03 *Dunia Dibaliknya

10 2 0
                                    

Aku membaca rumus di kertas yang diberikan oleh Bibi Mala. Dalam hitungan detik, mataku mengilusi seolah tubuhku jadi lebih transparan. Aku menoleh ke belakang untuk terkahir kali, mengamati Bibi Mala yang tersenyum padaku, Sojae yang melambaikan tangan dan Aspergil yang bersin untuk kesekian kalinya.

"Aku sayang kalian!!" Pekikku sebelum akhirnya melangkah menembus dinding dengan semangat.

Bibi Mala benar. Dinding ini memiliki magis tersendiri. Aku merasa tubuhku seperti di remas-remas, sakitnya menjalar seketika. Aku menduga karena magis dindingnya bertemu dengan Forsa ku. Penjara Ingatan yang tertancap di kepalaku seperti ditekan dengan amat kuat, membuat kepalaku seperti ingin pecah.

Aku berteriak, berusaha mengekspresikan kesakitan yang kurasakan. Aku memeluk tubuhku sendiri, berusaha tetap berjalan kedepan agar penderitaan ini segera berakhir. Samar kulihat ujung ruangan gelap dengan bintik-bintik cahaya warna warni--mungkin dimensi yang terbentuk didalam dinding--dan dengan segera kulangkahkan kaki menujunya.

Aku lompat menembus pancaran cahaya itu. Tubuhku segera limbung karena mendarat tanpa persiapan dan jatuh terduduk. Aku memegangi dahiku yang berkeringat dingin, mencoba menekan rasa pening berlebihan.

Beberapa saat kemudian, aku menyadari kalau udara menghangat secara signifikan. Juga bau rumput segar--pertama kalinya aku mencium bau seperti itu--menyeruak di rongga hidungku.

Aku berusaha berdiri, menatap sekeliling dengan pandangan takjub. Aku belum pernah masuk hutan, karena kebanyakan hutan didalam tembok raksasa sudah dibabat habis untuk kepentingan industri. Jadilah mataku terpaku pada semua yang ada didalamnya.

Pohon-pohon berbaris rapi, warna hijau tampak menutupi lembah sejauh mata memandang. Suara burung bersahut-sahutan, sesuatu yang hanya bisa kudengar dari handphone sebelumnya. Beberapa capung terbang mendekatiku.

Aku jadi teringat salah satu buku yang mengatakan kalau capung bisa menjadi penentu kualitas air di sekitar kita. Semakin banyak capung, semakin bagus airnya. Hal ini disebabkan daur hidup capung yang sangat bergantung dengan air yang bersih.

Aku semakin melupakan rasa peningku saat melihat seekor hewan berwarna putih. Dua telinganya tegak berdiri. Dia tampak mengendus-endus sesuatu. Aku tak begitu mengingat namanya. Terlalu banyak hal baru yang memasuki kepalaku.

Kalau biasanya aku menatap gedung-gedung tinggi, maka hutan ini menyuguhkan pemandangan yang serupa tapi tak sama. Gedung itu berubah menjadi pohon. Kabut polusi ke abu-abuan berubah menjadi kabut tipis menyejukkan. Kaca-kaca jendela yang memantulkan cahaya matahari berubah menjadi embun pagi.

Aku menghirup nafas dalam-dalam, menikmati udara bersih yang memenuhi rongga dadaku. Aku melepas jaket lapisan pertama, lalu menyimpannya dengan baik didalam ranselku. Tersisalah hoodie kuning kesayanganku. Aku tersenyum puas sembari memperbaiki bagian lengan yang tidak sengaja tergulung.

Aku mengeratkan genggaman tangan pada tas serut berbentuk memanjang yang hanya berisikan serulingku. Memantapkan diri untuk segera bergerak.

Aku mulai memasuki hutan lebih dalam. Barisan pohon semakin rapat, lumut-lumut tumbuh menutupi permukaan batu. Cahaya matahari tak sanggup menembus dedaunan, mungkin karena dia belum menyentuh titik terkuatnya.

Hari beranjak terik. Hampir lima jam aku berjalan tanpa henti. Hanya ada sungai dipikiranku. Aku haus. Tetapi air minum di botolku sudah habis sejak satu jam lalu. Tenggorokanku terasa sakit ketika harus menelan air ludah. Parahnya aku tak bisa menahan diri untuk tidak melakukan hal itu.

Perjalanan panjang seperti ini cukup menguras tenaga. Aku memang menikmatinya dengan mengamati sekitar, tapi lama-lama perhatianku teralihkan dengan rasa haus dan lapar yang menjalar.

Seruling AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang