"GINTA kenapa?" Avy yang baru sampai di koridor kelas langsung bertanya tanpa suara kepada Ru yang ada di samping Ginta. Niatnya hendak menaruh tas ke dalam kelas urung saat melihat wajah kusut Ginta pagi-pagi.
Cewek itu mulai meraba kenapa Ginta tiba-tiba badmood pagi-pagi begini. Hari ini memang lagi ada banyak PR dan nanti di pelajaran kedua ada kuis bulanan Matematika. Tapi, Avy jelas yakin kalau duduk masalah akan ke-bete-an Ginta sekarang bukan karena kedua hal itu. Ginta nggak akan pernah masalah mau ada PR banyak juga, dia bukan tipe yang ribet dan ambius gitu. Masalah kuis Matematika juga Ginta nggak pernah takut, tu cewek esaknya lumayan juga. Karena itu Avy bingung. Mana Ginta tadi di sapa nggak jawab pula.
Jangan-jangan...
Avy mendadak pucat. Cewek itu langsung mengambil duduk di sebelah Ru. Ia menyikut Ru pelan dan kembali bertanya. "Kenapa ya, Ru?"
"Itu—"
"Vy, gue kena mental banget!" potong Ginta. Kepalanya menoleh, menghadap kedua temannya dengan tatapan nelangsa. "Rasanya gue patah hati bahkan sebelum tumbuh, tau nggak?"
Avy menelan saliva. "Kenapa, Ta?"
"Gue nggak kuat jelasinnya. Biar pengacara gue aja yang jelasin ke elo deh, Vy." kata Ginta dan kembali menangkupkan kedua pipinya pada telapak tangan.
Ru hampir saja ingin menggerutu, tapi sikap menyedihkan Ginta mau nggak mau bikin cewek itu kasihan juga. Beruntung anak-anak lain nggak ada yang kepo, bayangin aja kalau setiap yang lewat pada nanya "Ginta kenapa?" terus sahabatnya itu bilang "Biar pengacara gue aja yang jelasin, gue nggak kuat." kepada setiap yang nanya, bisa-bisa Ru rekam suaranya sendiri dan kasih ke setiap penanya!
Ru sedikit menggeser tubuhnya, dan pada saat itu dia nggak sengaja bertatapan dengan Rajendra yang sedang berdiri menghadap jendela kelas Ginta. Cowok itu menyunggingkan senyum kepada Ru membuat Ru langsung lupa tujuan utamanya. Jujur saja, karena diceng-cengin Ginta tadi pagi, Ru jadi mikir yang nggak-nggak. Tapi, kan nggak mungkin juga kejadian...
Alhasil, Ru langsung membalas senyuman Rajendra dan buru-buru berpaling menatap Avy. "Tadi, si Edo kasih gosip yang bikin mental breakdown, Vy," dia menjelaskan dengan ekspresi serius—agak menggebu-gebu sebenarnya—tanpa menyadari kalau raut wajah teman yang diajaknya mengobrol ini sudah berbeda. "Dia ketemu Oy dijalan. Katanya bonceng cewek, Asianans juga."
"H-ha?"
"Kaget kan lo?" Ginta mendesah dengan frustasi. "gue apalagi, Vy."
"Mungkin si Edo salah liat, Ta, atau dia lagi isengin elo..." kata Avy.
Ginta menggeleng lesu. "Tu anak walaupun nyebelin dan suka nggak jelas, tapi dia kalau soal beginian nggak pernah cepu, Vy. Lo tau sendiri kan dia salah satu informan pribadi gue."
Avy diam, cewek itu menatap gelisah. Yang kini bisa dia lakukan adalah menepuk pundak Ginta dan memberinya dukungan. Meskipun Avy nggak tahu harus berbuat seperti apa.
Jikalau dia bisa mungkin dia akan meminimalisir agar kesakitan sahabatnya tidak terlalu dalam ketika nanti sebuah rahasia besar tiba-tiba terkuak. Avy tahu, permintaan maaf mungkin tak akan pernah bisa diterima. Namun, jauh dari dalam hatinya yang terdalam semoga kedua sahabatnya ini bisa memahami dan tidak membencinya. Karena jujur, dia tidak ingin kehilangan keduanya.
Kedua mata Avy bertatapan dengan Edo yang baru datang dari arah lapangan menuju kelas mereka. Avy langsung berdiri, dan cepat-cepat pergi masuk ke dalam kelas. Meninggalkan Edo yang mengernyit heran. Namun bukan sikap Avy yang membuatnya begitu, tapi sesuatu yang sama dengan apa yang tadi pagi dia lihat.
Edo langsung menatap ke arah Ginta yang keadaannya masih seperti tadi sejak dia mengudarakan informasinya itu. Lalu menggeleng, "Udah kayak putus cinta aja lo, Ta, Ta."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️
Novela Juvenil"Kita ini apa, Jen?" "Nggak bisa kah kita kayak gini aja, Ru?" ***