Di sekolah kami dulu, biasanya saat sore menjelang, kami semua mencari aktivitas yang dapat merehatkan otak kami sejenak. Banyak yang megerubungi koperasi jajan ini itu. Banyak yang masuk gym demi mengeluarkan keringat. Banyak yang sekadar duduk-duduk di pinggir lapangan, menonton beberapa klub ekstrakulikuler yang sedang latihan.
Sedikit dari kami, hanya sedikit, segera kembali ke asrama, mandi, dan berpakaian yang lebih layak, lalu kembali ke masjid. Masjid kami bukan sekadar tempat persinggahan untuk sholat semata. Lantunan Al-Quran tak berhenti dilafadzkan di sana.
Di sanalah orang itu duduk. Di pojokan masjid. Di bawah pohon besar yang anginnya semilir meniup lembut. Dengan serius dia membuka lembaran demi lembaran, bibirnya terus bergerak, mengingat kembali ayat-ayat yang sudah dihapalkan sebelumnya.
Orang itu memilih Al-Quran sebagai pelarian atas penatnya otak kami. Setelah diserang berbagai macam pelajaran, Al-Quran yang orang itu pilih sebagai penenangnya.
Wahai engkau, yang duduk di pojokan sana, salamku untukmu. Kau tak henti-hentinya membuatku terpana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Kita
Teen FictionKamu menjadikanku ratumu, tetapi bukan kamu rajaku. Salahku. -Maria Malahayati- Aku mencintaimu tanpa izinmu. Salahku. -Ananda Zainal- Dia lebih tepat bagimu. Salahku. -Fatih Ghani-