13

78 17 0
                                    

RU jelas nggak menyangka kalau Rajendra bakal menemuinya terang-terangan di sekolah gini. Bukannya karena apa, tapi cowok itu bukan tipe cowok yang friendly ke cewek-cewek. Bicara saja seperlunya, pokoknya irit banget—menurut obrolan beberapa siswi yang tidak sengaja Ru dengar—ya walaupun menurut Ru, Rajendra sama sekali nggak seperti yang dibicarakan anak-anak lain. Dia emang diam, tapi dia nggak cuek. Bahkan cowok itu rela nungguin Ru beberapa kali waktu dia belum punya e-money card buat naik busway. Lalu, waktu mereka pergi untuk nyari bahan tugas dari Pak Sinaga, Rajendra juga banyak ngomong—meskipun yang diomongin dia 70% soal sejarah Indonesia—dan yang paling penting adalah cowok itu mau bercerita.

Orang bilang, kalau cowok pendiam tiba-tiba jadi bawel dan suka cerita tentang kehidupan pribadi mereka tuh tandanya mereka punya perasaan lebih ke orang itu. Senyuman Ru otomatis terbit dan dia merasakan kalau pipinya memanas.

"Nah kan, ada gila-gilanya nih." Jhony geleng-geleng. "Seneng banget ya lo diajak ketemuan sama yayang Jen?"

"Apaan si lo!" Ru langsung memasang mode kesal sambil bangkit berdiri. "Dasar nggak jelas."

"Ikut dong, Ru!" teriak Jhony dengan nada menggoda. "Nggak apa-apa gue jadi obat nyamuk asalkan ditraktir. Hehe."

Ru rasanya ingin langsung menyumpal mulut teman sekelasnya itu dengan bon cabe level 35. Nyebelin abis!

Langkahnya dipercepat untuk berjalan keluar, sambil menyugar rambutnya pelan, Ru memasang wajah "biasa saja"-nya dan langsung menengok, mencari sosok yang katanya tadi sedang menunggunya di luar.

"Hei," sapa Ru kemudian.

Rajendra menoleh, senyumnya terbit saat melihat Ru.

"Ada apa, Jen?"

Rajendra memberikan amplop cokelat yang dia pegang itu kepada Ru. Cewek itu mengernyit, menerima amplop dari tangannya dengan pandangan bertanya. Rajendra lantas menjelaskan. "Ini hasil foto tugas lo udah gue cetak. Memory card-nya ada di dalem amplop juga."

Kedua mata Ru membeliak. "Cepet banget?"

"Iya, sori ya Ru, kayaknya gue nggak bisa bantuin lo buat nempelin satu-satu foto-foto itu," ucap Rajendra dengan nada menyesal. Pandangannya lurus menatap cewek yang tingginya sedikit lebih rendah dari dirinya. Kedua matanya tenggelam pada mata dan senyuman Ru yang entah sejak kapan menjadi favoritnya itu. Dia menghela napas sesaat sebelum kembali menjelaskan alasan ketidakbisaannya membantu cewek itu. "Kemarin dokter bilang kalau Helen kena serangan. Dan mereka nyaranin untuk gue atau bokap sering-sering jenguk dia, katanya mungkin aja Helen kangen. Karena bokap nggak mungkin bisa—lo tau kan kelasnya full setiap hari—jadi kita sepakat tiap pulang sekolah gue yang ke RS."

"Tapi, Helen nggak apa-apa?"

Jen menggeleng. "Nggak apa-apa. Semoga nggak apa-apa, Ru."

Ru mengembuskan napas lega. Meskipun dia belum pernah bertemu dengan saudara kembar Rajendra itu, namun entah kenapa dia merasa terhubung dengan gadis itu. Entahlah bagaimana hal itu bisa terjadi...

"Iya, nggak apa-apa kok, lo jagain Helen aja." Kata Ru. Well, dia pun sebenarnya sok oke aja. Entah bagaimana tugasnya ini akan selesai kalau Rajendra nggak bantuin dia. Tapi, meminta dengan sedikit mengemis pada cowok ini sama sekali bukan Ru banget. Ia mana pernah meminta bantuan orang lain—kecuali dua sahabatnya itu—kalau nggak kepepet banget.

"Ntar gue bikinin mentahannya biar bisa lo salin per-lembar. Lo hubungin gue aja kalo ada yang bingung. oke?"

"Kayaknya gue bakalan bingung sih..." Ru meringis, tapi sedetik kemudian dia tersenyum lebar menatap Rajendra. "Bercanda. Gue bisa kok." sok strong banget lo, Arunikaaa!

Rajendra menatap dalam, masih belum mengatakan apa-apa.

"Gue bisa, Jen. Tadi bercanda doang. Ntar kalo bingung gue tinggal pegangan. Hehe."

Sumpah, nggak lucu, apaan si, Ru. Gadis batin Ru langsung mengejek kesal.

"Atau lo mau ikut gue?"

"Hah?"

"Ke RS. Jadi kita ngerjain di ruangan Helen. Agak nggak nyaman sih, lo boleh nolak kok."

"Emang gue boleh ikut?"

"Lo mau?" Rajendra mengerjapkan mata. "Boleh. Katanya lo mau ketemu Helen."

Ru tidak bisa menyembunyikan senyumannya lebih lama lagi. Perasaan senangnya langsung meluap keluar. Dia hampir saja berekspresi "kelewat" senang kalau saja tidak melihat kepala Jhony sudah mengintip dari jendela. Ekspresi cowok itu menjelaskan kalau dia seperti sedang menonton serial drama korea romantis saat ini. Tak lama, kedua mata Ru menangkap sosok Ginta dan Avy yang berdiri tak jauh dari kelas mereka—sedang memerhatikan Ru dan Rajendra juga—dengan tatapan sedikit meledek.

Oke, sepertinya Ru bakalan kena mental nggak lama lagi.

Ru berdeham. "Oke, nanti kabarin aja ya."

Rajendra mengangguk. "Kalau gitu gue ke kelas dulu. Lo juga udah ditungguin tuh sama temen-temen lo. Gue nggak enak kalau nahan lo kelamaan."

Ru mengangguk, menatap tubuh yang berbalik dan melangkah semakin menjauh itu dengan gugup. Dia senang, tapi dia tidak boleh kelihatan senang. Bisa habis dia diejek oleh teman-temannya nanti.

***

"IH ARU!" Ginta protes sebal. Cewek itu jelas senang karena Ru sepertinya berjalan lancar-lancar saja dengan Rajendra. Tapi, dia jadi sebal karena kisah cintanya yang belum dimulai itu sudah kandas duluan. Harusnya kan, Ginta berjuang dulu mati-matian, baru dia bisa ikhlas walaupun nanti nggak sejalan.

"Ta, kita tu tadi cuma ngomongin soal tugas doang. Jangan lebay deh." Ru memutar bola mata. Kedua tangannya membersihkan sendok dan garpu menggunakan tisu sebelum menggunakannya.

Ginta manyun. "Tapi, kan tetep aja hubungan lo lebih baik daripada kisah gue."

"Kisah apa sih, bestie?" Edo tahu-tahu sudah nimbrung ke meja mereka bersama Jhony dan beberapa anak yang lain. Kedua mata Edo terkejut ketika melihat personel geng cewek-cewek itu lengkap. Biasanya Avy kan paling sibuk, jarang banget langsung ikutan ke kantin bareng. Dia langsung menyapa ramah. "Eh, ada Avy!"

"Eh ada Edo." Kata Avy sambil tersenyum.

"Emang cuma Avy doang nih cewek normal di antara kalian bertiga. Kalau dua temen lo ini, Vy, beuh... jutek banget. Kayak singa."

"Diem deh lo!" Ginta singut.

"Tuh kan." Edo geleng-geleng. Dia lantas kembali bertanya. "Kenapa sih, bestie? Sini cerita."

"Ini nih gara-gara elo, Edo." timpal Ru.

"Kok gue sih, bestie?" Edo masih bingung, namun dia langsung ngerti. "Oh, yang tadi pagi..."

Ru geleng-geleng, sementara Ginta masih cemberut. Tatapan tajamnya ia berikan pada Edo dengan terang-terangan. Ginta jelas kesal karena ekspektasinya dijatuhkan begitu saja. Cowok itu menatap serius, lalu berkata. "Ta, masih banyak cowok diluar sana. ibaratnya nih, masih banyak ikan dilaut. Menurut gue—disamping sikap judes lo—lo bukan jenis cewek yang bakal kesusahan buat nyari cowok kok. Muka lo baik-baik aja, kalau kita bicara fisik."

Semua yang ada di meja itu seketika langsung menoleh takjub. Mereka jelas nggak menyangka kalau yang barusan ngomong bijak itu adalah Edo. Jhony bahkan melongo, beberapa kali mengerjapkan mata untuk memastikan kalau di sebelahnya ini masih Edo, sobat bahlul-nya yang paling top.

"Iya emang masih banyak ikan dilaut," Ginta mendesah. "tapi yang bagus-bagus udah pada di seaworld, alias udah ada yang punya."

"Ya udah lo nyari aja di Kali." timpal Edo santai. yang langsung mendapat pukulan keras dari Ginta. Edo tertawa sambil mengusap lengannya yang dipukul. "Lah ngapain lo pusing sih. Ikan kan hidupnya nggak cuma di laut. Kalo di laut udah pada abis yang bagus-bagusnya, lo tinggal ke Kali aja, Ta, ikan air tawar lebih enak daripada ikan laut kok."

"OGAH!" seru Ginta dengan kesal. Ngobrol sama Edo tuh nggak akan pernah nemuin titik terang, yang ada dia bakalan kena hipertensi muda.


***

"Doyoung gaada akhlak emang ye lu" - Somi

Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang