Em pu du

66 8 0
                                    

Happy reading!

.

Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama, atau lebih spesifiknya memperjuangkan kembali kebaikan suatu nama, suatu kelompok remaja yang beranggotakan 6 orang, secara resmi ingin merealisasikan rencana di malam sebelumnya hari ini.

Hal itu juga memuat tujuan untuk konvensi bersama, maka kegiatan diam-diam disentegrasi di lingkup sekolah dilakukan oleh kalangan siswa.

Di mana mereka terdiri dari campuran yang terpadu jadi sama rata dengan karena berjumlah 3 pemudi, dan pemuda 3. Seolah sedang mengikuti seleksi alam, dalam kontes memilih suratan menentukan berpasangan.

Pukul 5:30 cukup pagi dalam takaran kedatangan biasa murid Ailmu, alias mereka bisa dikatakan terlalu rajin.

Untuk meminimalisir adanya penangkapan dalam kondisi tercebur dan basah kuyup--mengingat begitu lemahnya jangka pendek perencanaan-- maka beberapa tugas sudah di bagi sama rata. Jadi terorganisir siapa dan akan melakukan apa.

Untuk pagi itu semesta--sekaligus kelompok dadakan tanpa nama--seolah mendukung penuh dengan melanjutkan kedekatan Raka dan Fiza yang selalu disatukan oleh siatuasi dan kondisi. Memang itu semua tidak serta merta bisa dijadikan simpulan akhir apakah akan menuntunnya ke arah bahagia atau yang di bilang definisi bahagia yang tak harus bersama.

Fiza bukannya berkewajiban untuk bercerita tapi ia dijemput langsung ke rumah oleh si pemuda bernama Raka dalam waktu se pagi itu. Dengan beralasan keefisienan waktu dan kedisiplinan tenggat akhir pelaksanaan misi sudah bisa dikonfirmasi selesai.

Untuk berangkat sepagi itu, Fiza membuat alasan adanya rapat sesama  anak KIR plus tambahan piket kelas kepada orang rumah. Yang beruntungnya diterima, meski Fiza tau sorot mata ibunya masih ada sorot keraguan.

Perjalanan di mulai. Keduanya sampai di sekolah lima belas menit kemudian.

"Kita turun di belakang sekolah, gue sambil titip motor di sana." Suara Raka masih terdengar jelas, sebab laju kendaraan tak se kilat waktu sebelum memasuki area lingkungan sekolah.

Fiza bergumam singkat.

Warung kokoh yang berada agak menyamping dari gedung sekolah ini, menjadi destinasi pertama yang Fiza saksikan ketika Raka menghentikan motor di pelataran dan Fiza yang turun dari boncengan.

"Ki, titip motor!" Raka sedikit melongok, menempatkan satu tangannya di dekat mulut seolah takut suaranya sia-sia dibawa angin dan tak lagi tersampaikan kepada seseorang yang dimaksud--mungkin berada di dalam warung.

"Ayo!"

Seusai Fiza yang merapikan sedikit rambut beserta rok rempelnya , Raka sigap menarik tangannya dan berlari mendekat ke arah dinding pembatas di seberang jalan.

Fiza cukup terkejut ketika di hadapkan tembok yang berada pas sudah dihadapannya. Maksudnya bukan apa-apa, jelas ia tidak bisa memanjat--se pandai tupai--jika alat pendukung lainnya hanyalah meja usang yang terlihat lebih dari siap merebahkan badannya.

Lamunan Fiza buyar tatkala mendengar tawa khas milik Raka. Yang di mana selalu Fiza anggap berarti ia sedang diremehkan. Menyebalkan. Jujur ia tak suka di tertawakan lawan bahkan ketika belum di tengah waktu perlombaan.

RANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang