09 *Siapa? #2

7 2 0
                                    

Aku memaksa tubuhku berdiri. Masih mencoba menetralkan pikiran yang kalang kabut. Aku meraih seruling ku dengan tangan gemetaran. Memposisikan nya. Dan alunan melodi mengisi setiap sudut kamar.

Aku mencoba mengeluarkan segala kegelisahan ku melalui lubang lubang kecilnya. Aku harus tetap tenang dan terkendali. Itu hanya mimpi.

Setelah merasa diriku cukup tenang, aku menyelesaikan lagunya dan berhenti. Memandang mata biru-kuning ku di dalam cermin. Ada apa dengan semua ini?

Aku mencoba menjernihkan pikiran. Baiklah, yang tidak perlu silahkan pergi. Oh, aku tahu bagaimana menghilangkan nya. Ayo kita melakukan sesuatu! Tapi apa? Jam seperti ini, siapa yang masih bangun dan mau menemani ku?

Sayup-sayup aku mendengar sabetan pedang. Aku menyeringai sendiri. Sepertinya aku tahu siapa yang masih terbangun dan mau menemaniku. Lagi pula aku masih ingin balas dendam karena dia membuatku malu tadi siang.

Terimakasih pada pendengaran ku yang tajam.

Aku melangkahkan kaki, menuruni tangga dan melihat orang yang ku cari berlatih pedang dengan begitu serius. Aku berpikir, sepertinya tidak seru kalau hanya mendatanginya tanpa bingkisan.

Aku menyapukan pandangku ke sekitaran tempat ini. Halaman tengah yang tidak memiliki atap membuat kita bisa melihat gemintang dengan mudahnya. Sebuah pohon sakura yang tak berbunga menghiasi salah satu sisi halaman. Bangunan dua lantai tempat kami menginap mengelilinginya.

Aku menemukan beberapa tabung anak panah di dekat tiang. Aku segera berjalan mendekat dan meraihnya. Balas dendam dimulai.

Aku membawa dua tabung penuh bersamaku. Lumayan berat. Aku menutupi diriku dari cahaya bulan dan obor, tenggelam dalam gelap bangunan.

Aku memfokuskan diri, lalu dengan bantuan Forsa Cahaya, aku mengangkat anak-anak panah ke udara. Kuarahkan semuanya pada Maeda yang tampak belum menyadari keberadaanku.

Aku akan mencoba dengan satu anak panah. Ku lemparkan anak panah itu dengan forsaku, tepat mengarah leher Maeda. Ku ingatkan, bukan salah ku kalau dia terlambat menghindar dan meninggal.

Dan Strash!

Maeda berbalik sekaligus membelah anak panah tadi. Aku tersenyum kecil. Boleh juga refleks nya. Aku mengendalikan lebih banyak anak panah untuk melaju ke arahnya.

Maeda menghindari beberapa diantaranya. Aku tidak akan percaya Maeda bisa membalikkan anak panah itu padaku kalau tidak melihatnya sendiri. Tentu saja aku berlari menghindarinya. Aku melompati beberapa kotak, sambil terus mengarahkan anak panah padanya.

Anak panah yang dikembalikan Maeda semakin mengejarku. Aku akhirnya berhenti melempari anak panah, tentu saja agar aku tak dikejar lagi.

Tapi entah dapat ide darimana, Maeda justru melempar pedangnya dan menancap kuat tepat didepan wajahku. Kalau aku berlari sedikit lebih cepat, maka kepalaku sudah berlubang sekarang. Dan kalau aku tidak bisa berhenti tepat satu senti di depan sisi tajam pedang, kepalaku akan menggelinding.

Aku menghembuskan nafas, lalu meledakkan tawa. Aku bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi ku padanya. "Kamu hebat sekali, Maeda. Pantas saja Sandle bisa kalah darimu."

"Mendekatlah, Auratum. Kamu seperti pengecut yang menyerang tiba-tiba." Katanya tajam.

Aku melangkah ringan. "Kamu bisa memanggilku Lily. Auratum agak aneh bagiku."

Aku tiba di depan Maeda. Menyisakan jarak dua meter. "Bisakah kamu mengajariku bermain pedang?"

"Tidak. Lagipula pedang bukan mainan anak-anak. Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya cepat.

Seruling AnginTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang