"Nape lu, muka kusut amat?"
"Wkwkwk, kayaknya lu tuh nggak ada hari tanpa cari sensasi, ya!", ejek Aldi salah satu temanku, atau mungkin sekarang lebih pantas disebut sobatku.
Aku sudah mengenal Aldi sejak pertama masuk sekolah ini. Dia sudah mengejekku sejak pertama melihatku menangis karena berpisah dengan Ayah dan Mamah di pintu gerbang. Yang jelas, sampai sekarang dia tidak berhenti mengejekku.
Aku bukannya tidak pandai berteman dengan perempuan. Aku punya banyak teman perempan yang benar-benar dekat denganku. Ada Nana dan Fira misalnya. Tetapi, entah kenapa Aku, Nanda, dan Aldi benar-benar klop kalau sudah bersama.
Kami bisa serius belajar materi untuk ulangan bersama. Kami bisa kompak mengerjakan tugas kelompok. Kami juga bisa ketawa cekikikan menertawai kebodohan kami sendiri. Seperti saat ini, Aldi dan Nanda begitu asiknya mencemooh wajah cantikku ini.
"Kopsis tutup, njir!"
"EITS! Language, please!", tegur Nanda.
"Gue kehabisan amunisi di kamar dan besok jadwal liburan laki-laki. Apa salah hayati?", ratapku sambil menengadah ke langit.
"Lu pada nggak ada yang mau traktir gue snack apa besok. Titip elah.", pintaku pada mereka.
"Cabut!"
"Caw!"
"WOY!"
Mereka benar-benar meninggalkan aku dalam ketidakpercayaan.
"Maria, ayo!', sahut Nurul, teman kamarku, memanggilku.
"Eh, udahan nganter laundry-annnya?"
"Iya, udah. Ayuk!"
***
"Nih!", Nanda menaruh plastik putih sedang ke atas mejaku.
"Apaan, nih?", kataku sedikit sinis. Aku masih sok-sok merajuk dengan sikap mereka kemarin dan ogah menyapa mereka pagi ini saat bertemu di jalan.
"Lah, kemarin pesan apa? Jajanan, kan? Ya, ini!"
"Dih, basi!"
"Yee, niatnya mau dikasih semalam. Eh, ternyata Pak Iwan ngajakin makan malam bareng-bareng anak walinya. Ya udah, nggak jadi, deh."
"Ini gue ngutang apa apa, nih?", tanyaku masih sinis sambil melihat isi plastik yang semuanya jajanan kesukaanku.
"Tuh, kan, gue kata juga apa, ini si nona satu nggak usah diladenin, Nanda, Nanda!", kata Aldi mengejekku.
"Dih, apaan sih, lo! Sewot aja!"
"Ck! Diem dah! Free, buat kamu semuanya."
"Kamu?! Uweeek..", aku benar-benar geli mendengar kata-kata 'kamu' keluar dari Ananda. Rasanya bukan 'kami banget'.
"HAHAHA. Udah jangan marah lagi. Ntar makin jelek lagi."
"EMANG UDAH JELEK!", balas Aldi sambil berlari keluar dan menertawaiku.
***
BRAK!! Pintu kelas kami dibuka dengan kencangnya.
"Maria, Maria, Mariaaaaa!", Amat, salah satu temanku berteriak memanggilku seolah-olah dia sedang melakukan pertunjukan paduan suara.
Tiba-tiba orang itu juga memasuki kelasku dengan terengah-engah. Melihat orang itu tiba-tiba masuk, Amat langsung menghampiriku.
"Ini titipan dari dia, tapi malu mau ngasihnya. Dimakan yah!"
"AMAT!!"
Amat berlalu keluar menghindari tangkapan orang itu. Orang itu benar-benar terlihat canggung dan langsung keluar juga dari kelas kami. Tinggallah aku yang masih tercengang, masih terheran-heran dengan sikap mereka.
"CIEEEEEEEEE!!!"
Wajahku langsung merona merah mendengar teman sekelasku teriak. Aku langsung menyembunyikan wajahku. Jantungku rasanya mau copot. Detakanya terlalu kencang sampai rasanya bisa terdengar sampai di luar kelas. Tanganku bergetar, tetapi aku hanya bisa terpaku di tempat dudukku.
Ananda yang tadinya sibuk haha-hihi dengan para lelaki di pojokan kelas, tiba-tiba menatapku dengan pandang aneh. Pandangan Aldi lebih aneh. Bukan padaku, tetapi pada Nanda. Pandangan yang seperti kasihan. Entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Kita
Fiksi RemajaKamu menjadikanku ratumu, tetapi bukan kamu rajaku. Salahku. -Maria Malahayati- Aku mencintaimu tanpa izinmu. Salahku. -Ananda Zainal- Dia lebih tepat bagimu. Salahku. -Fatih Ghani-