9

79 21 3
                                    

SELAIN ini adalah kali pertama Ru mengunjungi Monas, dia juga tidak bisa untuk menahan keterkejutannya saat melihat pedagang-pedagang di sekitaran Monas—menjual segala pernak-pernik sebagai oleh-oleh khas Monas, dan pedagang penjual makanan dan minuman.

"Nggak bisa ya mobil sampe ke sana?" komentar Ru saat mereka masih berjalan dengan beberapa bapak-bapak dan ibu-ibu yang menawari dagangannya kepada mereka. Ru buang muka, pura-pura tidak mendengar.

"Nggak bisa." balas Rajendra, kepalanya menoleh kepada Ru sambil tetap memegang kamera mirrorless milik Ru yang sepertinya tidak pernah digunakan. Melihat tidak ada perubahan setting pada kamera itu. Rajendra kembali memusatkan matanya pada layar kamera setelah menawarkan. "Atau mau istirahat dulu?"

"Emang ada tempat buat istirahat?" Ru mengeluh. Memandangi sekeliling yang isinya nggak ada satupun yang bisa menaunginya dari sinar matahari. "Lanjut aja deh. Gue masih sanggup kok kalau cuma jalan sampe sana." kata Ru pada akhirnya.

Percuma juga kalau dia mau duduk.

"Kita bisa duduk di dalam tenda tempat jualan minuman itu."

"No way." jawab Ru cepat. Dia nggak tahu bagaimana Rajendra bisa menawari sebuah tawaran seperti itu, tapi duduk di situ... kelihatannya benar-benar bukan Ru banget.

Rajendra mengangguk. Lalu, mereka kembali berjalan hingga sampai di area dekat Monas.

Kaki Ru rasanya mau copot, untung dia nggak pakai heels. Setelah berjalan di tempat yang tidak terkena mataharinya, Ru akhirnya bisa bernapas lega. Dia buru-buru mengambil duduk pada tangga lantai yang lumayan bersih sambil menyelonjorkan kedua kakinya. Sementara Rajendra pergi entah kemana—Ru nggak bertanya-tanya—lalu tiba-tiba datang lagi dan mengambil tempat di sebelah cewek itu sambil berkata. "Museumnya belum dibuka. Lima menit lagi."

"It's okay. Gue juga belum sanggup masuk nih. Gerah banget abis jalan." jawab Ru.

"Nih..." Rajendra mengeluarkan botol air mineral merek ternama dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Ru.

Ru mengambil. "Kapan lo belinya?"

"Tadi waktu baru turun dari mobil."

"Oh... makasih ya." kata Ru seraya membuka botol air mineral itu dan menegak isinya hingga setengah.

Rajendra mengangguk. Mengambil satu botol lagi dari dalam tasnya lalu melakukan hal yang sama. Setelah itu, keduanya masih sama-sama diam, sibuk menikmati semilir angin yang membawa kesejukan setelah terik matahari menyerang.

Ru menatap lurus keujung sana, pandangannya benar-benar berubah sekarang. Kehidupan sekitar sekolah, Mall, rumah, tempat bimbel itu benar-benar rutinitas yang menyebalkan. Bahkan kadang membuatnya mati kebosanan. Tapi siapa sangka kalau hari ini dia akan kemari, bukan dengan teman-teman atau keluarganya, tapi dengan orang baru dan melihat bagaimana dunia 'baru'.

"Apa mereka nggak kepanasan ya, Jen?" gumam Ru masih menatap lurus pada pedagang kaki lima yang ia lewati tadi.

"Pasti lah."

"Terus kenapa masih dilanjutin?" Ru menoleh. "Mereka kan bisa sewa tempat yang lebih layak..."

Rajendra menenggelamkan Ru ke dalam tatapannya. Cowok beralis tebal dengan bulu mata yang lentik menaungi mata tajamnya itu kemudian kembali bicara. "Bagi sebagian orang, bisa makan hari ini aja udah Alhamdulillah, Ru. Boro-boro kepikiran nyewa tempat yang layak buat jualan."

"Memang?"

"Lo pasti mikir semua orang kayak lo ya..." Rajendra terkekeh kecil.

Ru mengedikkan bahu. "Nggak juga. Cuma orang-orang yang selama ini gue lihat ya begitu. Makanya, gue nggak berpikir sampe apa yang lo omongin tadi."

Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang