"Ya, ampun, Nanda! Lu ngapain ke sini hujan-hujan kaya gini?"
"Nggak apa-apa. Gue pakai jas hujan, kok! Nih, obat, susu, sama bakso kesukaan lu!", Ananda menyodorkan beberapa kantong plastik ke depanku.
"Nanda, lu gila, ya! Nggak gini juga kali, ya ampun! Diam dulu di situ!"
Aku buru-buru masuk ke dalam kontrakanku dan mencarikan handuk bersih untuk mengelap badan Ananda yang basah terkena hujan deran malam ini. Sepertinya, jas hujannya tidak begitu berguna untuk melindungi badannya yang tinggi dari air hujan.
Hari ini memang rasanya badanku terasa aneh. Rasanya lelah betul hingga begitu malas untuk berangkat ke kantor. Sekadar berbagi kabar pada Ananda seperti biasa, aku tidak menyangka sekarang dia muncul di depan kontrakanku. Lengkap dengan segala hal yang aku inginkan saat ini.
Aku segera menyodorkannya pada Ananda dan langsung disambutnya.
"Udah nggak apa-apa kali.", kekeh Ananda melihatku khawatir.
"Apanya yang nggak apa-apa coba! Ini udah hampir tengah malam, hujan deras pula. Rumah lu jauh dari sini, ngapain coba pake repot-repot datang ke sini.", omelku panjang lebar
"Ya, mau gimana lagi, gue baru pulang ini dari kantor. Lu kan lagi nggak enak badan. Gue cuma bawain obat, susu, sama bakso. Udah itu doang. Bukan bawa sekeluarga plus seserahan, biasa aja kali!", kekeh Ananda sekali lagi.
"Paan, sih. Lu mau masuk dulu apa gimana?"
"Ya, nggaklah! Masa gue masuk terus kita berduaan. Bahaya buat hati gue."
"Ananda!!!"
"Iya, iya, ampun Nona! Udah gue di sini, aja. Nunggu hujannya reda sedikit lagi.", kata Ananda sambil terus mengelap bagian tubuhnya yang basah.
"Udah lu masuk aja sana. Dimakan baksonya, susunya diminum, satu jam lagi baru obatnya diminum, terus bobo cantik, deh.", jelasnya sambil tersenyum menatapku.
Aku masuk ke dapur dan segera menghangatkan air di kompor. Kusiapkan satu teh melati dengan sedikit gula untuk Ananda. Dia tidak begitu suka makanan dan minuman manis. Namun, dia berusaha mengikuti seleraku yang suka makanan manis ini.
Sedang menunggu air mendidih, pikiranku melayang jauh saat kami masih duduk di bangku SMA, atau mungkin lebih tepatnya saat kami masih tidur di kasur sekolah asrama.
Entah bagaimana awalnya kami berkenalan, yang aku ingat setelahnya kami menjadi sangat cocok. Selera musik kami sama, selera warna kami sama, selera humor kami sama, selera film kami sama. Kami sefrekuensi dalam segala hal kecuali dalam hal makanan. Nanda tidak begitu menyukai makanan manis dan aku sangat suka. Nanda tidak begitu menyukai makanan pedas dan aku sangat suka. Intinya, kami bertolak belakang dalam hal makanan. Tetapi, di luar itu, kami benar-benar senada seirama.
Cocok. Itu kata-kata yang sering aku dengar dari orang-orang yang melihat kebersamaan kami. Apalah daya, tangan Ananda selalu berusaha menepuk tanganku, aku malah berusaha menepuk tangan orang lain yang menutup tangannya erat-erat dariku.
"Maria! Gue pulang dulu, ya!", teriak Nanda membuyarkan lamunanku.
"Eh! Tunggu sebentar! Ini tehnya udah jadi."
Aku buru-buru menuangkan air panas ke gelas, mengaduknya, menambahkan sedikit air dingin supaya bisa langsung diminum, dan membawanya ke teras kontrakanku.
"Elah, pake repot-repot segala."
"Udah cepat diminum terus langsung pulang. Bahaya tau pulang malam-malam begini."
"Senang banget, deh, rasanya kalau dikhawatirin begini sama kamu."
"Kamuuuuu...", ledekku padanya.
"HAHAHA"
Setengah jam setelahnya kami ngobrol ngalor ngidul. Artis-artis pun tak lepas dari bahan ghibahan kami. Aku sibuk menikmati bakso beranak kesukaanku dan Ananda sibuk menimpali semua perkataanku. Sudah kukata, kami benar-benar cocok. Seandainya saja...
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Kita
Teen FictionKamu menjadikanku ratumu, tetapi bukan kamu rajaku. Salahku. -Maria Malahayati- Aku mencintaimu tanpa izinmu. Salahku. -Ananda Zainal- Dia lebih tepat bagimu. Salahku. -Fatih Ghani-