Aku menepuk-nepuk licak lumpur yang menempel di hoodie ku sepanjang jalan. Ketika melihat Dersik memasang wajah kesalnya sambil terduduk dalam barier buatanku, aku hanya mampu nyengir lebar.
"Hai. Lagi." Ucapku sambil menarik kembali semua forsaku.
"Ku akui tadi itu hebat. Tapi tetap saja berbahaya. Kamu tidak boleh melakukannya lagi." Ujarnya sembari berjalan ke arahku.
Aku tersenyum tanggung. "Akan kupikirkan laranganmu nanti. Sekarang hoodie ku kotor. Sangat menjijikkan." Aku lagi-lagi menepuk licak lumpur di atasnya.
"Nah, jadi kita akan berbelanja pakaian. Kamu tidak bisa menolak sekarang." Dersik tersenyum senang.
Aku tertawa dalam hati. Baguslah, dia tidak jadi mengomel karena aku baru saja berkelahi. Ah, tapi tunggu. Aku harus mengambil ranselku dulu. Dimana, ya? Kenapa aku bisa lupa tempatku meletakkan tas ransel?
"Kenapa?" Tanya Dersik.
"Kamu tahu dimana ransel ku?"
Dersik menatapku heran, "tentu saja aku tidak tahu."
Aku berdecak kesal. Dasar pelupa!!
"Apa itu begitu penting? Ada barang berharga didalamnya?" Tanya Dersik.
Aku berpikir sejenak. Lalu membeku di tempat. "yaa.. Ada hal penting di dalamnya."
Tentu saja surat perjanjian ku dan Neirla itu penting. Jika ditemukan oleh sembarang orang, bisa hancur rencanaku. Bukan hanya aku yang mengincar si Pengendali Angin.
"Lalu bagaimana?" Suara Dersik menarik ku dari lamunan.
Aku menghembuskan nafas. "Lupakan saja. Kalau sudah takdir pasti akan kembali kepadaku." Ucap ku, mencoba untuk tak acuh.
Semoga tidak ada hal buruk yang menimpaku. Tidak mungkin aku menyisir hutan sebesar ini hanya untuk mencari ransel. Bisa-bisa aku malah tersesat.
"Baiklah, kalau begitu ayo kita jalan." Dersik sudah menarik ku pergi.
Kami memasuki gerbang kota. Terbuat dari dua batu tinggi yang saling dihubungkan dengan kayu melengkung. Kayu itu diukir sedemikian indah, membentuk kata Moid. Aku terperangah selama beberapa saat, lalu kembali mengikuti langkah kaki Dersik.
Kami segera disambut oleh keramaian pasar. Para pedagang berteriak menawarkan dagangan mereka. Beberapa gerobak kayu yang ditarik hewan berkaki empat, entah hewan apa itu. Banyak kuli pasar yang mengangkat karung besar. Dari bentukannya saja aku sudah tahu kalau karung itu berat.
"Ly, kita ke penginapan saja dulu." Dersik memecah fokus ku dari salah satu pemuda tampan.
Aku menoleh dan nyengir, "oh? Apa? Iya iya. Aku ikut saja."
Dersik memasang wajah heran, tapi kemudian kembali pada jalanan di depannya. Kami harus terus bergandengan tangan agar tidak terpisah.
Aku sempat melirik pemuda tadi sekali lagi. Tepat saat itu, dia juga melirik ke arahku. Tatapan kami bertemu. Dia menyeringai seram dan mulutnya menggumam. "Selamat datang, Raffles."
Aku membalasnya dengan senyuman miring. Ku kembalikan atensi ku pada jalanan di depan. Benar. Itu Sandle. Aku memang tidak salah lihat. Aku bisa merasakan hawa perkelahian yang sudah lama terlupa.
Kali ini aku akan mengalahkan mu. Lihat saja.
🍃🍃🍃
"Aku tidak mau Dersiiik!" Aku berkeras dengan pilihannya.
"Itu sudah paling cocok, kamu tahu? Tidak bisa diganti lagi. Aku sudah bulat akan membelikanmu itu." Dersik melotot.
"Astaga, lebih baik aku telanjang sekalian jika seperti ini." Aku tak kalah melotot.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seruling Angin
AdventureBerbohong atau dibohongi. Berkhianat atau dikhianati. Hanya itu pilihan yang dimiliki Rafles, atau Lily, saat terjebak di dunia di dalam tembok. Yang dia tahu, cepat atau lambat sesuatu yang besar akan terjadi. Dia hanya perlu memutuskan untuk ber...