Du pu

113 17 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






"Anjing Rak, jadi lo ketahuan nih?"

Tara menggebrak meja, bahkan sampai naik merangkak di atasnya. Maju mendekatkan badan, dan menatap Raka dekat.

Keringat membanjiri keningnya, juga dengan kerutan berlipat-lipat, alisnya bertemu. Menunggu jawaban selanjutnya.

"Kali ini iya."

Dan Tara sukses telungkup di atas meja. "Habis lah gue ...."

Masalahnya kalau Fiza beneran nge lapor--mengenai kelakuan Raka--semua akan merambat--Tara bisa habis sama Bu Grit, karena ia sudah tau tabiat guru itu; di brantas sampai tuntas. Mana sebentar lagi ujian, tambah kena marah dah sama Ibu negara.

Iya, mungkin kalau Raka pasti beda lagi ceritanya. Akan lebih ringan konsekuensi atau terbebas oleh faktor nilai dan Adiwijaya?

"Ini lo minta di mutilasi bareng atau bagaimana?" Suara Rozi terasa ringan dan lentur sekali, berkata demikian. Menggeleng tak selera dengan hidangan seorang Tara di atas meja.

"Langsung aja. Ikhlas lahir batin gue " Galih menggulung lengan kemeja kotak-kotaknya.

Tara merosot mundur kembali duduk seperti awal mula. Rupanya sudah positif, kena mental.

"Dia marah?"

Raka mengangkat bahu ringan, merespon pertanyaan Rozi. Lalu menggeleng pelan. "Lebih ke mau ngerti."

"Fix harus di perjuangin." Galih mengeluarkan kalimat mutlak menurutnya.

Tara mengangkat dua jari. "Gue dukung, keep halal brother."

"Cielah, munaroh. Sok dramatis nih, habis sedih?" cibir Galih.

"Kalian belum tau rasanya di posisi gue. Bisa di rajam beneran kalau ketauan nge-rokok."

"Elus dadamu nak. Kalau kurang puas pukul yang kenceng." Itu saran sih, dari Rozi.

"Lo dapet salam Rak, dari Radit," celetuk Galih.

"Bodo amat. Nggak ngurus!" balas Raka ketus. Ia meraih botol minum, yang di hidangkan bibi.

Saat ini empat pemuda itu, jadi benalu di rumah Raka. Duduk melingkari meja bundar, di ruang tengah kediaman keluarga Adiwijaya. Katanya, menghabiskan waktu sebelum menghadapi hari-hari penuh beban berat.

"Woi, bicara nggak usah plagiat kayak toa ya! Kondisikan!"

"Anjir, ratunya ngamok."

Lalu entah berpindah kemana alat pendengar Tara dan Galih keduanya masih kompak berani tertawa, terbahak.

"Diem, njing!" Ririn melempar bantal, ke arah perkumpulan manusia kurang belajar dan etika itu.

Raka menggelengkan kepala. Rozi membekap mulutnya sendiri, supaya tawanya tak meledak.

RANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang