Part 10

5.9K 341 3
                                    

Ayna mendekat, wajah polos nan cantiknya terlihat mulai khawatir. Di sisi lain, Arkan merasa jantungnya akan segera melompa dari dalam sana.

"Kita ke rumah sakit, yuk!"

"H–hah?!" Kedua mata Arkan terbelalak.

Acara masak-masak yang awalnya baik-baik saja berubah drastis, kacau, dan menegangkan. Bagi Arkan tentunya, bukan Ayna.

Lelaki itu salah tingkah, kebingungan mencari alasan agar sang istri berhenti mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, hanya karena jantung dan perutnya bunyi bersamaan dirinya mesti ke rumah sakit.

Ada-ada saja.

"Iya, Om. Kita ke rumah sakit. Periksa apa ada kelainan sama jantung ama perut, Om, atau gak. Takutnya Om Arkan punya riwayat penyakit jantung, kan lansia kayak Om ini per–"

Tanpa aba-aba, Arkan langsung membekap mulut gadis itu. Netra elangnya pun mendelik tajam. Dirinya belum berkepala tiga, tetapi sudah disebut lansia.

"Mau diam atau ...."

Ayna mengangguk. Ia tahu ke mana arah kalimat suaminya itu. Jangan pikirkan, otak sempit dan mungilnya tidak bisa membayangkan hal-hal aneh.

Arkan menghela napas, lalu menarik Ayna dan mendekapnya. Tenang, hanya itu yang bisa dirinya rasakan. Ayna adalah sumber emosi bagi mereka yang tidak bisa sabar, juga sebagai obat penenang di kala hati sedang tak karuan.

"Sekarang kita masak, oke?"

"Iya, tapi lepasin dulu. Om Arkan kebiasaan, deh. Coba gak usah meluk-meluk kayak gini, bisa 'kan? Remuk nanti ginjal ama tubuh aku, nih," gerutu Ayna.

"Entar kalau remuk, aku beliin lem tikus terus satuin lagi, deh. Hahaha."

Bugh!

Ayna memukul dada bidang suaminya. "Suami durhaka ini, mah."

"Yang ada, kamu tuh yang durhaka sama aku. Udah sering buat suamimu yang tampan ini naik darah, untung gak kena stroke."

• • •

Setelah perdebatan panjang, konferensi meja segi empat, dan sidang paripurna selama seabad alias semalam. Kedua sejoli itu kini bertempur dengan peralatan memasak.

Arkan memotong sayuran, sedangkan Ayna menumis bahan lainnya. Tidak butuh waktu lama, masakan mereka akhirnya siap.

"Wah, enak, nih. Om Arkan ternyata pintar masak," puji Ayna.

"Oh jelas, Arkan Az-Zubair gitu."

"Idih, dipuji dikit udah terbang. Awas, lho, di atas ada atap. Entar nyangkut," imbuh gadis itu diselingi tawa kecil.

Arkan ikut tertawa, tanpa sadar tangannya terulur mengusap-usap kepala sang gadis. Ia sangat bersyukur sekarang, walau belum ada rasa cinta, setidaknya ia sedang berusaha menghadirkan rasa itu.

Menerima Ayna dengan segenap hati, memaklumi kekurangan, dan mengagumi kelebihannya.

Cup!

Ayna mencium pipi kanan Arkan, membuat si empu tersadar. Segera ia menoleh pada si pelaku.

Ayna menyengir kuda sembari memamerkan sederet gigi putihnya. "Sorry, Ayna khilaf. Om Arkan jangan marah, ya."

"Ada syaratnya," balas Arkan dengan suara dan ekspresi datar.

Ayna mengangkat alis sebelah, seolah bertanya 'apa'.

"Masa sebelah doang, entar sebelahnya tangis, lho."

Ayna manggut-manggut dengan bibir membentuk huruf O.

"Sini."

Plak!

Satu tamparan sukses mengenai pipi kiri sang lelaki.

"Sorry lagi, soalnya ada nyamuk. Hahaha."

"Ayn–"

Belum sempat menyebut nama sang gadis, satu suapan sudah masuk ke mulutnya. Pelakunya bukan lain adalah Ayna.

'Huft, sabar Arkan, sabar.'

"Enak?"

"Hmm."

Arkan kemudian menarik salah satu kursi dan mendudukinya. Sementara itu, Ayna kini kembali disibukkan karena harus melayani suaminya itu. Mengambil nasi, lauk-pauk, dan air minum.

Setelah selesai dengan Arkan, gadis itu pun ikut duduk dan mengambil makanan untuk dirinya. Kedua orang tersebut akhirnya makan dengan damai.

• • •

Pukul 21.00 pasangan muda itu sudah selesai dengan semua aktivitasnya. Kini keduanya berada di kamar. Namun, masing-masing sibuk dengan urusannya.

Arkan yang sedang memeriksa beberapa dokumen penting sambil duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Ayna di depan lemari merapikan beberapa pakaian yang berantakan.

"Na?"

"Iya."

"Kamu gak ada kepikiran buat kuliah atau gimana gitu? Bukan apa-apa, sih. Sayang aja gitu, umur kamu kan masih muda banget," tutur Arkan sambil memandang intens istrinya.

Ayna menghentikan aktivitasnya sesaat, ia mendongak menatap lekat-lekat netra elang lelakinya. Detik berikutnya, kedua sudut bibirnya melengkung.

"Gak usah, Om. Ayna gini aja udah seneng. Lagian, mana ada waktu. Kan sekarang aku harus ngurus rumah, suami. Kalau nanti kuliah, yang ada semua itu akan terbengkalai."

Arkan tidak berkedip menatap Ayna. Semua kalimat yang terlontar dari bibir kecil itu mampu membuat hatinya merasakan sesuatu yang aneh.

"Kamu kenapa jadi dewasa dadakan gini?"

Ayna mengangkat bahu. "Setiap perempuan akan dewasa pada waktu dan tepat yang tepat. Om aja yang gak nyadar."

_ Batas Cuci _

Aku dah gak tau mau bilang apa, ya. Jangan salahin Ayna mulu karena terlalu polos. Sebab, sejatinya seorang perempuan itu memang tidak pernah dewasa apalagi soal perasaan.

Mereka itu adalah makhluk paling perasa yang hanya ingin diperlakukan istimewa oleh orang terkasih.

Selain itu, benar kata Ayna. Perempuan tuh akan dewasa pada tempat dan waktu yang tepat.

See you
Makasih dah mampir dan baca ceramah singkat aku 🙈😂

Menikahi Gadis Polos [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang