1.

281 38 4
                                    




RU MENATAP lurus pada gerbang sekolah bertuliskan nama SMA Asiana yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Lagi-lagi, Ru memilih untuk datang terlambat pagi ini. Meskipun gadis dengan rambut panjang itu sudah pamit dari rumah sejak jam enam pagi, tapi tekad Ru untuk datang terlambat menghantarkan gadis itu sampai ke gerbang sekolah tepat tujuh menit sejak bel berbunyi.

Ditatapnya Pak Cipto yang sedang marah-marah pada beberapa murid Asiana yang terlambat itu dengan wajah datar. Lalu, Ru membawa langkahnya mendekati kerumunan yang disengaja itu. Saat sudah sampai dalam jarak pandang, Pak Cipto menoleh, seolah menyadari kalau ia memiliki daftar murid tambahan lagi.

"Dilarang pakai kardigan ke sekolah." satu kalimat sapaan yang ditujukan Pak Cipto kepada Ru membuat banyak kepala yang ada disana seketika menoleh menatap satu cewek yang baru bergabung di barisan paling belakang.

"Dingin, Pak." jawab Ru seraya mengusap kedua lengannya dengan gerakan mengigil.

Wajah Pak Cipto masih datar. Nggak menunjukan ekspresi apapun, tapi jelas Pak Cipto tidak akan percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ru barusan. Itu pasti cuma akal-akalannya saja, bukannya karena cuaca nggak dingin, hanya saja, sudah ditegur beberapa kali pun yang namanya Ru tetap saja melaju dengan kardigan oranye kelam andalannya.

"Almamater sekolah dipakai kalau dingin." ucap Pak Cipto lagi.

"Iya." Ru mengangguk. Lagi malas mendebat. Bukannya tidak sopan, hanya saja untuk Ru memiliki lawan bicara membuatnya jadi tidak merasa kesepian.

Pak Cipto menghela napas, fokusnya kembali pada sebelas anak yang terlambat datang ke sekolah di hari Kamis nan cerah ini. Setelah menanyakan satu persatu anak, tibalah Pak Cipto di depan Ru. Pak Guru dengan alis membingkai tebal dan kacamata silinder itu menatap si-langganan-terlambat- dengan wajah datar.

"Karena pagi ini tidak hujan, jadi kamu nggak bisa pakai alasan "Hujan, Pak!" untuk hari ini."

Ru mengangguk dengan wajah seriusnya. "Di rumah saya juga nggak hujan kok, Pak."

"Terus, alasan terlambat?"

"Nggak ada."

Pak Cipto menaikkan satu alis.

"Saya memang pengin di hukum aja. Pagi ini Bu Sur nggak masuk, jadi daripada di kelas nggak jelas mau ngapain mending diluar kelas aja." jelas Ru. Wajahnya disetel polos dan nggak berdosa itu malah membuat Pak Cipto mengurut dahi karena menahan emosi.

"Kelas kamu digantikan sama Bu Hamida."

"Oh iya kah?" kedua tangan Ru menutup mulut dengan ekspresi tak percaya. "Saya nggak tahu, Pak. Kirain jadi jam kosong."

Tidak, Ru tahu. Tapi, dia tetap pilih terlambat. Pelajaran Matematika sama sekali bukan kesukaannya, well, kayaknya memang tidak ada pelajaran yang menjadi kesukaannya. Kecuali, jam kosong.

Pak Cipto mengesah pelan. Kemudian pandangannya kembali mengedar dan berkata, "Semuanya bersih-bersih lapangan, Lab, dan Perpustakaan. Dibagi-bagi."

"Yah, Pak..." ujar seorang anak, Ru tahu namanya Edo. Cowok itu anak kelas sebelah. Kayaknya memang doyan telat karena Ru sering bertemu dengan Edo. "Kelas saya hari ini ada kuis Bu Rahayu."

"Emang urusan bapak? Itu urusan kamu. Kamu yang milih untuk terlambat."

Bahu Edo merosot bersamaan dengan kikikan geli orang-orang di sana. Kecuali, Ru. Dia tetap diam.

"Ya sudah, segera laksanakan tugas kalian sekarang. Go, go, go!" ujar Pak Cipto.

Barisan murid terlambat itu berpencar, mulai berjalan mengikuti interuksi. Mereka dengan cepat membelah menjadi tiga bagian. Ru yang memang nggak ingin kena matahari pagi yang terik begini, plus debu, memilih jalan mengikuti anak-anak yang hendak ke ruang Perpustakaan. Gadis itu melangkah tanpa minat, membiarkan dirinya berjalan di belakang empat murid cewek yang tidak dikenalnya.

Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang