Emotional Days (4)

6 3 0
                                    

Callisto mengusap kasar wajahnya lalu menatap ke arah langit jingga keunguan kemudian mendengus panjang. Dadanya terasa sakit dan sesak, kedua matanya terasa panas barangkali cairan bening keluar membasahi kedua pipinya. Namun, Aldebaran sudah biasa hidup dengan tak menunjukkan perasaan dan ekspresi yang ia sebenarnya ia rasakan, seperti sekarang ini, Aldebaran hanya menahan tangisan kesakitan selama dirinya bergelut dengan kebohongan.

Namun, decihan yang keluar dari mulut Horizon membuat yang lain buyar dari pikirannya masing-masing.

Setelah berdecih, lelaki pemilik sorot mata tajam itu tertawa meremehkan, tak lupa seringaian ia tunjukkan pada kedua sudut bibirnya.

"Mustahil," lirihnya, namun dapat didengar kedua belas orang yang berada di situ, lalu matanya memandang intens semua manusia yang berada di sana.

"Mustahil, manusia yang udah mencapai titik terendahnya seperti gue dan mereka bisa berjuang untuk mendapatkan hasil yang memuaskan."

Tara yang semula sudah mendapat sedikit cahaya harapan, kembali ragu karena ucapan Horizon barusan.

"Manusia yang udah pudar harapannya akan dunia ini seperti gue dan mereka  ... gak akan mendapatkan kebahagiaan. Justru, yang gue dan mereka dapatkan adalah penderitaan yang dunia berikan kepada gue dan mereka semakin banyak dan besar setiap saat."

Horizon menyudahi bicaranya lalu memijat pelan keningnya yang berdenyut nyeri.

Sebenarnya ia tak ingin mengatakan hal barusan, namun Horizon menampik ucapan Mars. Karena ia paham, bahwa ucapan Mars berisi tentang pengharapan dan usaha agar mereka mendapat apa yang mereka inginkan di dalam hidup mereka.

Horizon berpikir, tak ada gunanya berharap dan berusaha. Sebab, dirinya sudah nyaris mencapai penghabisan. Tak ada lagi harapan dan usaha yang harus ia lakukan. Ia tak ingin melakukan kedua hal itu, karena ia tak ingin di sakiti karena harapan dan usahanya tak pernah menjadi nyata.

"Siapa bilang?"

Mars yang beberapa menit lalu bungkam, akhirnya buka suara.

"Kalian pasti mendapatkan kebahagiaan, tapi dengan kata kunci kalian harus cari kebahagiaan itu sendiri. Dan usaha kalian pasti akan membuahkan hasil."

"Cari uang aja susah, apalagi cari kebahagiaan," timpal Komet.

Mars terkekeh ketika mendengar balasan dari Komet.

"Kalian akan sadar pada saat yang tepat, kalau kebahagiaan itu sangat mudah didapatin," ujar Mars, "Tapi  ... saat ini kebahagiaan itu masih menjadi satu kata yang sensitif bagi kalian, bukan? Jadi gue sarankan jangan pikirkan itu dulu. Untuk sekarang, istirahat dan tenangkan diri. Gue tau lakuin itu pasti susah bagi kalian. Karena, kalian udah hampir menyerah."

Kedua belas orang lainnya bungkam, tak tahu harus membalas apa perkataan si Mars.

"Gue cuman mau bilang, sejatinya kebahagiaan itu mudah didapatkan. Itu aja, kok. Hanya saja, jangan terlalu dipikirkan. Karena ada saatnya kalian fokus memikirkan hal itu."

"Gue gak pernah terlalu mikirin kebahagiaan, Mars. Nyatanya kata itu gak pernah hadir dalam hidup gue." Harley menelengkan kepalanya, menatap tepat pada mata Mars. "Kalau emang kebahagiaan itu mudah didapet, bisa tunjukkin ke gue? Bisa kasih liat ke mereka yang udah mau nyerah ini? Bisa? Stop bicara omong kosong, Mars."

"Gue tunjukkin."

Orion mengangkat alisnya mendengar perkataan Mars, lantas melirik yang lain. Menunggu reaksi yang akan ditujukan pada aksi Mars.

"Gue bakal tunjukin gimana lo dengan mudahnya nemu kebahagiaan."

Hening melanda sekitar mereka. Kedua belas insan memandang Mars yang saat ini tersenyum seraya menatap ke arah langit.

"Coba kalian pandang langit di atas sana!" perintah Mars yang masih memandang langit.

Tak tahu maksud terselubung dari perintah Mars, kedua belas orang yang lelah akan permainan takdir itu menengadah, memandang langit yang berhiaskan cahaya oranye keunguan.

"Apa yang kalian rasakan ketika melihat langit?" tanya Mars sambil menolehkan kepala ke arah kedua belas manusia yang satu persatu mengalihkan atensi dari langit.

"Gak ada," jawab Harley dengan menunjukkan wajah lempengnya.

Hening beberapa detik, Bintang menimpali.

"Biasa aja."

Sedangkan sisanya hanya bungkam dengan perasaan bingung.

Mars berdecak sambil memijat keningnya. Setelah itu, ia kembali memandang kedua belas remaja tersebut.

"Denger hal ini baik-baik wahai remaja-remaja labil. Kebahagiaan itu bisa kita dapatkan dimanapun dan kapanpun. Bahkan di saat sedih dan tertekanpun kita bisa menemukan kebahagiaan. Disaat kita lagi lihat langit senja kita bisa nemuin kebahagiaan. Mudah, bukan?"

"Ha. Gak paham lo rupanya. Lo gak ngerti gimana sulitnya bahagia itu disaat lo bener-bener gak punya harapan karena takdir," balas Harley.

"Gue paham, gue ngerti, sangat. Tapi gue minta dengerin hal ini ... kalian bisa mendapatkan kebahagian dengan cara apapun. Tapi ini belum waktunya. Mungkin yang diatas mengizinkan kalian untuk sedih dulu tapi dikemudian hari kalian akan bahagia lagi."

"Gue bener-bener gak ngerti sama ucapan lo," ujar Callisto.

"Ada banyak cara untuk bahagia, setiap orang ada caranya masing-masing. Namun untuk saat ini jangan terlalu dipikirin. Pelan-pelan aja. Entar lama-lama kalian akan menemukan dan merasakan kebahagiaan.

Gue ngomong hal ini sekarang supaya kalian tau kalo bahagia itu selalu ada di dekat kita tapi seringkali manusia gak sadar karena kesedihannya. Gue gak mau terlalu membebani kalian karena ingin mencari kebahagiaan.

Nikmati kesedihan, kegusaran, kesakitan, amarah, kecewa, benci ataupun perasaan kalian saat ini, jalanin itu semua. Asal kalian membangun semangat dan kepercayaan yang kokoh, kalian bisa melaluinya."

Mars tersenyum lebar karena mendapati kedua belas manusia terdiam dan ia melihat Tara menundukkan kepalanya sambil menangis dalam diam.

"Kalian boleh pulang ke rumah," ujar Mars, "Lagian dikit lagi mau malem."

"Kembali ke rumah cuman bikin gue dan adek gue gak nyaman. Gue dan adek gue selalu merasa sakit saat ada di dalam rumah," balas Galaxy sambil memilin baju bagian bawahnya.

"Lebih sakit kalo lo sama adek lo di luar rumah."

Dengan mata yang sedikit bengkak dan memerah Galaxy memandang intens lelaki bertubuh pendek yang tak jauh dari pandangan matanya.

"Kalian semua, istirahat," suruh Mars, "Gue tau ini susah, tapi gue mohon kepada kalian  ... pulang ke rumah."

Tak dapat respon, Mars menggelengkan kepala lalu mendesah lelah. Padahal dia tidak melakukan banyak kegiatan, tapi karena pikiran dan kesabarannya terus terkuras menghadapi kedua belas insan ini Mars jadi sedikit lelah.

"Terserah kalian," kata Mars lalu berjalan perlahan meninggalkan kedua belas insan.

Tapi sebelum dirinya jauh dari pandangan kedua belas manusia yang lelah, Mars berkata, "Gue yakin, kita akan bertemu lagi."

Setelah mengatakan hal demikian, Mars benar-benar hilang dari pandangan mereka karena terus melangkah pergi meninggalkan gedung Adijaya.

Mars meninggalkan mereka karena dia ingin kedua belas remaja itu berpikir mana yang lebih baik untuk diri mereka saat ini.

Menurut Mars, sesakit apapun perasaan manusia mereka pasti tak akan bisa meninggalkan rumah. Karena di dalam rumah terdapat keluarga yang selalu menyambut mereka dengan berbagai cara, barangkali cara itu adalah dengan menyiksa kedua belas remaja tersebut.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

EuphoriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang