Ti pu se

64 9 0
                                    

.

Raka tidak pernah lalai dan melebihi garis dalam sebuah rancangan yang sejak lama tertanam dalam benak.

Tindakannya jelas akan penuh konsekuensi besar.

Hawa nafsu yang membawanya untuk berprinsip apa yang dulu dia inginkan harus direalisasikan.

Dalam misi membantu menyelesaikan kasus Fiza. Titik terang mengarah berat kepada dua sahabat dengan pola pikir picik.

Hal itu ternyata sedikit membuatnya berlaku layaknya menjadi detektif dadakan. Raka jadi lebih teliti mengawasi sekitar, plus mulai mendengar desas-desus yang beredar.

Siang ini ia merutuk kesal, perihal malam sampai pagi tadi, tak ada ia  sempat tidur.

Seorang pria kiranya sudah berusia setengah abad dengan setelan khas orang kantoran--yang menunjukkan kesan formal dan rapi--datang dengan raut tenang. Melintasi lorong kelas, sambil toleh kanan kiri, persis ciri sedang mencari-cari seseorang.

Hari ini tidak ada jadwal rapat untuk para wali.

Raka memundurkan langkah, hingga menatap gedung dekat tangga. Ia diam menajamkan pendengaran untuk mendengar dialog seorang itu.

"Di mana kelas Nindi?" Begitu tanyanya pada beberapa anak kelas yang berpapasan.

Raka jadi lebih menyimak dan menelisik pergerakannya. Menarik. Hal ini bisa di usut lebih dalam, karena orang yang di cari bersangkutan dengan yang Raka klaim sebagai tersangka.

Bel pulang sekolah baru berbunyi. Kelas Raka memang keluar lebih dulu dari kelas lain--guru mata pelajaran terakhir mengosongkan jamnya--dan  seharusnya jika sedang ingin menjemput bisa menunggu di parkir, tidak perlu mencari ke kelas.

"Sebelas dua, di lantai dua, baris ke dua dari ujung." Seorang Siswa menanggapi. Raka pikir dia teman kelasnya atau tetangga yang jelas tau siapa Nindi.

.

Setelah diusut, Fiza tetap saja tidak mengetahui apa maksud dan tujuan Raka mengiriminya pesan barusan. Namun, dilihat dari pesan terakhirnya sangat menegaskan kalau ini genting dan penting. Tanda Fiza harus segera.

Selaras dengan tindakan Fiza segera mengangkat kakinya meninggalkan arena peraduan belajar mengajar.

"Masalah seperti apa lagi yang harus di bagikan untuk gue?" Fiza muncul di arah berlawanan. Berdiri di belakang Raka.

Pemuda berperawakan tinggi itu, tampak menaikkan satu alisnya. Menelisik lawan bicaranya yang memiliki tinggi-apabila dari samping-sejajar dengan bahunya.

"Sepertinya lo masih perlu mengubah pikiran buruk yang selalu di perankan di awal. Dan menukarnya dengan sedikit yang lebih baik."

Fiza menggigit bibir bawahnya. Perkara hal seperti ini bukan sekali dua kali dirinya alami. Mulutnya kerap kali memunculkan vokal berlebihan. Dengan hal itu pula yang memupuk Fiza menjadi besar rasa bersalah.

Akh! Kenapa harus sadar pas suaranya keluar? Kalau yang di ucapkan berlebihan.

"Maaf."  Meski singkat Fiza tak main-main dengan rasa salah dan sesalnya. Bisa dikatakan ini adalah permintaan yang tulus.

"Lupakan." Raka membuang mukanya. Menghindari sorot mata  bening di depannya. "Mungkin tersisa lima langkah saja, terhitung waktu kelambatan lo itu."

RANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang