Lorong

2 0 0
                                    

Hari ini cuaca sedang panas-panasnya. Rumput di lapangan sudah tampak menguning karena tak tersiram air hujan berhari-hari. Awan pun sepertinya enggan muncul memayungi kami dari teriknya matahari.

Aku hendak kembali ke kelas setelah makan siang di kantin. Aku meninggalkan teman-temanku yang masih asyik makan siang sambil ngobrol ngalor ngidul, sementara aku ingin segera kembali ke kelas. Menikmati udara dingin AC di kelas sepertinya jadi pilihan paling nikmat setelah makan siang.

Tepat di persimpangan aku melihat Nanda, Aldi, dan orang itu berjalan beriringan. Mereka berjalan lambat sekali, asyik haha hihi. Aku bersegera mendahului mereka karena tidak tahan dengan teriknya matahari. Aku hanya berharap mereka sibuk bercanda sampai tak tahu ada aku. Semoga!, pikirku.

Aku tak nyaman jika Nanda bersama orang itu. Aku tak mau mereka tak bisa berteman karena aku. Tapi, sekarang sepertinya aku yang tak bisa berteman dengan mereka. Rasanya seperti the trouble maker yang ditendang dari circle. Sedih, pikirku.

Kelas kami berada di lantai dua. Aku merasa seperti akan bertemu mereka kalau aku lewat tangga kanan, jadi aku pilih tangga kiri untuk naik ke atas.

Aku melewati kelas Fira dan dia menanyakan soal ulangan matematika tadi. Kelas kami memang sudah ulangan duluan. Fira dan teman-temanya sedang stres belajar dalam kelas karena materi kali ini benar-benar sulit.

Aku menjelaskan beberapa hal pada Fira dan teman-teman yang lain. Aku tak keberatan berbagi dengan mereka. Lagi pula Bu Nisa sudah bilang soalnya sama, tapi angkanya pasti berbeda. Walaupun aku memberitahu mereka cara mengerjakan soal, jawabannya pasti berbeda.

Setelah selesai dengan mereka, aku langsung keluar menuju kelasku. Mengajari mereka tadi membuatku berpikir lagi apa jawabanku sudah betul tadi. Sepertinya, ada bagian yang salah pada jawabanku.

Aku mengkhayal. Aku tak memperhatikan jalanku. Sialkah atau beruntungkah aku?

Bruk!!

"Eh!" Aku menabraknya! Aku! Orang itu!

Kami tepat di depan tangga. Aku menabraknya. Dia memegang lenganku, menahanku yang hampir oleng.

Kami tepat di depan tangga. Aku menabraknya. Aku menarik bagian kancing bajunya. Aku takut dia terjatuh karena oleng. Kami saling menahan.

"AHH!" Aku langsung melepaskan tanganku dan menarik tubuhku menjauh. Tak mau berkata apa-apa aku langsung berlari meninggalkannya.

Aku melirik padanya dan melihat Ananda yang melihat orang itu dengan pandangan tak suka. Ananda lalu berjalan mengikutiku.

Di belakangku, aku mendengar teman-temanku yang lain bersorak sorai melihat adegan kami tadi. Aku tak peduli. Aku benar-benar malu.

***

Siang ini aku tak bisa fokus pada pelajaran. Aku benar-benar tak bisa menengok ke kanan atau ke kiri. Bahkan melirik pun aku tak berani.

Aku tak enak pada orang itu tadi. Aku tahu betul dia tak pernah mau menyentuh perempuan. Bahkan pada guru kami yang masih muda, dia memilih menunduk dan memberi salam. Aku malah membuatnya menyentuhku. Aku takut dia marah padaku.

Pandangan Nanda tadi benar-benar membuat perasaanku tak enak. Aku jadi mengingat pengakuannya liburan kemarin lewat telepon.

***

'Mar, gue boleh nelpon, nggak?'

Aku yang baru saja keluar bersama orang tuaku mengecek handphone-ku dan melihat pesan Nanda. Tanpa ragu aku langsung menelepon Nanda. Hanya dua deringan, Nanda sudah mengangkatnya.

"Halo, assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam, sorry-sorry, gue tadi keluar sama ayah mamah. HP-nya nggak dibawa. Gimana-gimana?"

"Abis dinner?"

"Beileh, dinner. Makan bakso!", aku sedikit terkekeh menjawab Nanda.

"Ya, kan, bener dinner. Bukan lunch.", Nanda melucu garing.

"Sibuk nggak?", tanya Nanda padaku.

"Nggak. Kenapa, sih?"

"Ada yang pengen gue omongin."

"Apaah?", tanyaku penasaran. Tetapi, sepertinya aku tahu yang ingin dibicarakan Nanda.

"Gue pengen jujur aja. Gue nggak suka memendam sendiri. Kayaknya lebih lega kalau gue bilang."

Aku hanya terdiam mendengar Nanda. Nanda pun mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya.

"Sebenarnya, sejak kita masih kelas sepuluh, tuh, gue udah lama merhatiin lu. Walaupun lu nggak begitu kenal sama gue. Eh, kita sekelas kelas sebelas. Gue seneng banget, deh. Takutnya kelas dua belas nanti kita nggak sekelas lagi, terus jarang main bareng lagi, jadi gue pengen bilang, gue suka sama lu, Mar." Aku hanya diam.

"Gue bukannya mau ngajak lu pacaran atau apa. Cuma pengen ngutarain aja, biar hari gue lega. Nggak apa-apa, kan?"

"Iya, nggak apa-apa.", jawabku.

"Gue juga nggak mau pertemanan kita berubah. Lu, gue, sama Aldi tetep temen baik, kan?"

"Iya... Nanda... gue..." butuh waktu lama bagiku untuk menyelesaikan kalimatku, tetapi Nanda sudah memotongku terlebih dahulu.

"Iya, gue tau lu suka sama Fatih. Mungkin duluan lu suka sama dia dibanding gue suka sama lu. Gue nggak masalah. Cuma, siapa tahu, kedepannya nanti, kalau lu udah nggak suka lagi sama dia. Jangan jauh-jauh ngeliatnya, ada gue yang nungguin di belakang lu."

"Mar?", Nanda memanggilku karena aku tak memberi jawaban apa-apa.

"Iya.", jawabku pelan.

"Yaudah, gue cuma mau bilang itu aja. Udah, gih, bobo, udah malem."

Aku bisa membayangkan Nanda mengatakan itu sambil tersenyum. Ia selalu tersenyum hangat padaku. Tak pernah sekalipun bermuka masam apalagi sinis. Aku benar-benar merasa tak enak hati. Aku tak bisa menjadi gayung bersambut bagi Anandaku.

Salah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang