"Rafles!" Ketukan kencang membuatku menolehkan kepala. Aku melangkah malas, membuka pintu kamar.
Dua laki-laki dengan baju santai mereka tampak panik. Mereka segera melotot padaku. Berteriak kompak, "kamu sungguhan akan keluar tembok?!"
Aku meringis, mengusap telingaku yang pekak, "memang kenapa?"
"Aduh aduh.., kenapa kamu tidak bisa berhenti bertingkah sebentar saja?? Pusing kepalaku memikirkanmu." Laki-laki berkaos tosca polos didepanku memijit keningnya.
"Tidak ada yang memintamu memikirkanku, Sojae. Tidak perlu sok perhatian, deh." Elakku.
Sojae melotot, sampai aku takut bola matanya akan keluar dari sana. "Sok perhatian? Kamu lupa siapa yang menjagamu selama ini, heh?!"
Aku nyengir. Aspergil dan Sojae, memang merekalah yang menjagaku selama ini. Mereka sudah seperti kakak untukku. Keduanya juga anak buah Neirla. Mereka memiliki tugas sebagai pengendali angin.
"Sudahlah, Sojae. Kita kesini bukan untuk marah-marah. Tidakkah kamu bukakan pintumu lebih lebar untuk dua kakakmu ini?" Aspergil menatapku.
Aku memutar bola mata, tapi menurut membuka pintu dan membiarkan mereka masuk. Aku memang selalu menyelipkan tubuhku di balik pintu, mencegah orang didepanku melihat apa yang ada didalam.
"Aah, aku sampai lupa istirahat setelah misi terakhir. Benar-benar melelahkan!" Sojae sudah lompat ke kasurku. Aku tidak protes, memilih memasak air untuk minuman sebagai bentuk penyambutan tamu.
"Kamu ini memalukan. Geser sedikit!" Terdengar suara Aspergil.
"Kamu juga sama saja, kok." Juga seruan tidak terima Sojae.
Di detik selanjutnya, suara kasur yang bergerak-gerak menyapa telingaku. Aku bisa membayangkan sprei yang sudah kutata sedemikian rapih menjadi berantakan kembali. Dengan dukungan suara gedebuk bantal mengenai tubuh, aku yakin keduanya sedang berkelahi di atas tempat tidurku.
Mereka terdengar tertawa riang, hingga suara Sojae membuatku menoleh. "Hei Rafles, aku mau es coklat saja."
"Aku yang murah, teh panas." Timpal Aspergil.
"Kok mesan? Memang ini kafe?" Tanyaku dengan sedikit menaikkan suara. Melihat kasurku yang sudah tak berbentuk saja darahku mendidih. Apalagi mendengar permintaan tanpa dosa mereka.
"Hehe, ayolah adik cantik. Aku lelah sekali hari ini. Berbaik hatilah agar aku bisa menjawab semua pertanyaanmu nanti." Sojae nyengir lebar.
Aku mendengus. Tidak terbalik, tuh? Biasanya juga aku yang harus menjawab semua pertanyaan Sojae. Dia seperti mesin, selalu memiliki bahan untuk ditanyakan. Kadang diluar dugaan, lebih sering tidak nyambung.
Lima belas menit kemudian, kami sudah duduk melingkar. Aspergil menyalakan televisi. Merasa tidak ada yang menarik, kami mulai membuka pembicaraan.
"Nah, jadi untuk apa kamu memanggil kami? Ada hubungannya dengan rumor itu?" Tanya Sojae.
Aku menatapnya, "ya. Bantu aku mengaktifkan Forsa Penembus Dimensi."
Aspergil tersedak seketika. Dia meringis, batuk beberapa kali. Matanya mengarah padaku dan kembali terbatuk sebelum berucap, "kamu yakin tidak ingin berubah pikiran?"
Aku menggeleng mantap. "Aku ingin sedikit berjalan-jalan. Lagipula, Neirla memberikan seruling milik ayahku untuk menemani misi. Dan dia berjanji akan memberikannya secara utuh jika berhasil."
"Seruling ini?" Sojae mengangkat seruling itu tinggi-tinggi, menerawang di baliknya.
Aku kembali mengangguk. "Ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seruling Angin
AdventureBerbohong atau dibohongi. Berkhianat atau dikhianati. Hanya itu pilihan yang dimiliki Rafles, atau Lily, saat terjebak di dunia di dalam tembok. Yang dia tahu, cepat atau lambat sesuatu yang besar akan terjadi. Dia hanya perlu memutuskan untuk ber...