12 *Jalan Keluar

9 1 0
                                    

"Sakit sekali?" Maeda menginterupsi lamunanku untuk kesekian kalinya.

Aku mengangkat bahu. "Menurutmu bagaimana?"

Maeda menghela nafasnya. "Maaf, aku—"

"Tidak bisakah kau tidur saja dengan tenang?" Aku terpaksa ketus. Aku tidak mengerti jalan pikirnya. Lebih baik dia tidak membuatku memikirkan hal itu.

"Baiklah, aku akan tidur." Dan akhirnya hening. Hanya suara angin malam yang berkesiur pelan.

Dersik sungguh-sungguh menjatuhkan ku ke bawah jurang, dengan tangan dan kaki terikat. Tapi selang lima detik, aku bisa melihat Maeda ikut terjun bersamaku. Dia bahkan membantuku mendarat dengan baik.

Aku sempat meragukannya ada di pihakku. Bisa jadi kan, dia hanya turun untuk memastikan kematianku.

Tapi dia langsung menjelaskan hal tidak penting sembari mengurai ikatan di tanganku. "Ini namanya Daerah Terlarang. Banyak yang sejenis ini di dalam tembok, ada magis yang mengunci orang-orang yang masuk agar tak bisa keluar."

Aku menatapnya sangsi. "Kapan kamu akan membunuhku?"

Maeda memutar bola matanya. "Membunuhmu tidak mengeluarkan ku dari daerah ini."

"Tapi aku masih tidak paham. Atas dasar apa kamu membantuku?"

"Mudahnya, anggap saja aku tertarik padamu."

"Hah?"

"Kita harus keluar dari sini."

"Untuk apa?" Aku bersedekap. "Untuk memberi Dersik satu kesempatan lagi membunuhku?"

"Dersik berjanji akan menerima mu di desa jika kita berhasil kesana."

"Bagus. Tapi tadi kamu sendiri yang bilang tak ada yang bisa keluar dari daerah ini."

"Ada satu cara." Dia menatapku lamat. "Tapi itu tergantung kamu."

"Aku?"

"Seberapa hebat Forsa Kuncian mu? Hanya yang terhebat yang bisa membuka kunci magis daerah ini."

"Kamu tahu Forsa ku terkunci karena rotan sialan mu itu, kan?"

"Efeknya akan hilang dalam sehari. Jadi seberapa hebat kamu membuka kunci?"

"Aku yang terbaik dari semua Forsa." Ucapku tak acuh.

Maeda mendengus. "Terserah saja. Sekarang kita ke Utara, ke ujung Daerah Terlarang."

Mataku yang tetap awas melihat ada beberapa mata lain di antara sesemakan. Aku menyusul Maeda. "Ada kucing liar disekitar sini. Apa kita bisa membawanya saat keluar nanti?"

Mata kami bertemu. Aku memberi kode lewat gerakan mata. Dia membuang mukanya. "Kalau mereka menampakkan diri dengan jelas, boleh saja."

Begitulah, kami terus berjalan ke utara, sampai rasanya aku ingin memutuskan kakiku saja. Ketika matahari akhirnya tenggelam, Maeda berhenti di tengah hutan dengan pohon-pohon besar berakar gantung.

Sejauh ini, tak ada yang mengusik kami selain nyamuk. Mata yang kulihat tadi siang juga menghilang, tidak terlihat lagi sepanjang perjalanan. Kurasa mereka mengumpulkan pasukan atau apalah bahasanya. Itu kabar buruk, karena kami tidak tahu berapa orang persisnya mereka.

Kami berdebat siapa yang istirahat duluan. Baik aku ataupun Maeda ingin berjaga malam ini. Karena tak ada yang mengalah, akhirnya kami duduk berjauhan diantara akar-akar besar.

Aku duduk di akar yang lebih tinggi dari tempat Maeda. Diam sejenak setelah debat tadi. Warna saga di langit semakin hilang, hutan menggelap. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak berseru, "hei, kita tidak buat api unggun?"

Seruling AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang