Ayna bangkit dari duduknya. "Ish, apa-apaan, sih? Bukan mahram tau, Om. Kenapa gak Om aja yang angkat Ayna?" Dengan wajah kesal ia menatap kedua orang itu bergantian.
Satpam dan Arkan menatap satu sama lain, tampak pria berseragam itu menggaruk kepala, bingung. Apa dirinya mesti menikah dulu dengan plastik-plastik itu agar bisa ia pegang? Ya kali.
"Idih, kepedean kamu. Emang yang mau angkat kamu siapa?" Arkan mengalihkan pandangannya pada Ayna, ia berujar diselingi kekehan.
"Lha, terus kenapa nunjuk-nunjuk Ayna?"
"Aku tuh nunjuk kantong belanjaan, Na. Lagian kamu, sih. Pake acara duduk di tengah-tengah belajaan, jadinya kan ...."
"Oh, gitu."
Ayna melengos, malu. Kedua pipinya kini bersemu merah. 'Om, Om, bisa-bisanya dirimu buat aku baper,' batin Ayna.
"Ya udah, Pak. Silahkan diangkat."
Setelah memberi arahan, Arkam lantas menatap istrinya sembari geleng-geleng. 'Dasar bocah,' batinnya.
Lelaki itu mengambil sisa belanjaan dan membawanya ke mobil, sedangkan Ayna hanya mengekor dengan kepala sedikit menunduk.
• • •
"Tadi pikirin apa, sih? Kok, sampai segitunya."
"Apaan, sih? Om Arkan aja tuh yang banyak pikiran, Ayna mah gak mikirin apa-apa lagi." Dengan santai gadis itu berujar, kedua retina indahnya tetap fokus pada jalanan di luar sana.
Arkan menghirup udara panjang, mengembuskannya perlahan. Mencoba tetap sabar, karena sekarang dirinya sedang menyetir. Andai tidak, mungkin ia sudah menggigit pipi istrinya.
Tiga puluh menit berlalu, mereka pun sampai. Arkan turun lebih dulu dan mengeluarkan semua barang-barang dari jok belakang. Bukannya membantu, Ayna malah keluar dari mobil dan melangkah lebih dulu memasuki rumah.
'Ini, nih, yang disebut gak ada akhlak,' batin Arkan.
"Woi! Bantuin napa, Na!" Ia berteriak, sayangnya tidak dihiraukan.
• • •
"Nih, minum. Om, haus, kan?"
Ayna menyodorkan segelas air dingin, disambut antusias oleh suaminya. Kemudian gadis itu ikut duduk di samping Arkan, sambil memeriksa hasil buruannya di supermaket.
"Wish, banyak juga ya belanjaan, ya? Om, tadi bayar berapa?"
Arkan hampir saja tersedak air yang ia minum, netra elangnya pun ikut mendelik. Ayna tidak mendengar pembicaraannya dan kasir tadi, yang benar saja.
"Berapa, Om?"
"Dua ribu." Spontan Arkan menjawab. Seperkian detik berikutnya, ia tersadar dan langsung membekap mulutnya.
Ayna mengangkat sebelah alisnya. 'Dua ribu? Wow, besok mesti belanja lagi, nih.'
"Serius, Om? Kalau gitu besok belanja lagi, ya."
"Eh? Maksudnya dua juta, Na."
Arkan terkekeh sendiri dengan ucapannya. Di sisi lain, raut wajah Ayna mendadak berubah.
"Berarti ... utang Ayna udah banyak dong?" Dengan lirih gadis itu berucap, tetapi Arkan tetap mendengarnya.
"Hei, Na. Aku itu suami kamu ...." Arkan menggantung ucapannya, lalu menaruh gelas di atas meja. Ia kemudian berbalik menghadap istrinya, lalu dengan lembut tangannya terulur menangkup kedua pipi gadisnya. Beberapa saat netra mereka terkunci.
"Om?"
"Eh, maaf."
• • •
Usai salat isya, kedua sejoli tersebut kini berada di dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun, ada yang berbeda kali ini. Arkan yang biasanya akan duduk menunggu hingga makanan siap, kini malah berdiri di belakang istrinya. Sesekali menggaruk kepala, bingung.
"Ayna, aku duduk aja, ya."
"Eits, malam ini Om Arkan mesti bantuin Ayna masak."
Ayna mengambil dua celemek, untuk Arkan dan dirinya. Ia lantas berbalik, memasangkan kain itu pada tubuh besar nan tinggi di hadapannya. Saat tangan Ayna bergerak untuk mengikat tali ke belakang, Arkan malah tersenyum.
Bagaimana tidak, posisi mereka sekarang layaknya orang yang sedang berpelukan. Tidak ingin membuang kesempatan, lelaki itu melingkarkan tangannya pada Ayna, lalu dagunya bertumpu pada kepala sang gadis.
Kedua netranya terpejam, merasakan aroma lavender dari tubuh Ayna.
Si empu yang baru sadar dengan apa yang diperbuat suaminya langsung mendongak, jarak wajah mereka saat ini sangatlah dekat, bahkan Ayna merasakan ada sesuatu yang berbunyi di sana.
"Om?"
"Hmm."
"Lagi ngapain?"
"Gak ada."
"Kok, perut ama jantungnya bunyi-bunyi? Lagi konser amal atau gimana?"
Eh? Lekas-lekas Arkan melepaskan dekapannya dan menjauh beberapa langkah. Ayna hanya mengangkat alis, bingung dengan apa yang terjadi.
"Kenapa?"
"G–gak papa, kok," jawab Arkan gelagapan.
_ Batas Cuci _
Ayna pen tak hih!
😂😂😂
Nah, ad yg mau nyumbang gak? Tuh, si Arkan lagi ngadain konser amal 🤣🤣
Lama-lama kasian juga sama si Arkan, punya bini kok gitu amaat yak 🤦♀💃🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Gadis Polos [Completed]
Fiksi Umum[HATI-HATI, BANYAK TYPO! BELUM DIREVISI] Anak SD mungkin polos, atau bahkan anak TK-lah yang sangat polos. Namun, apa jadinya jika gadis berusia sembilan belas tahun malah mengalahkan kepoloson anak-anak itu. Itulah ujian utama Arkan sebagai suami A...