Aku kembali memosisikan serulingku. Ufuk timur sudah memerah, menandakan sang mentari akan menyembulkan dirinya sebentar lagi. Kabut masih tebal, memangkas jarak pandang. Beberapa burung berkicau menyambut hari baru yang kan segera dimulai.
Kepalaku masih terbayang oleh percakapan bersama Maeda. Singkat, tapi cukup untuk mengusikku semalaman penuh. Aku ingin sekali menemui keluargaku. Bukankah diluar tembok itu tidak ada elektronik yang dapat digunakan? Seharusnya Penjara Ingatan juga kehilangan fungsinya karena dia adalah sirkuit elektronik.
Semestinya aku bisa mengingat mereka. Dan kurasa aku tahu bagaimana caranya. Aku mengembuskan nafas keras. Berusaha memantapkan kedudukanku di atas dahan pohon. Lagu yang akan kumainkan tidak menjamin aku selamat dari terjerembab ke tanah. Ini akan sedikit sakit.
Perlahan, aku memberikan dorongan udara ke lubang seruling. Jemariku bergerak, mengatur kapan nada-nada itu keluar dan membentuk harmoni di udara. Ini adalah lagu yang tak pernah kuselesaikan. Aku mengahafalnya dengan baik, aku tahu not nya sampai akhir. Tapi setiap aku memainkannya, selalu ada bayangan-bayangan aneh dikepalaku. Semakin lama, kepalaku semakin ingin pecah. Bayangan itu menyiksaku karena suatu alasan yang tak kuketahui.
Mataku yang terpejam mulai membayangkan keadaan suatu malam. Bintang-bintang bertaburan di atasnya. Enam orang bercengkerama di sekitarku. Salah satunya berwajah begitu mirip denganku. Rambutnya pirang, kedua matanya berbeda warna. Dia terus tertawa sambil sesekali bermain denganku.
Bayangan itu berganti, kali ini ada sosok wanita paruh baya yang merengkuh tubuhku. Dia membisikkan sesuatu yang tak dapat kudengar dengan jelas. Di saat lain, ada pria berwajah tegas yang menatapku teduh. Dia menangkup kedua pipiku. Mulutnya bergerak, seperti menyanyikan sesuatu. Wajahnya tersenyum amat tulus.
Tiba-tiba semuanya terhapus oleh kabut asap. Sangat tebal. Membumbung tinggi ke angkasa. Orang-orang di sekitarku tampak panik. Mereka berteriak, namun tak bisa kudengar. Anak-anak panah melesat begitu cepat. Dua lelaki yang sama-sama berambut pirang terlihat saling memunggungi di ujung sana. Juga satu laki-laki lain yang dipapah menjauh dari tempat itu.
Aku tak bisa mendengar apapun. Tapi jelas situasinya begitu kacau. Seorang pria berlari mendekat, itu orang yang sama dengan yang menyanyikan sesuatu padaku. Aku menatap siluetnya. Aku menangis. Tepatnya aku dalam bayangan itu sedang menangis. Sebelum pria itu sampai di depanku, sebuah anak panah lebih dulu menancap di punggungnya. Dia terhuyung beberapa saat, berbalik ke arah datangnya anak panah, lalu mengeluarkan seruling.
Seruling yang sama seperti milikku.
Mataku terbelalak seketika. Alunan melodi itu terhenti tanpa aba-aba. Nafasku tersengal, kepalaku seperti di tekan dari berbagai sisi. Aku memandangi matahari yang mulai naik, membasahi kakiku dengan sinarnya tanpa kesadaran yang berarti.
Hanya soal waktu, tubuhku benar-benar kehilangan keseimbangannya. Aku terjatuh ke arah belakang. Punggungku sudah siap menimpa tanah dan aku belum sempat bereaksi apapun.
Aku menatap langit dengan tatapan kosong. Tidak peduli. Pikiranku masih tertinggal di desa itu.
Lima detik, waktu yang cukup untuk membuat punggungku remuk membentur tanah. Tapi ketika kesadaran itu perlahan kembali, aku tidak merasakan sakit sedikitpun. Justru dua tangan hangat yang kupikir menjadi tempatku mendarat itulah yang kurasakan.
"Kamu ingin bunuh diri?" Suara itu akhirnya membuatku sepenuhnya sadar.
Aku menatap sebentar sosok Maeda, sebelum akhirnya berjengit ngeri dan turun dari gendongannya. Astaga, apa yang ku lakukan? Aku menyumpahi kesadaranku yang sempat-sempatnya kabur dalam beberapa detik, lalu kembali pada Maeda yang menatapku datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seruling Angin
AbenteuerBerbohong atau dibohongi. Berkhianat atau dikhianati. Hanya itu pilihan yang dimiliki Rafles, atau Lily, saat terjebak di dunia di dalam tembok. Yang dia tahu, cepat atau lambat sesuatu yang besar akan terjadi. Dia hanya perlu memutuskan untuk ber...