RAJENDRA memandang lurus pada bintang dan bulan yang kini sedang bahu-membahu menyinari Bumi menggantikan sang dewa matahari yang sudah beristirahat di peradabannya. Cowok itu duduk di salah satu kursi di teras rumahnnya dengan kaos santai dan celana pendek selutut. Tidak ada suara apapun seolah dia memang sedang membiarkan keheningan mengambil alih sekarang.
Hari ini, dia berhasil melawan rasa takutnya dan kembali membawa kendaraan yang sudah lama hanya terparkir di garasi mobil di rumahnya saja. Rajendra tidak pernah berpikir kalau dia akan membawa mobil itu lagi keluar, namun ternyata itulah yang terjadi sekarang.
Diam-diam dia menunduk, menatap telapak tangannya dengan dalam. Perasaan gemetar itu jelas masih tersisa, namun Rajendra senang karena dia bisa mengatasi traumanya. Yang masih tak disangkanya adalah, bagaimana bisa dia membiarkan orang lain kembali masuk ke dalam dunianya yang berantakan.
Dia tak percaya pada ungkapan takdir, sedangkan kata kebetulan terkesan terlalu dipaksakan. Rajendra menghela napas dan memejamkan mata. Kepalanya ia bawa bersandar sambil menengadah ke langit-langit plafon di teras rumahnya. Bayangan masa lalu yang sudah lama tidak hadir itu kembali muncul sejak ia menjajaki lagi tempat 'bersejarah' itu.
"Kamu belum tidur?" suara ayah terdengar menyapa.
Rajendra sontak membuka kedua matanya dan duduk tegak. Dia menggeleng, menjawab "Belum." bersamaan dengan sang ayah yang membawa dirinya duduk di salah satu kursi kosong di sebelahnya.
"Gimana tadi? Lancar?" suara ayah kembali terdengar. Sorot mata bertanya khas kebapakan terlihat melewati lensa kacamata yang dipakainya.
Dia mengangguk. "Iya, Yah. Ru juga terlihat antusias diajak keliling." Ada senyuman yang menghiasi wajah Rajendra saat mengingat momen tadi siang. Dia sama sekali tidak menyangka kalau cewek itu tidak mati kebosanan mengingat bagaimana dia terlihat sangat tersiska ketika mendapatkan tugas dari gurunya saat itu.
Sinaga tentu saja menyadari perubahan suasana hati sang anak saat ini dan dia ikut tersenyum. Rasanya, sudah lama dia tidak melihat putranya tersenyum saat membicarakan sesuatu. Sinaga bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir hal itu terjadi.
"Bagus kalau begitu. Kalau soal bawa mobil, lancar-lancar saja kan? Tadi Ayah kepikiran sekali, tapi ayah percaya kamu bisa melakukannya."
"Itu juga lancar, Yah. Alhamdulillah."
"Syukur kalau gitu."
Keduanya terdiam. Sibuk berdebat dengan pikiran mereka masing-masing. Rajendra mulai menimbang, apakah dia perlu mengatakan soal kunjungannya ke 'destinasi bersejarah' mereka masa lalu atau sebaiknya dibiarkan tak perlu diceritakan? Meskipun mereka sama sekali tidak pernah membicarakan soal masa lalu sejak kepergian Ibu, tapi mungkin saja apa yang dirasakan sang ayah sama seperti apa yang ia rasakan; bahwa mereka sama-sama rindu kembali ke masa itu.
Karena itulah, akhirnya Rajendra memilih untuk bicara. Tubuhnya sedikit menyerong masih dalam posisi duduk untuk menghadap ke Ayah yang sedang menatap pagar rumah mereka dengan minat berlebih.
"Yah?"
Sinaga menoleh, memberikan pandangan bertanya pada Rajendra.
Keraguan mulai melingkupi, apakah ayahnya akan terbuka jika dia mengatakan soal yang satu ini. Namun, yang akan diceritakannya ini adalah bagian dari masa lalu mereka. Ingatan masa lalu yang mereka miliki bersama.
"Ayah inget taman buatan yang biasanya selalu kita kunjungi tiap akhir pekan? Yang banyak pedagang makanan dan minumannya itu."
Kening Sinaga nampak berkerut mengingat. Rajendra menunggu sambil melihat perubahan ekspresi sang ayah. Kalau soal daya ingat, Sinaga jelas memiliki daya ingatan yang masih tajam, tapi hal itu tidak menutup kemungkinan kalau sang ayah akan lupa tentang hal itu. Melihat kedua mata ayahnya yang membulat seolah mengingat sesuatu hal Rajendra tersenyum kecil dan menambahkan. "Tadi saya dan Arunika mampir ke sana. Dan ternyata tempat itu masih ada." katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Itu Kamu | Lee Jeno ✔️
Teen Fiction"Kita ini apa, Jen?" "Nggak bisa kah kita kayak gini aja, Ru?" ***