Hai, Tra?
Apa kabar?
Ini surat pertama yang saya buat, untukmu.
Tak jarang untuk sekian surat yang saya buat dengan mendahului tanya perihal kabar.
Saya senang dapat melihat lengkungan senyum tipismu dari kejauhan.
Dan karena-Nya, Saya harus menjaga jarak dengan kamu.
Kamu gak perlu tahu perasaan saya sekarang. Tentang bagaimana perasaan saya pada detik dimana serpihan kata ini dapat menyatu menjadi kalimat indah bagi saya.
Saya senang sekali, Tra..
Bahwa di suatu waktu yang menampakkan ujung rambutmu yang hampir beserta ragamu dan tepat didepan asrama para kaum adam itu, saya langsung bersembunyi di balik dinding yang membisu.
Saya harap waktu itu, kamu gak lihat saya. Walau ibarat seujung hijab yang saya pakai, saya harap tidak sedikitpun untuk kamu mengetahui hadirnya si manusia pendosa ini.
Saya harap kamu sehat selalu, Tra.
Do'a, bahkan di sepertiga malam, tak pernah terlewat rangkaian indah nama mu.
Saya gak akan pernah bosan menyebutnya.
Tapi, selayaknya saya harus pergi.
Menjauh dari kamu, Tra.
Itu maksud saya.
Walau pada intinya, kamu gak akan pernah tahu perasaan saya ke kamu itu, seperti apa?
Karena surat ini, tidak akan pernah saya berikan untuk kamu.
Kalau kamu membacanya, bahkan didetik pada kalimat yang sama, berarti memang sudah menjadi rencana Tuhan agar kamu menemukan surat tak bernyawa ini.
Saya terlalu lemah, Tra..
Maaf.
Tidak lebih dari sekadar gulungan kertas yang dengan pasrahnya ia rela dibuang.
Lagi, saya layak untuk pergi.
Karena pemilik sejatimu, hanya Tuhan yang Maha Kuasa.
Saya harus menjauh untuk mejaga.
Namun tersimpan dalam do'a.
Sekian.
Salam untuk Ayah dan Ibumu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Word Rubble
Aléatoireselalu ada kekuatan yang tak kasat mata. bahwa ia bisa datang dan pergi tanpa dititah. -n