"Nah, ini materi presentasinya, ya. Kita undi biar asik. Yang dapat materi yang sama berarti pasangannya itu. Oke, oke!", kata Pak Didi sambil mengeluarkan sebuah tabung besar.
"Aahhhhh. Paaakkk!!!", teriak kami kecewa.
Sedari minggu lalu, Pak Didi memang sudah mengatakan kepada kami bahwa dua Minggu ke depan kami akan melakukan presentasi berpasangan. Laki-laki dan perempuan.
Kami sudah berencana banyak hal. Yang berpacaran diam-diam sudah merencanakan bersama. Yang sama-sama ambisius juga sudah merencanakan materi yang bagus. Jelas saja kalau kami kecewa. Rencana kami berantakan.
Aku sendiri sudah berencana untuk berpasangan dengan Nanda dan Aldi. Jumlah siswa di kelas kami ganjil, tidak mungkin ada yang presentasi sendiri. Jadi, kami memperkirakan akan ada yang presentasi bertiga.
Kami juga tadinya sudah berjanji untuk Nanda dan Aldi yang akan mencari materi, aku yang akan membuat gambar untuk presentasinya. Sepertinya gagal sudah rencana kami.
"Ini, kan, jumlah muridnya 19, ya, kalian. Ada satu materi yang ada tiga gulungan. Jadi, satu materi itu akan dipresentasikan oleh tiga orang. Jelas materinya harus lebih susah dibanding materi yang lain karena dikerjakan tiga kepala. Ayo maju satu satu buat ambil undiannya!", jelas Pak Didi pada kami.
Kruk! Kruk! Kruk!
Sultan yang pertama maju berusaha mengaduk-aduk gulungan yang ada di dalam.
"Kaga usah diaduk-aduk, Pak Haji. Udah mateng!", kata Erza sambil memukul tangan Sultan.
"Nggak keliatan ini tulisannya. Mau diaduk bagaimana juga!", timpal Ananda.
Kami semua menertawakan kelakuan Sultan. Tulisan di gulungannya memang tidak akan kelihatan. Gulungan kertasnya dimasukkan lagi ke dalam sedotan.
Aku pun mengambil gulungan sekenanya. Tidak peduli yang mana. Toh, sama saja. Kecuali aku bisa memilih untuk bersama orang itu. Mungkin jadi berbeda. Hehehe, aku jadi terkekeh sendiri.
Aku segera duduk di kursiku setelah mengambil gulungan. Aku membuka buku dan menghitung peluang dari sembilan materi, kira kira berapa besarkah peluangku untuk mendapat materi yang sama dengannya.
"Yang disebutkan materinya angkat tangan, ya!"
Pak Didi mulai menyebutkan satu per satu judul materi yang sudah disiapkannya.
Aku membuka gulunganku dan entah kenapa dadaku berdegup sangat kencang. Padahal, materinya biasa saja. Aku pun belum tahu siapa yang materinya sama denganku.
Sudah ada beberapa pasangan yang disebutkan oleh Pak Didi. Beberapa diantaranya sepertinya berjodoh. Mereka yang sudah berencana untuk bersama-sama betul bisa bersama.
Ada juga yang kecewa karena tidak sesuai keinginannya. Seperti Caca yang akan berpasangan dengan Sultan. Dia benar-benar kecewa nampaknya. Caca adalah anak yang sangat ambisius, sementara Sultan terlalu santai bahkan terkesan selalu bermain-main dalam hal apapun.
"Awas aja lu, main-main doang gua laporin ke Pak Didi!", ancam Caca pada Sultan.
"Iihh, serem. Atuutt.", ledek Sultan yang langsung disambut tawa oleh anak laki-laki yang lain.
Caca terus melotot pada Sultan. Ia tak mau nilainya sampai jelek karena Sultan. Yang Caca tak tahu, walaupun suka bercanda seperti itu, nilai Sultan tidak pernah tidak di atas rata-rata. Caca memang sebelumnya tidak pernah satu kelas dengan Sultan.
Tiba saatnya Pak Didi menyebutkan materiku. Aku langsung mengangkat tanganku dan melihat-lihat kira-kira siapa yang akan menjadi pasanganku.
"Woooooo!!"
"Aaaakkkkk"
Teriakan teman-teman membuatku kaget. Tetapi, yang mengangkat tangan denganku lebih mengagetkan lagi. Iya. Dia. Orang itu. Fatih, yang berada di sebelah kananku mengangkat tangannya juga.
Jantungku serasa akan jatuh ke lantai. Aku baru saja melucu sendiri dengan menghitung peluang kami bisa presentasi bersama. Tak terpikir bahwa akan benar terjadi.
Teriakan mereka tak henti-hentinya memekik. Wah! Bakal jadi bahan ejekan sebulan ini, pikirku.
"Sstt!! Ya ampun! Teriakan kalian, noh! Kedengeran sampe asrama.", kata Pak Didi sambil ketawa.
"Maria ulang tahunnya kapan?", tanya Pak Didi melanjutkan bicaranya.
"Bentar lagi, Pak.", teriak anak-anak perempuan menjawab Pak Didi.
"Oh, yaudah. Berarti hadiah ulang tahun dari saya ini. Hahahaha!"
Tawa dan teriakan gembira semakin membahana di kelas ini mengikuti ledekan dari Pak Didi. Pak Didi memang guru muda yang sangat gaul. Dia tahu gosip-gosip yang beredar di antara kami. Sudah jelas dia tahu ada apa antara aku dan orang itu.
Aku takut untuk mengangkat kepalaku. Aku terus menyembunyikannya dengan tanganku. Mukaku pasti sangat merah sekarang. Tetapi, aku lebih takut lagi melihat bagaimana reaksi orang itu. Tak sukakah dia diejek sampai seperti ini. Aku benar-benar takut dia marah.
***
"Ca, lu tadi ngeliat, kan, gue diledekin di kelasnya Pak Didi?", tanyaku pada Caca setelah kami kembali ke asrama.
"Buta kali gue kalau nggak ngeliat.", jawab Caca sambil melanjutkan menjemur pakaiannya.
"Terus, lu liat ke belakang nggak?"
"Pas kapan?"
"Ya, pas gue diledekin."
"Lu diledekin ada kali sepuluh menit. Apakah seorang gue nengok ke belakang terus selama sepuluh menit tak henti-henti kiranya, Maria Malahayati?", jawab Caca dengan sedikit menyindirku.
"Ya, kali..."
Aku bingung harus melanjutkan pertanyaanku bagaimana. Sebenarnya, ada alasan mengapa aku bertanya pada Caca.
Caca orangnya sangat serius dan objektif. Dia jarang bermain-main atau bercanda. Dia tidak pernah mengejek orang secara berlebihan.
"Lu mau nanya reaksi Fatih waktu diejekin?"
Nah! Ini dia! Ini baru Caca dengan sensitivitas yang kuat. Aku langsung senyum manis mendengar pertanyaannya.
"Ketawa. Dia ikut senyum-senyum, tuh!"
"Beneran? Dia nggak marah atau annoyed gitu?", tanyaku langsung menyambar tangan Caca.
"Nggak, Maria cantik, anak baik, anak sholehah. Udah yaa, gue udah selesai jemurnya. Sekarang gue mau balik ke kamar. Lu mau ngikutin gue lagi?"
"Nggak. Makasih, Caca!", kataku sambil memeluk tangannya. Caca hanya mendengus melihatku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Kita
Novela JuvenilKamu menjadikanku ratumu, tetapi bukan kamu rajaku. Salahku. -Maria Malahayati- Aku mencintaimu tanpa izinmu. Salahku. -Ananda Zainal- Dia lebih tepat bagimu. Salahku. -Fatih Ghani-