Perpustakaan

0 0 0
                                    

Sore ini, aku dan orang itu, membuat janji untuk mendiskusikan presentasi tersebut. Kami bertemu di perpustakaan untuk mencari bahan materi. Kalau bahannya dirasa belum cukup kami akan mencari lewat online di lab komputer.

Kami sudah membuat kerangka materi untuk presentasi kami. Bagian-bagian apa saja yang dibutuhkan dalam presentasi dan makalahnya. Tugas ini tetap membutuhkan laporan secara tertulis.

"Kamu cari dari 1-3. Aku sisanya, yah."

"Iya", jawabku dan langsung mencatat dalam note kecilku apa-apa saja yang harus dicari. Over all, dia memberikanku bagian yang mudah untuk dicari.

Aku segera menuju rak-rak untuk mencari buku yang berisi materi kami. Aku mengumpulkan buku-buku yang relevan dan membawanya ke meja untuk kutulis materi-materi yang dibutuhkan dalam presentasi.

Aku benar-benar berusaha untuk fokus dalam pencarian materi ini. Aku ingin melaksanakan presentasi ini dengan sebaik mungkin. Aku tak ingin membuatnya kecewa.

Tetapi, ah, bagaimana aku bisa fokus. Sosoknya yang berdiri, hanya berdiri dan membuka buku, kenapa harus seganteng itu, jeritku dalam hati.

"Mariaaaaaa!", Nana berteriak saat membuka pintu perpustakaan saat melihatku.

Pak Jamil, penjaga perpustakaan berpura-pura kaget dan mendecak melihat Nana. Nana hanya terkekeh dan mengatupkan tangannya, meminta maaf kepada Pak Jamil.

"Parah banget, ke perpus nggak ngajak-ngajak.", rengek Nana kepadaku.

"Lah, kan tadi gue ngomong mau nyari materi presentasi."

"Ya gue kira lu mau nyari online. Jam segini, mah, males ke labkom. Pada berisik bocah-bocah."

Sore seperti ini memang banyak anak laki-laki yang main ke lab komputer. Pak Syamsudin memang pengertian sekali. Ia mengizinkan siapa saja yang mau bermain di sana. Entah main game atau internet.

Semua boleh mereka lakukan dengan syarat, tidak boleh menggunakan komputer yang khusus dipakai oleh anak-anak yang mengikuti lomba komputer dan jam lima tepat semuanya harus sudah kembali ke asrama untuk persiapan sholat Maghrib. Oleh karena itu, di jam-jam segini, labkom hanya penuh teriakan anak laki-laki yang semangat bermain game. Tidak mungkin bisa mencari materi di jam segini.

"Ha?! Lu lagi sama Fatih?!", tanya Nana langsung menutup mulutnya.

"Yaiyalah, mau sama siapa lagi."

"Mampus, gue sama Nanda lagi."

"Lu pasangan sama Nanda?"

"Iya, btw Nanda bete banget lu sama Fatih."

"Serius?", tanyaku sedikit membelalakkan mataku.

"Iya, tapi nggak apa-apa. Tenang ada gue. Udah nikmati waktu lu bersama-sama ya cantikku sayang. Nanda gue tahan biar nggak usah ke sini. Dadah Mariaaaa!!", Nana pergi sambil memberikan kiss bye padaku.

"Kenapa itu Nana?"

Masih terlihat Nana di pintu perpustakaan, orang itu mendatangiku.

"Hmm? Nggak apa-apa. Cuma nanya ngapain.", jawabku sekenanya. Aku berharap dia tak mendengar perihal Nanda yang tak suka aku berpasangan dengannya. Aku tak mau kalau orang itu tahu.

Kami mulai mengumpulkan materi-materi yang cocok dengan kerangka presentasi kami. Aku tak banyak menambahkan ide-idenya. Menurutku sudah cukup baik. Aku suka mendengarkannya banyak menjelaskan. Aku suka mendengarkan suaranya. Tidak pernah sejelas ini. Tidak pernah sedekat ini. Kesempatan emas dalam tiga tahun. Ini benar-benar hadiah ulang tahun terakhirku di sekolah ini.

"Kayaknya yang ini belum dapet. Udah dicari-cari juga belum memuaskan penjelasannya.", jelas orang itu menunjuk satu bagian materi yang belum terjawab.

"Mau dilanjutin besok?", tanyaku.

"Hmm, nggak usah biar nanti aku cari di labkom aja, yah. Nanti kalau udah ketemu, aku kasih kabar. Terus langsung susun laporannya sama gambarnya juga."

"Gambarnya nanti aku aja. Di kamar ada alat-alat buat gambar juga.", usulku padanya.

"Jadi, gambarnya mau dibikin di kamar Maria aja?"

"Kalau aku bikin sendiri takut nggak sesuai, apa bikin sama-sama di aula aja?", aku memberikan jawaban dengan takut. Takut-takut kalau dia menolak ajakan ku. Aku belum mau berpisah secepat ini.

"Boleh. Berarti nanti kalau materinya udah lengkap dikabarin lagi, ya."

"Iya, siap."

"Yaudah, pulang, yuk! Udah mau jam lima."

"Iyah, ayuk."

Dia berjalan duluan di depanku sambil membawa buku-buku yang kami perlukan. Aku menunggunya selesai meminjam buku agar bisa keluar bersama. Kapan lagi aku bisa seperti ini dengannya.

Orang itu membuka pintu perpustakaan. Dia tak langsung melepas gagang pintunya. Dia membuka lebar pintunya dan membiarkan aku lewat terlebih dahulu tanpa melihat ke arahku. Dia hanya menunduk atau melihat ke depan. Begitulah Fatih Ghani, tak pernah mau menatap langsung pada perempuan kalau tak ada kepentingan apapun.

Dia kembali berjalan di depanku. Banyak anak-anak yang terlihat keluar dari gedung sekolah. Memang sudah jamnya untuk kembali ke asrama. Sesekali orang itu disapa oleh adik kelas. Ia pun menyapa balik dengan ramah.

Orang itu melirik ke belakang. Mungkin melihat apakah aku masih ada di belakangnya atau tidak. Tenang saja, aku masih mengikutimu. Bolehkah aku mengikutimu seumur hidupku, hatiku nyeri sendiri memikirkan hal itu.

"Maria!"

Ada yang memanggilku dari belakang. Aku tahu benar suara siapa ini.

"Nanda?"

"Udah mau balik asrama?"

"Iya ini baru mau balik. Lu darimana?"

"Dari labkom disuruh Nana cari materi. Sini bukunya gue bawain."

"Nggak usah, nggak berat ini."

"Udah sini. Yuk gue anter sampe depan asrama. Gue sekalian mau ke rumah Pak Iwan.", jelas Nanda seraya mengambil buku yang ada di tanganku.

"Lu mau langsung masjid atau ke asrama dulu?", Nanda bertanya kepada orang itu.

"Ke asrama dulu."

"Oh yaudah, gue nemenin Maria dulu, ya. Ayo, Mar!"

"Iya, iya."

Aku berjalan mendahului orang itu dan membalikkan badanku. Aku bingung harus berkata apa. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan menunjuk ke arah asrama dengan jempolku. Dia pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum dengan begitu manisnya. Ah, Nanda kenapa harus sekarang, ringisku dalam hati.

Aku tak begitu menikmati perjalanan ini. Aku ingin cepat sampai ke asrama. Tak seperti yang tadi, aku berharap butuh waktu lama untuk sampai ke asrama.

"Gue gangguin lu, ya?"

Ananda tiba-tiba berbalik badan dan menodongku dengan pertanyaannya.

"Nggak.", jawabku pendek.

"Bo'ong."

"Apa sih. Nggak." Aku berusaha untuk tidak terdengar sinis. Tetapi, memang benar. Aku merasa Nanda benar-benar menggangguku kali ini.

"Gue nggak mau kayak gini tapi hati gue sakit banget, Mar. Rasanya kalau tadi gue biarin lu pulang sama Fatih gue bisa ngamuk-ngamuk di asrama nanti. Maafin gue, ya."

Aku hanya mengangguk kecil tanpa melihat ke arahnya. Hatiku sakit mendengar Nanda seperti itu. Tetapi aku bisa apa.

"Dimaafin nggak guenya?" Kali ini Nanda bertanya sambil menundukkan tubuhnya untuk melihat ke wajahku.

"Nggak, kecuali ada yang kasih gue permen entar malem.", jawabku dengan nada mengejek. Aku ingin mencairkan suasana.

"Nggak ada, nggak ada. Permen mulu! Sakit lagi nanti giginya. Dah, nih, bukunya. Gue mau balik."

"Katanya tadi mau ke rumah Pak Iwan?"

"Ya bo'onglah.", jawab Ananda sambil tertawa meledek padaku.

Salah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang