4

75 23 2
                                    

            NAPASNYA terengah ketika akhirnya sampai terowongan menuju halte. Memang jarak dari rumahnya ke halte busway tidak sampai lima menit dengan berjalan kaki, namun menaiki anakan tangga yang lumayan banyak itu benar-benar menguras energi Ru hampir seperempatnya. Kalau kata Ginta, ini efek boba yang sering mereka beli. Makanya, baru jalan sedikit rasanya sudah seperti mendaki gunung lewati lembah.

Ru memerhatikan orang-orang yang men-tap-kan sebuah kartu pada sebuah mesin. Kening Ru mengernyit, ini persis seperti mesin yang menscan ID Card kalau masuk ke sebuah perusahaan besar, Kantor Papi-nya juga ada mesin seperti ini, cuma beda fungsi saja... pikir Ru.

Cewek itu melangkah mendekat dan langsung menyapa seorang petugas perempuan berjilbab di sana. "Harus pakai E-Money ya, Mbak?"

"Iya, kak. Kakak-nya sudah punya kartu atau mau isi ulang aja?"

"Belum ada kartu."

"Kalau gitu bisa beli di sana ya, kak." tunjuk seorang petugas ke arah loket yang ramai.

Ru mendesah, sepertinya hari ini dia bakal telat masuk. Bukan telat yang disengaja seperti hari-hari lain, tapi beneran telat ini sih. Ditatapnya petugas perempuan itu dan tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.

Ru menatap jam di pergelangan tangannya sebentar, mengantre itu jelas bakal memakan waktu, apalagi saat melihat pada palang informasi kalau busway yang akan dia naiki akan tiba dalam dua  menit lagi. Celaka!

"Apa gue naik gocar aja ya?" gumam Ru sendiri. "Ah, iya, Mami kan nggak tahu, gue naik gocar aja—"

"Nih."

Monolog Ru berhenti. kepalanya menatap ke sumber suara dan menemukan cowok yang sama dengan yang kemarin menolongnya di Perpustakaan sedang menyodorkan sebuah kartu kepadanya. Kening Ru mengerut bingung.

"Pake punya gue aja dulu. Buruan, tu busway terakhir. Dateng lagi jarak sepuluh menit."

Tanpa pikir panjang, Ru langsung mengambil kartu e-money itu dan men-tap-kan nya. Ru berjalan memasuki area tunggu halte yang sudah dipadati oleh orang-orang. Cewek itu mengembalikan kartu tadi kepada si pemiliknya. "Makasih."

Rajendra mengangguk. Memasukkan kembali kartu e-money itu ke dalam dompet.

"Yuk." Ajak cowok itu kemudian.

Ru mengekori. Ada banyak pertanyaan di dalam kepalanya yang mesti dikeluarkan, tapi kayaknya nggak mungkin karena sekarang lagi buru-buru. Mungkin nanti kalau sudah ada di dalam busway... pikir Ru.

"Lo lewat pintu depan, Ru."

"Emang nggak bareng?" Ru menatap bingung.

Rajendra menggeleng. "Nggak. Area cewek sama cowok beda."

"Oh..." Ru ngangguk paham. Tadinya dia berniat mengandalkan cowok ini, tapi kayaknya nggak bisa kalau nggak satu area gini—ya meskipun tetap satu busway. Gimana kalau Rajendra tahu-tahu ninggalin Ru, meskipun dia juga melihat ada anak yang pakai seragam sama seperti dia. Sedang mengantre dipaling depan. Tapi—Ru mendesah, kayaknya hari ini dia harus mengeluarkan skill sok akrabnya kalau kepepet. Ditatapnya Rajendra kembali dan berkata. "Oke deh."

"Nanti turun di halte Simprug."

"Oke. Makasih ya, Jen."

Rajendra mengangguk. "Nggak masalah."

Lalu, keduanya berpisah tempat antre. Bus yang ditunggu datang, Ru mengikuti beberapa orang di depannya masuk ke dalam. Okay, ini nggak seburuk bayangan Ru ternyata. Ru sempat berpikir kalau ia akan berdesak-desakan dan nggak bisa duduk, tapi ternyata busway-nya lengang—melihat bagaimana suasana di halte yang rame banget tadi—kayaknya para pekerja kantoran itu mau ke SCBD.

Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang