Tahun Ketiga

4 0 0
                                    

"AAAAAAKKKK!!!!"

"Buset, dah! Ngapa lu?!"

Aku hanya ternganga setelah melihat daftar pembagian kelas. Bagaimana bisa aku sekelas lagi dengan orang itu. Padahal, aku sudah merasa begitu damai ketika tak sekelas dengannya.

Bukan apa-apa, ini artinya setiap hari aku harus mempersiapkan jantung dan hatiku bekerja dengan lebih ekstra. Aku lebih dapat menanggung kerinduan karena tak bisa selalu melihatnya daripada harus menanahan debaran karena selalu melihatnya.

Aku, Nanda, dan Aldi sekelas lagi. Sepertinya kami memang ditakdirkan untuk terus bersama. Sudah seperti tiga serangkai saja, pikirku.

***

Ini sudah tahun terakhirku di sekolah ini, tetapi rasanya seperti baru pertama masuk sekolah saja. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Setengah dari diriku menantikan hari ini, setengah lagi ketakutan. Tak pasti apa sebenarnya yang aku takutkan.

Sejak kejadian di poliklinik lalu, memang tak ada lagi kejadian berarti antara aku dan orang itu. Kami bersikap seolah tak ada apa-apa. Aku pun tak memberitahukan cerita tentang malam itu pada siapa pun. Rasanya lebih seperti mimpi daripada nyata. Aku memilih menyimpan cerita itu rapat-rapat dalam ingatanku.

Aku dan Nana segera menuju kelas setelah upacara selesai. Tadi, sesampainya di kelas, kami langsung meletakkan tas di sembarang meja yang masih kosong dan segera menuju lapangan. Kami sedikit terlambat saat menuju kelas. Masih sempat-sempatnya kami karaoke dadakan di kamar tadi pagi saat yang lain sudah buru-buru menuju kantin.

Aku tidak tahu aku duduk dekat siapa. Siapa cepat dia dapat, itulah motto kami dalam menentukan tempat duduk di kelas. Tidak harus siapa di mana. 

Barisan kedua adalah barisan yang paling diperebutkan oleh anak-anak. Tidak terlalu mencolok, tetapi tetap eksklusif dalam menerima pelajaran. Bangku belakang adalah bangku yang paling tidak diinginkan. Bangku belakang selalu jadi sasaran para guru dan tidak cocok untuk kami-kami yang sangat ambisius ini.

Namun, di sinilah aku sekarang. Duduk di barisan paling belakang berkat kebodohanku sendiri. Nana masih mendapat bangku di barisan ke empat berkat kaki sigapnya yang langsung menuju bangku kosong yang menjadi miliknya sekarang. Dia menertawaiku yang harus tertinggal di belakang sendiri.

Totalnya ada dua puluh bangku dan meja yang ada di kelas ini. Sementara, hanya ada sembilan belas siswa di kelas ini. Berarti akan ada kursi kosong satu di belakang. Tepat di sampingku.

Aku segera duduk di bangkuku dan mengeluarkan perlengkapan alat tulisku. Pagi ini, wali kelas akan masuk terlebih dulu untuk mengatur kelas kami, seperti menentukan ketua kelas dan sebagainya. Tetapi, aku lebih suka langsung menyibukkan diriku sendiri agar tak ada hal lain yang mengganggu konsentrasiku di kelas ini, orang itu misalnya.

Orang itu masuk bersama kawan laki-laki lainnya sambil tertawa-tawa. I can't help but looking at him! Oh my god! Ini akan menjadi tahun yang berat untukku.

Orang itu terus berjalan menuju ke arahku. Aku berusaha mengalihkan pandanganku dan menyembunyikan dadaku. Takut-takut kalau suara detakan jantungku terdengar hingga keluar. 

Dan di sinilah ia, duduk tepat di bangku di sampingku. Nana yang melihat hal itu langsung tertawa cekikikan dan saling pandang dengan temanku yang lain. Sudah menjadi rahasia umum, kalau aku menyukai orang itu, tetapi orang itu tak menyukaiku balik. Ini menjadi pemandangan yang menyenangkan bagi mereka dan menyiksa bagiku

Aku melihat Nanda juga duduk di bangku paling belakang, paling pojok dekat dinding. Jadi, aku, orang itu, dan Nanda duduk berderetan.

Wali kelas kami masuk dan langsung memberikan pengarahan ini itu. Beliau melihat ada satu kursi kosong di belakang dan segera memanggil OB untuk mengeluarkan kursi kosong itu karena tidak enak dipandang mata. Kami sudah maklum dengan kelakuan wali kelas kami ini. Beliau memang terkenal perfeksionis dalam segala hal. Bahkan susunan kelas pun sampai diurusinya. Beliau selalu mengatakan kalau kepalanya akan pusing kalau melihat sesuatu tidak rapi sesuai dengan keinginannya. Jadi, kami menurut-menurut saja saat ini.

"Itu yang di belakang sepertinya tidak cantik begitu, ya, penempatannya. Meja kalian tolong disusun supaya tepat di gang antara meja depan, ya. Biar wajah kalian juga kelihatan dari kursi guru ini. Itu kamu yang perempuan siapa namanya? Saya lupa.", kata wali kelas kami dengan cepat.

"Saya Maria, Bu."

"Oh, iya, Maria. Kamu pindah ke tengah, ya. biar laki-lakinya di pinggir-pinggir. Jadi, kelihatan cantik urutannya."

"Apa, Bu?"

Tiba-tiba seisi kelas bersorak ramai. Menertawai kami sekarang. Orang itu, aku, lalu Nanda. Sepertinya, deretan kami benar-benar jadi hiburan untuk mereka. Penempatan duduk kami sekarang seperti mewakili posisi hati kami. Entahlah. Aku berusaha tetap tenang dan biasa saja menghadapi ledekan anak-anak.

"Tempat duduknya jangan diubah-ubah lagi, ya. Saya sudah suka kelas kita seperti ini."

Teriakan seisi kelas makin kencang dan aku tak bisa lagi menyembunyikan rasa maluku. Artinya kami harus duduk dalam urutan seperti ini selama setahun penuh. Sepertinya, di tahun, ini, aku hanya harus selalu menghadap papan tulis dan tidak menengok ke kanan atau kiri. Dua-duanya 'setan' bagiku.

Ya Rabb, tolonglah hambamu ini.

Salah KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang