“RU, besok hari minggu kita ke Gereja ya, kamu jangan bangun siang-siang. Sama Papi juga.”
“Emangnya papi nggak sibuk?” tanya Ru tanpa minat, dia bahkan nggak menoleh pandangannya masih fokus menatap layar televisi sambil mengganti-ganti saluran channelnya.
“Kan hari minggu, Ru.” Mami mengingatkan.
Kening Ru berkerut saat televisi di depannya kini sedang menyiarkan gosip tentang perselingkuhan artis terkenal Ibu Kota. Bagi Ru berita itu jelas nggak berfaedah, dia sama sekali nggak tertarik dengan gosip artis-artis. Nggak penting menurutnya.
“Ru, dengarin mami ngomong nggak sih kamu?”
“Iya, Mam.” Jawab Ru sekenanya. Ditekannya tombol merah pada remot sebelum membuat televisi di depannya berwarna gelap dan mati. Menonton televisi ternyata bukan selera Ru sekarang, padahal dulu saat masih sekolah dasar, Ru sangat menyukai menonton televisi untuk siaran kartun favorit tiap hari minggu pagi. Semakin bertambahnya umur, Ru jadi malas menonton televisi.
Ternyata begini ya rasanya menjadi tua... pikir Ru.
Gadis itu berdiri dari sofa tempatnya duduk. Dengan pakaian tidur berwarna kuning, dia kemudian menunduk mengambil HP-nya dan hendak naik ke atas namun diurungkan karena kepikiran sesuatu. Ru menoleh, menatap sang Mami yang sedang fokus dengan tablet di tangannya, duduk di salah satu sofa dekat dengan dia tadi. “Mam, kalau aku nggak ikut ke Gereja nggak apa-apa kan?”
“Kenapa memang?”
“Aku males aja,” Ru mengedikkan bahu. “Waktu itu aku pernah ke Gereja dekat rumah sendirian. Tapi aku malah disautin, “Tumben ke Gereja.” gitu, dari situ aku jadi males ke sana lagi.” Jelas Ru.
Ru ingat banget hari itu, kayaknya itu adalah hari dimana Ru nggak akan pernah bisa melupakannya. Dia yang sudah niat banget bangun pagi buat ibadah, malah diperlakuin kayak gitu pas sampai sana. Ya... walaupun Ru juga heran kenapa dia hari itu ke gereja dekat rumah, padahal Ru biasanya pergi sama Ginta—biar pulangnya sekalian jajan di gerobak lontong sayur yang enak di dekat gereja itu—tapi kayaknya karena Ginta nggak bisa jemput Ru, alhasil Ru pergi ibadah ke yang dekat komplek perumahannya aja, biar bisa jalan kaki gitu.
“Kita nggak ke sana, Ru.”
“Terus?” Ru menaikkan alisnya.
“Ke dekat kantor Papi. Bakalan ada yang mau ngeliput dari SNN.”
Nah ini dia inti dari ajakan itu. Ru harusnya memang sudah menebak. Ajakan pergi ibadah bareng itu rasanya mustahil—kecuali dulu waktu Mami dan Papi belum sesibuk sekarang—mau pergi makan malam keluarga aja jarang karena kesibukan orang tua Ru, apalagi mau ibadah bareng kayak dulu. Sebelum sesukses sekarang, keluarga mereka jelas pernah hidup melarat. Ru nggak berani membayangkan kehidupan masa lalu dan membandingkannya, karena menurut Ru selalu ada suatu hal yang harus dibayar untuk mendapatkan suatu hal yang lain.
Dan untuk kasusnya, kehilangan momen bersama dengan orang tua adalah bayaran yang harus diberikan Ru untuk semua fasilitas dan kehidupan nyaman yang ia rasakan sekarang. Gapapa, Ru lebih memilih hidup begini daripada nggak punya uang.
“Ru...” panggil Mami dan langsung membuat Ru menoleh. Wanita dengan terusan blouse dan rambut yang tetap ditata rapi meskipun ini hari libur itu menatap anak satu-satunya dengan pandangan lurus, seolah sedang menimbang sesuatu. “Senin besok kamu dianter Omen lagi nggak apa-apa.”
“Serius, Mam?” kedua mata Ru membulat senang. Dia jelas nggak menyangka kalau hari ini datang juga dihidupnya, dia kira hukumannya bakal berlangsung selama setahun atau malah lebih. Tapi... “Kok Mami ngebolehin lagi?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️
Teen Fiction"Kita ini apa, Jen?" "Nggak bisa kah kita kayak gini aja, Ru?" ***