Emotional Days (3)

37 16 2
                                    

Jan lupa vote dan comentnya, hihi

***

"Kedua orang tua gue gak sayang
sama gue...." lirih Harley sambil mengacak surainya frustrasi. "Dan ... gue berusaha untuk menarik perhatian mereka supaya sayang sama gue tapi ... mereka tetap gak peduli. Mereka seakan nutup mata dan mulut mereka."

Mars memandang Harley tak percaya.
Apa akhirnya Harley paham? Apakah pemuda itu paham bahwasanya mereka perlu uluran dan sandaran satu sama lain?

"Selamat, selamat karena sudah berjuang sejauh ini."

Terdiam. Harley bergeming selama beberapa detik hingga akhirnya keheningan mengisi atap gedung yang dipenuhi anak manusia yang lelah akan dunia. Mata itu tak lepas dari tangan Mars yang terulur ke arahnya, seolah memintanya untuk menjabat dan membalasnya. Tapi badan Harley masih diam, masih mematung begitu juga kedua belas manusia lain di sekitarnya.

Ini kali pertama dia dipuji atas perjuangannya. Ini kali pertama Harley merasakan gelenyar bahagia walau hanya sedikit dan sebentar sebelum akhirnya Harley kembali mengingat semua bentakan dan teriakan kedua orang tuanya karena Harley selalu bersikap seperti begundal yang merusak citra mereka.

"Gue pemberontak."

Mars mengernyit. "Ya, tapi semua ada alasan, kan, Harley Majaris?"

Melirik sekilas, Harley akhirnya menjabat tangan Mars. "Terimakasih."

Hanya satu kata, tapi benar-benar tulus. Mars dapat merasakannya.

Uluran tangan mereka hanya berlangsung dua detik, Harley langsung berjalan mundur dan membalikkan badan. Badan menjuntai itu menghadap langit dan gedung-gedung lain di sekitar. Dan hening akhirnya bunyar karena Mars tergelak sebentar.

"Apa?" Horizon bertanya, merasa aneh dengan Mars yang tiba-tiba tertawa padahal tak ada peristiwa lucu yang terjadi.

"Lucu aja, anak itu tadi yang menentang kuat kalau cerita bukan jalan terbaik. Itu memang bukan yang terbaik. Tapi seenggaknya lo nggak lagi ngerasa sendiri. Karena lo, lo, dan lo!" Mars menunjuk beberapa anak yang menatap ke arahnya. "Itu sama."

"Gue Tara, gue ulangi sekali lagi karena takutnya kalian lupa. Gue mencoba sekeras yang gue bisa, belajar pagi-malem. Mencoba menggapai apa yang gue capai. Ternyata semua itu sia-sia, gue akan tetep jadi pecundang." Tara yang tadinya hanya diam seraya melihat langit yang kian menggelap kini bersuara masih dengan isakan yang mengiringi.

Mars mengulas senyuman kecil lalu melangkah mendekati Tara kemudian mengelus punggung lelaki itu penuh kelembutan. Walau tak dapat dipungkiri bahwa Mars agak sedikit kesulitan kala mengelus punggung lebar milik Tara akibat perbedaan tinggi badan mereka.

"Lo bukan pecundang, Asterio," kata Mars, sekarang ia tak lagi mengelus punggung milik Tara. "Asal lo tau,  lo adalah pemenang."

"Pemenang?" lirih Tara.

"Ya," jawab Mars. "Menurut gue lo udah banyak berjuang untuk meraih kemenangan lo, pagi sampai malam lebih banyak lo gunakan untuk belajar."

Semua pandangan tertuju kepada Mars, tak ada lagi penolakan seperti sebelumnya kala mereka mendengar Mars bersuara.

"Tapi ... lo terlalu berambisi dan gak puas sama diri lo dan juga yang lo dapatkan dari hasil kerja keras lo,'' kata Mars. "Gue kasih saran, lebih baik lo berhenti sebentar, biarkan dulu yang lain menuju kemenangannya. Tapi kalau lo udah cukup berhenti, jangan pernah berhenti dan kejar kemenangan lo. Jangan kalah sama yang lain."

"Tapi ... Semuanya SIA-SIA!" Tara setengah berteriak di akhir kalimatnya. "Walaupun gue berhenti untuk beristirahat sejenak ataupun tetap berlari, hasilnya sama aja! Semuanya sia-sia! Pada akhirnya gue kalah dari mereka!"

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang