanpa bisa melakukan apa pun.
“Mianhae, Seol-ah...” bisik Ryushin semakin merasakan sesak, “Seharusnya aku langsung datang saat kau tidak kunjung membalas pesanku, seharusnya aku tidak perlu meminta izinmu lebih dulu hanya untuk datang. Jika aku datang lebih cepat... kau tidak akan mengalami hal buruk ini..”
Jang Ryushin menarik napas dalam untuk menekan rasa sesak di dadanya sambil mengusapnya pelan. Dia selalu mengatakan dia akan menjaga wanita itu dengan baik, tapi kejadian buruk semacam ini justru terjadi. Siapa pun memang tidak akan ada yang tahu kapan masalah akan datang, kapan nasib buruk akan menimpa, dan tidak benar jika Ryushin menganggap kejadian tadi malam adalah kesalahannya. Namun tetap saja ia menyalahkan dirinya sendiri yang hanya bisa menyaksikan kemalangan wanita yang ia cintai tanpa bisa membantunya kembali seperti semula. Ryushin seolah baru saja kehilangan kepercayaan dari wanita itu melalui sikap Eunseol yang tertutup.
“Jehyun bilang, akan sulit menemukan pelakunya karena kurangnya bukti, bahkan meskipun aku dan Jinho bersaksi, itu tetap kurang. Kita tidak bisa melihat wajahnya, postur tubuhnya juga tidak begitu jelas karena keadaan cahaya yang remang. Tapi..” Ryushin menghela pelan karena belum kunjung menerima respon, “Jehyun akan meminta seorang kenalannya untuk mencari lebih lanjut.”
Pria itu memilih membelokkan kalimatnya, tidak ingin melanjutkan niat mengatakan bahwa ada satu bantuan besar untuk menangkap sang pelaku, yakni dengan deskripsi jelas dari Eunseol sebagai korban. Jehyun juga mengatakan akan lebih baik jika Eunseol bisa menggambarkan bentuk wajah yang dilihat saat keadaan membaik karena mereka bisa mengetahui pelakunya melalui mesin pendeteksi wajah. Tapi, melihat kondisi Eunseol yang masih sangat syok dan terus bungkam, Ryushin tidak bisa mengatakannya. Dia tidak ingin wanita itu semakin teringat malam buruk itu.
‘Aku janji, aku akan menemukan bajingan itu dan menghukumnya lebih berat dari yang sudah dia lakukan padamu. Aku pasti akan menemukannya, Seol-ah..’
Ryushin mengucap janji tegas dalam hatinya. Tangan kanan yang sejak tadi bertengger di atas kasur terangkat ingin membelai rambut acak-acakan Eunseol, tapi niatnya luruh perlahan melihat tatapan kosong wanita itu.
“Makanlah selagi hangat..” katanya, “Aku ada di bawah jika kau memerlukan sesuatu..”
Eunseol tidak bergerak sedikit pun bahkan saat pria itu meninggalkan kamarnya. Eunseol malah menutup seluruh tubuhnya dengan selimut dan menangis tersedu-sedu. Dalam hati ia juga ingin diperlakukan manis lagi oleh pria yang diam-diam mulai menguasai hatinya, gestur-gestur manis yang membuatnya nyaman, ucapan lembut yang membuatnya tenang, dan dekapan hangat yang membuat dirinya merasa berada di tempat paling aman sedunia. Sayangnya, setiap kali tangan besar pria itu menyentuh permukaan kulitnya, bayangan mengerikan saat bajingan itu menyentuh paha dan mengendus lehernya muncul dalam benak, membuat tubuhnya melakukan refleks menjauhi segala sentuhan Ryushin. Sejujurnya hatinya menginginkan sentuhan Ryushin yang dia tahu adalah obat ampuh untuk menenangkannya, tapi tubuhnya menolak karena mengalami trauma.
Permintaan maaf yang terdengar sendu di telinga Eunseol semakin membuat hatinya perih. Bukan Ryushin-nya yang harus minta maaf, tapi bajingan itu. Bukan pria tercintanya yang harus merasa bersalah atas semua kejadian ini karena Ryushin sama sekali tidak bisa mengatur nasib. Tapi kenapa dia seolah sulit menerima keadaannya sendiri?
Perlahan ia menurunkan selimutnya, matanya melirik sandwich dan susu di nakas, setelahnya ia semakin menangis pilu. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana pria itu memeluknya erat saat menemukannya dalam keadaan kacau, bagaimana tangan kokoh itu membopongnya sampai ke kamar ini, seperti apa sopannya pria itu saat menggantikan pakaian pada tubuhnya dengan cara menutupinya dengan selimut, pria juga mengobati lukanya dengan sangat hati-hati. Ryushin juga berjaga semalaman sambil duduk di lantai beralaskan karpet bulu demi memastikan dirinya bisa tidur nyenyak, lalu pagi ini pria itu membuatkan sarapan dan membujuknya dengan sabar. Ryushin selalu melakukan yang terbaik untuk dirinya, tapi ia hampir saja kehilangan harga dirinya karena disentuh pria bejat yang tidak ia kenal. Dan seakan tidak berterima kasih pada pria baik hati seperti Jang Ryushin, ia bahkan terus menghindari pria tidak bersalah itu.
Di sisi lain, Ryushin duduk termenung di atas sofa. Tangannya terlipat di atas lutut dengan jemari saling bertaut, punggungnya membungkuk, dan kepala menunduk dalam. Tanpa bisa ia kendalikan, air mata menetes dan jatuh ke atas karpet begitu saja, sesak dalam dada yang sudah ia rasakan sejak melihat keadaan Eunseol tadi malam sudah tidak bisa lagi dia bendung. Rasa sakitnya ia alihkan pada remasan jemarinya dan juga air mata, menangis dalam diam, menyalahkan kebodohannya yang tidak bisa datang lebih awal karena kemacetan yang mengulur waktunya, dirinya merasa tidak berguna karena tidak bisa menarik wanitanya keluar dari lingkaran hitam bernama trauma, memaki dirinya sendiri karena tidak bisa memenuhi janji untuk selalu ada di samping wanita itu.
Tangisnya yang semakin terisak membuat dadanya justru semakin sesak hingga salah satu tangannya meremas kaos di depan dada sambil makin merunduk. Bukan hanya karena kesalahan dan kebodohannya yang membuat dadanya semakin sakit, tapi juga karena caranya menangis diam-diam. Ryushin tidak ingin sampai Eunseol tahu jika dia juga jatuh ke dalam jurang, dia tidak ingin terlihat lemah di mata Eunseol atau dia akan semakin kehilangan kepercayaan wanita itu untuk tetap berdiri di sampingnya.
“Eomma... Aku harus bagaimana?” isaknya pelan, “Aku.. lalai, Eomma.. Dia—dia.. terluka.. Dia ketakutan dan aku—tidak ada.. di sana..”
Eunseol adalah satu-satunya orang yang menjadi penyemangatnya saat sedang berada di titik terlemah, sementara Ryushin tidak lagi memiliki orang yang bisa ia jadikan sandaran. Ia dan Eunseol tidak jauh berbeda, mereka hanya memiliki satu sama lain untuk saling menguatkan. Namun jika keadaan mereka seperti sekarang, pada siapa lagi dia harus mengadu?
“Apa yang harus... aku lakukan—Eomma? Aku sudah kehi—langan setengah... aku kehilangan setengah kepercayaannya, Eomma..” Ryushin masih mengadu pada sosok yang sudah lama meninggalkannya, “Bagaimana... bagaimana caranya untuk... menebus kelalaianku... Aku harus—apa, Eomma? Tolong bantu... aku...”
Jang Ryushin puas menangis seorang diri di ruang tengah, sesekali tangannya menepuk dadanya dengan harapan dapat meluruhkan rasa sesak di sana, tangannya juga terkadang membekap mulutnya agar suara isakan tidak sampai terdengar ke kamar Eunseol. Tanpa ia sadari, dia yang awalnya duduk di atas sofa sudah berganti meratap di lantai. Saat tangisnya sudah reda dan hanya meninggalkan sesegukan, ia melirik jam dinding di atas televisi dan mendapati bahwa dia menangis cukup lama. Sekarang sudah saatnya dia memasak makan siang untuk wanita yang masih mengurung diri dalam kamar.
Ia mengusap segala hal yang menyebabkan wajahnya sembab, menarik ingusnya dalam dan menghembuskan napas perlahan. Sembari berjalan ke dapur ia mengikat rambutnya, kepalanya juga berpikir menu makan siang apa yang harus ia masak. Bahkan dia juga tidak tahu apakah sandwich yang dia buatkan untuk Eunseol tadi terkonsumsi atau masih utuh di atas nampan.
Tak ingin terlalu lama berkutat di dapur, Ryushin memutuskan untuk membuat nasi goreng kimchi saja dengan tambahan lauk bulgogi dan sosis pedas. Ia juga menambahkan jus jeruk dan air putih ke atas nampan sebelum membawanya ke kamar Eunseol. Di depan pintu cokelat itu dia mengatur napas dan memasang senyum lembut pada wajahnya, agar dapat membujuk wanita di dalam sana untuk bangkit atau setidaknya mau sedikit meresponnya.
Setelah mengetuk pintu dua kali, Ryushin membukanya pelan, ia melihat wanita itu masih melilit tubuhnya dengan selimut. Dalam diam ia menghela pelan dan tetap memasang senyum di wajahnya agar tidak terlihat suram.
“Seol-ah..” panggilnya pelan, “Waktunya makan siang..”
Ada rasa lega dalam hati Ryushin ketika mendapati sarapan yang ia tinggalkan di nakas samping berkurang—meski hanya sedikit, setidaknya ia merasa sedikit tenang karena wanita itu masih memikirkan kesehatannya. Ia mendekat, duduk di sisi kasur menggeser sedikit nampan di nakas untuk diganti dengan nampan baru berisi makan siang , lalu setelahnya ia meletakkan nampan yang lama ke lantai di samping nakas.
“Seol-ah...” ucapnya pelan sebelum menoleh, napasnya kembali menghela saat maniknya menangkap seluruh wajah Eunseol tertutup selimut, “Aku sangat ingin membawamu keluar dari ketakutan ini, Seol-ah. Tapi, jika kau bahkan tidak mau bicara denganku, bagaimana aku tahu apa yang harus aku lakukan? Hatiku sakit melihatmu dengan keadaan seperti ini, kau membuatku bingung karena menjaga jarak dariku.”
Tidak ada respon apa pun selain gerakan bahu teratur yang menandakan bahwa wanita itu masih bernapas. Ia pikir Eunseol tertidur, jadi dia berusaha menarik selimut untuk membebaskan saluran pernapasan wanita itu agar bisa bernapas dengan baik. Namun, Eunseol menahan selimutnya dengan cengkraman kuat yang akhirnya membuat Ryushin menghela lagi.
“Arasseo... Aku tidak akan mengganggumu sampai kau mau menerimaku di sampingmu lagi. Kau boleh mengurung diri sepuasmu di kamar ini, tapi aku mohon padamu.. jaga kesehatanmu juga. Sama seperti kau memakan sarapanmu tadi, kali ini juga harus mengisi perutmu..”
Sama sekali tidak ada respon. Ryushin hanya bisa menelan ludahnya.
“Makanlah sebelum dingin. Aku akan ada di bawah kalau kau membutuhkan..”
“Rokok..”
Ryushin yang sudah setengah bangkit dari duduknya kembali mendarat, “Mwo?”
Butuh beberapa detik sampai suara Eunseol kembali terdengar, “Dia bau rokok dan alkohol.”
Ryushin mengernyit. Ingin rasanya dia menanyai lebih agar dapat dia laporkan pada Jehyun, karena dua hal yang Eunseol ucapkan berhasil menarik rasa penasarannya, tapi dia tahu kondisi Eunseol masih belum memungkinkan.
“Em.. Jal haesseo.. Kau tidak perlu menjelaskannya secara keseluruhan, aku tahu kau masih ketakutan setiap kali mengingatnya. Perlahan saja, em?” Ryushin mengusap kepala Eunseol yang tertutup selimut, “Bangun dan makanlah, aku akan turun..”
“Dia...”
“Em?”
“Tidak akan datang ke sini ‘kan?” cicit wanita itu lagi.
Ryushin tersenyum tipis, “Bagaimana mungkin dia bisa datang ke sini jika ada aku? Kau lihat sendiri penjagaan di semua pintu masuk dan keluar cukup ketat ‘kan? Pria berengsek itu tidak akan bisa melewatinya. Jangan khawatir, kali ini aku tidak akan membiarkan siapa pun mendekatimu lagi—apa pun alasannya.”
“Tapi... Dia juga—bisa datang ke.. kantorku..”
Meski samar, Ryushin mendengar suara isakan kecil di balik selimut itu.
“Bagaimana jika... jika dia juga datang—ke sini?”
“Tidak akan. Dia tidak akan berani. Hey...” pria itu kembali mengusap kepala Eunseol yang tertutup selimut, “Aku di sini. Meskipun dia bisa masuk ke gedung ini, dia tidak akan bisa melewati pintu apartemenku.”
“Dia pasti.. bisa masuk juga..” isakan Eunseol semakin terdengar jelas, “Saat aku sendiri_”
“Tidak, Seol-ah.. Kau tidak akan sendiri lagi. Aku di sini.. Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian lagi..” Ryushin berucap begitu lembut dengan kalimat yang sama, “Kumohon.. Beri aku kesempatan untuk mendapatkan kembali kepercayaan darimu..”
Jang Ryushin mencoba menarik perlahan selimut karena mulai takut mendengar isakan yang semakin menjadi, takut wanita itu akan semakin sesak karena asupan oksigen yang semakin menipis di balik selimut. Perasaan lega merasuki hatinya karena wanita itu tidak menahannya hingga dia bisa melihat wajah sembab Eunseol. Wanita itu tidur miring sambil menyatukan tangannya dan menangis sesegukan.
“Aku harus bagaimana...” cicit Eunseol, “Dia sudah.. menyentuhku..”
“Ani-ya...”
“Aku sudah—tidak baik lagi... Aku menjadi... wanita kotor...”
Mata Ryushin memejam dengan tangan mengepal erat, tapi nada bicaranya masih tetap lembut, “Ani-ya, Seol-ah..”
“Aku harus bagaimana...” wanita itu menutup wajahnya dengan tangan dan semakin histeris.
“Tidak.. Bukan begitu, Seol-ah. Tidak ada yang terjadi padamu, tidak ada yang berubah sama sekali. Kau tetaplah Im Eunseol, apa pun yang pria itu lakukan, dia tidak mengubahmu menjadi orang lain, Seol-ah..” hati Ryushin kembali teriris melihat keputusasaan di wajah Eunseol, “Apa pun yang terjadi, kau tetap Eunseolku.. Kumohon, berhenti berkata buruk tentang dirimu sendiri setelah apa yang kau alami. Jangan buat aku semakin khawatir dan semakin jatuh ke dalam lubang penyesalan, Seol-ah..”
Air mata yang sudah berhenti beberapa saat lalu kembali membanjiri pipi Ryushin. Melihat wanitanya hancur, tentu saja hatinya juga akan ikut hancur—bahkan seribu kali lebih hancur dari Eunseol. Semakin gadis itu menganggap dirinya berbeda, semakin dalam pula penyesalan Ryushin.
“Keluarlah dari ketakutanmu, Seol-ah.. Lupakan semua itu..” pinta Ryushin, “Jangan biarkan kejadian itu menghancurkan masa depanmu. Kita sudah menyusunnya bersama, ingat? Jadi kumohon, raih tanganku dan ayo bangkit bersama-sama, em?”
Eunseol menurunkan tangannya dan menoleh pada pria yang memohon dengan begitu pasrah di sisinya. Wajah pria itu ikut basah dengan mata penuh penyesalan seperti apa yang dia katakan. Hatinya ikut sakit saat mata mereka bertemu, sebab ia tahu kejadian tadi malam bukanlah salah pria itu.
“Jebal...” pinta pria itu semakin lemah.
Melihat itu hatinya semakin tidak tega, ia membawa tubuhnya bangkit perlahan dengan mata Ryushin yang terus mengawasinya. Sejak terbangun, Eunseol selalu menghindari sentuhan langsung pria itu karena menganggap ia tidak lagi pantas untuk diperlakukan manis oleh pria itu, bukan hanya karena dia trauma akan pelecehan yang ia terima tadi malam. Tapi, melihat bagaimana putus asanya Ryushin karena sikapnya, membuat ia tidak tega. Tidak sepatutnya pria itu menanggung penyesalan atas hal di luar kendalinya.
Eunseol masih cegukan saat tangan Ryushin terulur padanya, “Ayo keluar dari belenggu ini bersama-sama...”
Tapi Eunseol tidak langsung menggapai tangan besar yang tidak pernah menyakitinya itu selain menatapnya kosong.
“Seol-ah... Please...” mohon Ryushin, “Don’t go away from me.”
“Apa aku masih pantas?” seakan stok air mata tidak pernah habis, mata Eunseol kembali meneteskan airnya dalam tatapan kosong yang terarah pada tangan Ryushin, “Setelah apa yang terjadi... apa aku masih pantas diperlakukan baik olehmu? Apa aku masih pantas... menerima sikap manismu? Aku hampir kehilangan harta berhargaku sebagai seorang wanita...”
“Seol-ah, kumohon... Hentikan kata-kata itu..” tubuh Ryushin secara otomatis sedikit mendekat, “Jika kau menganggap dirimu tidak pantas, lalu bagaimana denganku? Aku yang dengan lantang mengatakan akan melindungimu justru tidak bisa berbuat apa-apa saat bajingan itu menyerangmu, aku yang bilang ingin membuatmu terus tersenyum justru membawamu ke dalam tangis tak berujung seperti sekarang. Apa menurutmu aku masih pantas dianggap sebagai pria sejati? Apa aku masih... masih pantas berucap manis padamu? Aku mengingkari janjiku, Seol-ah... Aku juga tidak pantas untuk bersikap sok ksatria lagi...”
Keduanya sama-sama melebur dalam tangis. Satu sisi Eunseol menangis dalam diam meratapi nasib buruk yang menghampirinya, sementara di sisi lain Ryushin menangis pilu karena penyesalan yang dia rasakan saat terus gagal membuat wanitanya bangkit dari keterpurukan.
“Jika kau tidak ingin keluar bersamaku dari lingkaran ini, lalu apa gunanya keberadaanku di sini?” gumam Ryushin yang sudah berada di ambang keputusasaan.. . . . .
Note :
Entah ini cerita masih ada yang baca ato enggak, sebagai penulis aku ttp konsisten posting ampe end.
Karena dr awal mmg aku nulis utk diriku sendiri, utk menyalurkan halu yg penuh di kepala...
Aku ttp berterima kasih bagi yg masih mau baca, krna mata kalian yg tercatat di watty buat aku jadi semakin semangat buat nulis... 😊😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Run to You
RomanceKetika kau takut dan sedih, ketika kau merasa ingin mencurahkan isi hatimu, panggil saja aku.. Di manapun itu, tidak peduli sejauh apapun itu, aku akan datang... Aku akan berlari padamu... Run to You, 23 Oktober 2020 Elbocel 😄