Em pu en

48 5 0
                                    

Happy reading ...

.

Satu waktu, di malam minggu dengan sinar rembulan yang nampak terang dari balik kaca jendela dan suasana rumah yang tak berubah; terasa suram tak memiliki variasi warna.

Ririn sedang membuat masakan andalannya; mie instan untuk untuk kudapan makan malam, dengan porsi cukup untuk berdua.

"Rin." Panggil Raka yang berjalan ke arah dapur. "kenapa lo nggak nyerah aja?"

Ririn menjitak kepala adiknya itu. "Ringan banget lo, kalau ngomong." Herannya atas pertanyaan dan penawaran dari Raka barusan. Lalu  ia kembali melanjutkan berkutat dengan mengangkat rebusan mienya.

"Tapi semua nggak akan ber--" Raka masih berkeinginan mempertahankan masukannya.

"--tetap berguna, Raka! Tidak ada yang sia-sia atas apa yang gue perbuat selama ini!"

"Dengan terlalu menyiksa diri sendiri, seperti itu?

Ririn menghela napas gusar. Raka de keras kepala itu, nyaris sama dengannya, ia akui. Ia berbalik menghadap Raka yang duduk di meja makan, menatap tepat di manik hitam legamnya.

"Jangankan menyerah, gue yang seperti ini saja, tetap sama sekali nggak ternilai bahkan untuk dilirik saja enggan. Dan kalau masih diakui eksistensinya saja syukur." Luapan

Sebanyak apa pun Ririn menyanggah, akan ada lebih banyak pula kata tapi, tapi selanjutnya dari Raka.

Tidak sadar bahwa sebenarnya keduanya berada di posisi yang sama. Berkeharusan memenuhi standar dari Papa atau pun Mama.

"Berarti, gue harus lebih buruk lagi di mata Papa." Berkata demikian jelas Raka memiliki alasan, ingin membuat Papanya agar muak dan mulai menyadari ada Ririn yang masih bertahan membanggakan, tidak hanya selalu fokus Raka.

"Gila, lo!" Ririn mendelik tajam. "Gue bakal hajar duluan sebelum lo bertingkah!" tegas Ririn.

Dua mangkuk mie kuah sudah terhidang, siap dinikmati selagi hangat.

"Udah, berhenti bahas apa pun tentang aturan tak tertulis di keluarga ini." Ririn bahkan menjeda kalimatnya, "gue capek." keluhnya dengan menutup mukanya sebentar.

"Harusnya mereka bisa saling buka suara. Bukan hanya kita yang harus jadi penurut," gumam Raka.

"Raka!" Ririn menggebrak meja. Ia mendongak dengan mata kuyu, dan raut berantakan. "Lo masih berharap apa? Mereka berbincang? diantara perang dingin yang tak pernah tau kapan akhirnya itu??" Ririn meluapkan apa yang sejak tadi ditahannya.

Untuk beberapa detik berubah menit setelahnya meja makan diselimuti sunyi dan suasana hampa.

Raka merasa tersentuh sekaligus tertampar dalam satu waktu.

Sudah terlalu lama Raka memilih abai, dan menolak mengakui hubungan Mama dan Papanya tak sebaik dan seutuh dulu.

Dan Raka akui, ia sudah berbicara berlebihan pada Ririn. Ego dan amarahnya tak sepantasnya ia ikuti.

RANKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang